spot_img
Monday, April 29, 2024
spot_img

Hamparan Sawah di Patuksalam

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG MBIEN

MALANG POSCO MEDIA- Jauh sebelum menjadi seperti sekarang, daerah Jalan Batubara dan sekitarnya dulunya merupakan kawasan persawahan yang cukup besar. Hamparan sawahnya cukup luas dan jalanannya masih berupa tanah dan makadam.

Generasi saat ini pun hanya sedikit sekali yang mengetahui bahwa daerah itu dulunya bernama Patuksalam. Sebuah dukuh yang bersebelahan dengan Dukuh Pandean, Dukuh Genukwatu dan Dukuh Glintung.

Pemerhati Sejarah Kota Malang Budi Fatoni menjelaskan, penamaan daerah Patuksalam   hampir sama dengan penamaan daerah lain yang diangkat berdasarkan dari nama tanaman yang ada saat itu. Penamaan atau toponimi dari Patuksalam   diambil dari adanya sebuah patuk atau patok yang saat itu berupa Pohon Salam.

“Nama itu identik dengan potensi yang sudah ada di daerah tersebut. Patuk itu kan lebih banyak semacam tetenger atau tanda, bisa jadi seperti satu tiang atau patok. Kemudian Salam itu patut diduga waktu itu adalah tanaman Salam. Jadi di situ dinamakan Patuksalam. Penamaan ini lumrah seperti Tunjungsekar, Tanjungrejo dan lain lain,” terang Budi kepada Malang Posco Media.

Menurut Budi, daerah tersebut dulunya tidak setenar sekarang. Bahkan juga tidak terlalu menonjol dibandingkan daerah sekitarnya seperti Pandean maupun Glintung. Akan tetapi daerah itu memang sudah eksis sejak era kolonial Belanda.

“Setidaknya sejak saya kecil, di tahun 1960-1970-an, daerah itu sudah ada. Sepanjang sepengetahuan saya, daerah itu hanya kawasan yang banyak persawahan, baru pada tahun 1970-1980-an makin banyak pemukiman di sana,” sebut Budi.

Salah satu tokoh masyarakat setempat, Riyanto mengamini, di daerah Patuksalam memang sangat jarang ada pemukiman. Wilayah Patuksalam di era tahun 1970-an masih banyak sawah sawah milik masyarakat setempat dan tiap hari  masyarakat menjemur gabah  di jalanan.

“Dari ujung gang atau gapura Jalan Batubara sampai di belakang (daerah Perumahan Batubara Regency) itu banyak sawahnya. Warga sini waktu itu memang banyak yang petani. Dulu di depan gang (gapura, red) masih ada patoknya, waktu itu memang patuknya dari pohon Salam. Makanya jadi Patuk Salam,” beber Riyanto yang kini sudah berusia 70 tahun ini.

Namun demikian, seiring berjalannya waktu, Riyanto juga mendengar makna dan pemahaman dari kata Patuksalam. Sebagian warga menyebut, warga setempat harus saling menyapa ketika bertemu dengan satu sama lainnya.

“Jadi kalau ketemu itu Patuk atau petuk (bahasa Jawa bertemu) lalu Salam. Ada juga yang begitu. Padahal memang ada Patuk dari Pohon Salam di depan sana, walaupun kalau sekarang ya sudah tidak ada,” tambah dia.

Riyanto mengakui warga setempat utamanya orang orang tua sudah jarang yang menyebut daerah itu sebagai Patuksalam. Apalagi generasi muda saat ini. Namun demikian, lanjut Riyanto, warga sebenarnya sudah berupaya agar nama tersebut tidak luntur termakan zaman.

“Caranya, waktu pembuatan gapura Jalan Batubara itu, warga sini bersikukuh untuk tetap mencantumkan nama Patuksalam di gapuranya. Makanya kalau dilihat di gapura depan, di bawah tulisan besar Jalan Batubara disitu ditulis ‘Ex. Patuksalam. Setidaknya agar warga kedepannya nanti tetap ingat,” tandasnya. (ian/van)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img