Kamu pilih siapa? Pertanyaan ini akan semakin sering didengar jelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024. Boleh jadi, kita juga akan sering melontarkan pertanyaan tersebut pada keluarga, saudara atau teman dekat. Ada tiga pilihan calon presiden dan calon wakil presiden.
Komisi Pemilihan Umum RI telah menetapkan peserta Pilpres 2024, yakni pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. nomor urut 3.
Setelah masa kampanye mulai 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, masa tenang pada tanggal 11—13 Februari. Selang sehari, 14 Februari 2024, pemungutan suara untuk Pemilu Legislatif, termasuk Pemilu Anggota DPD RI, bersamaan juga dengan Pilpres 2024.
Khusus Pilpres, KPU telah menggelar empat kali debat capres dan cawapres. Debat kelima atau yang terakhir digelar Minggu (4/2) untuk capres. Tema kali ini Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia, dan Inklusi.
Usai debat sebelumnya, telah banyak dinamika politik yang terjadi di masyarakat. Indonesia ‘terbelah’ tiga. Khususnya suara dukungan masyarakat terbagi untuk tiga pasangan capres-cawapres. Aksi dukung mendukung, mewarnai berbagai media di tanah air. Termasuk ‘perang komentar’ di media sosial.
Parahnya, jelang Pilpres ini juga muncul ‘perang hoaks’. Masing-masing pasangan capres-cawapres itu mendapatkan serangan hoaks melalui medsos. Entah siapa yang memulai serangan tersebut, yang jelas di antara tiga pasangan itu seolah saring serang, saling menjatuhkan dengan hoaks.
Berdasarkan data yang dirilis Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) terkait konten hoaks sepanjang 2023 lalu, sedikitnya ada 2.330 hoaks yang ditemukan. Termasuk 1.292 hoaks politik dengan 645 hoaks di antaranya merupakan hoaks politik terkait Pemilu 2024.
Menurut Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho, semua capres dan cawapres yang menjadi sasaran utama hoaks politik terbagi dua. Pertama hoaks yang bernada positif atau melebih-lebihkan kandidat, dan kedua bernada negatif yaitu menyerang atau memfitnah kandidat.
Anies Baswedan jadi kandidat paling banyak disebut dalam narasi hoaks, 206 bernada positif dan 116 negatif. Lalu Ganjar Pranowo (63 positif, 73 negatif), Gibran Rakabuming Raka (12 positif, 74 negatif), Prabowo Subianto (28 positif, 66 negatif), Mahfud MD (44 positif, 5 negatif) dan Muhaimin Iskandar (17 positif, 5 negatif).
Septiaji menjelaskan konten hoaks politik itu masih didominasi saling serang antarpendukung kandidat. Sedangkan tingkat polarisasi dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjelang Pemilu 2024 ini tidak setinggi dibandingkan Pemilu 2019 dengan capres head-to-head Joko Widodo dan Prabowo.
“Namun, jika pilpres masuk ke putaran kedua, perlu diwaspadai peningkatan hoaks dan ujaran kebencian yang menggunakan isu SARA,” ujar Septiaji yang menyebutkan topik hoaks paling banyak ditemukan adalah dukungan/pengakuan kepada kandidat (33.1%).
Selain itu juga tentang isu korupsi (12.8%), penolakan terhadap kandidat (10.7%), dan karakter atau gaya hidup negatif kandidat (7.3%). Sedangkan isu kecurangan pemilu sebesar 5% dan isu SARA 3.9%. Diprediksi, isu kecurangan pemilu ini bakal meningkat tajam setelah hari H pencoblosan.
Rasanya miris, melihat dan membaca narasi saling serang komentar di medsos akibat peredaran hoaks. Terjadi polarisasi dan potensi keterbelahan di masyarakat. Tidak hanya di medsos, karena sudah terjadi di masyarakat, aksi dukung mendukung yang memicu konflik horisontal.
Lebih jauh, banyaknya hoaks di Pemilu ini menjadi alat untuk merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memancing provokasi, yang ujungnya bisa memantik keonaran di masyarakat. Untuk itu harus diantisipasi dan disikapi dengan serius.
Demi keuntuhan NKRI, demi keamanan dan perdamaian di masyarakat, jangan terpancing hoaks. Beda pilihan bukan jadi alasan untuk menyebar luaskan hoaks. Cukuplah diinformasi dan misinformasi yang kita terima, berhenti di kita, tanpa harus diteruskan atau dibagikan.
Informasi yang kita terima, kalau pun itu benar, namun tidak bermanfaat, sebaiknya tak perlu dibagikan. Apalagi informasi yang tidak jelas kebenarannya, atau bahkan diketahui informasinya salah, alangkah bagusnya, tidak dishare. Syukur jika bisa cek dan ricek informasi. Melakukan cek fakta!
Seringnya hoaks menyebar ketika seseorang tak menyaring informasi yang diterima, tapi langsung disharing atau disebarluaskan. Selain itu, antara tidak tahu cara melakukan cek fakta, bisa juga karena memang malas melakukan verifikasi kebenaran dari sebuah informasi.
Bolehlah mendukung, boleh memastikan pilihan pada salah satu pasangan capres-cawapres, namun harus cerdas dalam memberi dukungan. Tak perlu terlalu mencintai yang didukung, juga tak harus terlalu membenci tokoh yang tidak didukung. Agar tak terjebak, ikut membagikan hoaks.
Perlu diingat, hoaks atau informasi salah, berita palsu dan kabar bohong itu banyak macamnya. Ada yang modelnya parodi atau lucu-lucuan, ada konten menyesatkan, konten asli tapi palsu, konten yang tidak nyambung, konten yang dimanipulasi serta konten dengan konteks yang salah.
Seringnya para pembuat hoaks itu mencuri konten dari web lain yang informasinya diolah sedemikian rupa, lalu dimanipulasi. Foto dan narasinya dibuat berbeda, video biasanya ditambahkan narasi berbeda, mengubah judul dan foto. Biasanya dishare dengan menggunakan akun palsu dan pakai foto orang lain.
Jika menemui konten atau informasi yang mencurigakan, maka baiknya lakukan cek fakta. Misal konten dibagikan dari sebuah web, maka cek alamat medianya, cek detail visual medianya, bisa juga cek about us medianya. Sedikit banyak akan diketahui kredibilitas informasi dari web tersebut.
Lakukan cek foto dan video dengan memeriksanya di Google. Selain itu waspada dengan judul-judul yang sensasional. Untuk itu, informasi yang diterima bisa dibandingkan dengan ciri-ciri pakem media mainstream. Bisa juga cek informasinya di web mainstream seperti cekfakta.malangposcomedia.id. Sudah banyak informasi teriidentifikasi hoaks. Waspada, waspadalah! (*)