spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

Hijrah dari Flexing

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Uswatun Hasanah, S.Pd
Guru Bahasa Indonesia Sekolah Pesantren
MTs Muhammadiyah 1 Malang

Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriyah, memiliki makna yang mendalam bagi umat Islam di seluruh dunia. Bulan ini tidak hanya menandai awal tahun baru Islam tetapi juga memperingati peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Hijrah ini bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan simbol perubahan yang mendasar dalam kehidupan spiritual dan sosial umat Muslim.

Semangat hijrah Muharram mengajak kita untuk merenungkan, memperbarui, dan memperbaiki diri dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Semangat hijrah mengandung pesan penting tentang perubahan dan perbaikan diri. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hijrah dapat diartikan sebagai upaya meninggalkan kebiasaan buruk seperti perbuatan flexing atau riya.’

Flexing merupakan istilah yang digunakan sebagai pamer kekayaan. Dikutip dari Urban Dictionaryflexing adalah sebuah tindakan menyombongkan diri tentang hal-hal yang berhubungan dengan uang atau barang mahal, baik secara langsung maupun lewat media sosial untuk mendapat pengakuan dari orang lain.

Flexing adalah suatu perilaku untuk memperlihatkan sesuatu yang dipunyai akan tetapi melalui cara yang tidak mengasyikkan. Era digital dan media sosial (medsos) telah menciptakan pergeseran budaya dan kebiasaan di masyarakat. Kini, sebagian orang berlomba-lomba menciptakan aneka konten untuk ditayangkan pada berbagai platform medsos. Misalnya bersedekah atau berbagi kepada mereka yang tak mampu menjadi salah satu konten yang paling banyak disukai publik di medsos. 

Tak heran bila para selebritis, tokoh publik, serta para pegiat medsos mencoba ‘mencuri perhatian’ dengan aneka konten berbagi atau bersedekah. Ada yang turun ke jalan mencari mereka yang layak dibantu. Ada pula yang mendatangi rumah-rumah untuk berbagi rezeki. Bahkan, ada pula yang menciptakan konten berbagi dengan menyamar sebagai orang miskin.

Orang yang sering flexing tanpa mempertimbangkan bahwa yang menonton (menyimak) postingan itu bukan semua orang mampu. (Itu) malah justru menyinggung kehidupan orang yang tidak mampu, bahkan miskin. Karena masih banyak orang yang mencari sesuap nasi saja, mereka harus banting tulang memeras keringat.

Rasa empati terhadap orang yang yang tidak mampu sudah terkikis dari lubuk hati. Beberapa waktu yang lalu, ada seorang pendakwah terkenal jadi sorotan karena pamer  rumah mewah yang harganya ditaksir senilai Rp 80 Miliar, kini dipantau Ditjen Pajak. Hal tersebut bermula saat istrinya melakukan live TikTok saat menunjukkan rumah seharga Rp 80 Miliar itu.

Pamer atau flexing saat ini adalah bagian yang tak terhindarkan dari semua orang di dunia ini. Artinya, kebahagiaan dan ketenangan tidak lagi dianggap sebagai aktualisasi diri dari rasa syukur terhadap diri sendiri, sehingga merupakan penurunan kemampuan berpikir kritis dan penurunan nilai mental. Tetapi kebahagiaan adalah kenikmatan yang utuh dan alami yang bergantung pada tanda-tanda yang terlihat orang lain dan orang terdekatnya.

Keseharian kehidupan manusia sudah dipenuhi oleh keindahan hedonisme dan konsumsi yang memiliki simbol serta makna di dalamnya, antara rasional dan irasional. Keadaan saat ini sudah menjadi budaya baru serta hal ini terasa lumrah dilakukan. Perilaku orang dalam kesehariannya semakin konsumtif. Untuk memenuhi kesan tersebut maka ia akan melakukan berbagai macam cara.

Jika seseorang yang melakukan flexing tidak mampu untuk memenuhi gaya hidup seperti orang kaya, yang dilakukan dengan berbagai cara di luar kemampuannya. Seperti berutang pada orang lain bahkan melalui pinjaman online. Hal itu tentu akan menambah masalah apabila tidak sanggup membayarnya.

Flexing  juga dapat mengganggu produktivitas dan konsentrasi. Terus-menerus memeriksa media sosial untuk melihat postingan orang lain dapat memakan waktu dan mengganggu fokus. Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan dalam menyelesaikan tugas dan bahkan dapat mengganggu kinerja di tempat kerja atau di sekolah.

Dengan seringnya melakukan flexing, ada kemungkinan rasa empati yang mereka miliki semakin sedikit dikarenakan tidak peduli terhadap orang yang membutuhkan bantuan serta kekurangan. Mereka hanya fokus pada pamer kekayaaan. Flexing akan membawa kerugian jika kebablasan.

Fenomena flexing sebaiknya dihindari karena  memunculkan  sifat  riya  atau  pamer.  Sifat riya’  tidak dianjurkan  bagi  umat  Islam  karena  memunculkan  dampak  negatif  bagi  diri  sendiri  dan  orang  lain. Flexing memang sudah menjadi gaya hidup tetapi kita harus lebih pandai dalam bersikap dengan cara fokus pada diri sendiri tanpa membandingkan dengan orang lain.

Fokuslah pada hal-hal yang kita miliki dan capai tanpa perlu rendah diri atau insecure terhadap apa yang dimiliki orang lain. Kita harus bisa mensyukuri setiap hal yang telah kita miliki dan fokus pada kelebihan yang kita miliki. Flexing bisa sebagai sumber motivasi bagi diri sendiri untuk terus berkembang. Setiap orang memiliki hak masing-masing  untuk berhijrah menjadi lebih baik. Orang-orang yang baik adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img