Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
MALANG POSCO MEDIA – Pandemic Covid-19 menimbulkan sejumlah permasalahan yang multidimensi, tidak hanya krisis kesehatan, tetapi juga mengancam stabilitas pangan dunia. Ada beberapa negara eksportir pangan seperti Vietnam, Thailand, India, dan China, yang mengurangi kuota ekspor pangan untuk mengamankan stok di negaranya sendiri.
Terlebih satu pertiga sumber pangan dunia, diproduksi oleh petani kecil dan menengah, sehingga ada 500 juta penduduk dunia yang berisiko jatuh miskin. Risiko ini juga akan berpengaruh besar pada negara Indonesia, sebagai negara pengimpor pangan terbesar (berdasarkan data STIC /Standard International Trade Classification.
Lima negara pengimpor pangan terbesar adalah United States, China, Germany, Japan and the United Kingdom. Indonesia negara ke 7 terbesar pengekspor makanan menurut (WTO), dan mengalami keterlambatan ekonomi yang dapat menyebabkan krisis dalam waktu dekat.
Langkah antisipasi yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kekuatan atau ketahanan pangan untuk mengajak konsumen memakai produk dalam negeri, sehingga dapat menjadi lebih kompetitif dari negara lain, dan dapat membangun pasar baru di Indonesia.
Walaupun banyak sektor industri yang terimbas oleh Covid-19, namun industri halal tidak banyak berimbas, ada yang cenderung meningkat dan ada juga yang mengalami sedikit penurunan. Industri halal memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia sebagai negara mayoritas muslim.
Terlebih, industri halal tengah menjadi sorotan saat era normal baru, ketika kebersihan dan higienitas menjadi prioritas saat ini. Bisa dikatakan bahwa Industri Halal selama pandemi Covid-19 adalah berkah tersembunyi. Dengan adanya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang menjadi pijakan, diharapkan Indonesia tidak hanya menjadi target pasar dunia, tetapi juga menjadi pemain utama dalam industri halal.
Industri Halal Tertinggi
Bila diperhatikan dalam satu dekade terakhir, industri halal dunia terus berkembang pesat. Nilainya diperkirakan mencapai tiga triliun dolar AS per tahun. Sayangnya, yang melirik potensi ini justru negara-negara non Muslim. Pendapatan paling tinggi dari industri halal ini justru dipegang oleh Thailand, Australia dan Selandia Baru. Bahkan produsen ayam halal diraih oleh Brasil.
Sedangkan Indonesia dengan jumlah muslim terbesar di dunia menempati peringkat 11 dunia, apanya yang salah? Sumberdaya manusianya yang belum menganggap itu pasar potensial? atau justru ke depan Indonesia akan impor produk halal dari Thailand, Australia dan Selandia Baru?
Hal ini harus menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia, dan sudah selayaknya masyarakat Indonesia instrospeksi diri betapa pentingnya produk halal untuk menjamin kelangsungan kesehatan hidup manusia.
Bila dicermati langkah Koordinator Riset di Pusat Halal Industri Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur menyampaikan bahwa, halal atau haram bukan hanya soal makanan dan minuman, melainkan juga wisata, rumah sakit halal, atau pelabuhan halal.
Penyumbang terbesar dalam industri halal ada pada kosmetik dan obat-obatan. Bahkan Korea Selatan melalui budaya K-Pop berhasil mempengaruhi dunia, saat ini ada sekitar 2.000 perusahaan kosmetik di dunia dan Korea Selatan berhasil meraih pasar 23 persen dunia.
Sekarang mereka berlomba-lomba mengejar sertifikasi halal dan itu didukung Pemerintah Korea Selatan. Ini artinya bahwa penduduknya yang bukan mayoritas muslim saja justru mengejar sertifikasi halal, karena industri halal bukan hanya milik umat Islam saja, tetapi milik semua umat dan siapapun yang concern terhadap produk halal.
Pada Olimpiade 2020 lalu, Jepang dalam menyambut kontingennya justru melirik industri halal. Bahkan jika ke Jepang di Bandara Narita sudah ada surau atau musala yang memfasilitasi umat Islam. Betapa indahnya sikap toleran dan membangun sikap harmoni dengan keragaman yang ada.
Jepang beralasan sepertiga dari tamunya pada saat Olimpiade 2020 adalah muslim. Oleh karena itu, Jepang mempersiapkan diri dengan baik, karena produk halal juga memiliki aspek kebersihan dan kesehatan sehingga memberikan ketenangan bagi umat manusia.
Kalau diperhatikan lebih jauh lagi, di gerai makanan cepat saji kaki lima pinggiran kota New York kerap tampak pemandangan menarik. Gerai berlabel The Halal Guys yang menjual makanan halal banyak diminati masyarakat. Tak sedikit yang mengantre justru bukan kalangan muslim. Mayoritas pembeli adalah warga Amerika non-Islam.
Tren industri makanan halal di dunia memang sedang meroket. Produk kuliner halal yang awalnya menyasar konsumen muslim rupanya juga digemari beragam kalangan. Bagi pelanggan non muslim, alasan menyukai produk halal berbeda-beda. Ada suka lantaran suka dengan cita rasanya, tetapi tak sedikit yang berminat karena meyakini pangan halal lebih berkualitas dibandingkan dengan produk reguler.
Industri makanan halal dikenal mampu memproduksi makanan yang lebih baik dari aspek etika, kesehatan, keamanan dan keramahan terhadap lingkungan. Faktor-faktor tersebut selaras dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat global yang makin peduli darimana dan bagaimana proses makanan mereka dihasilkan.
Alasan Industri Halal
Ada beberapa alasan mengapa industri halal berkembang pesat, yakni jumlah muslim yang mencapai dua miliar jiwa di dunia. Kemampuan ekonomi umat Islam yang meningkat, dan adanya negara-negara non muslim tapi memiliki jumlah umat muslim yang banyak, seperti India dan Cina.
Indonesia bisa menjadi pusat halal dunia karena potensinya yang luar biasa. Namun, hal itu ditentukan oleh kebijakan pemerintah ke depan, tentu tidak terkait persoalan toleran dan intoleran. Lebih pada memberi kenyamanan kepada masyarakat pengguna mendapat kepastian produk halal.
Bahkan untuk mendorong industri halal, banyak ilmuwan yang membuat hak cipta yang dipatenkan. Bahkan telah dikomersialkan, seperti E-Nose, alat pendeteksi kehalalan yang bisa dibawa ke manapun pergi, bentuknya seperti bolpen. Alat tersebut dapat mendeteksi kandungan etanol dengan mencelupkannya pada minuman.
Temuan lainnya, yakni antikanker dari rumput laut, kemudian gelatin halal dari sisik ikan dan dari tulang unta.
Badan Pengurus Himpunan Mahasiswa Agronomi dan Holtikultura baru-baru ini telah melakukan kajian tentang industri halal, meliputi prospek industri halal di Indonesia dan di dunia, peran para cendekiawan dalam menghasilkan inovasi pangan halal, dan pasar 4.0 peluang usaha muda di masa depan untuk mendukung pangan halal.
Potensi industri halal di masa pandemi ini sangat besar, terutama di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Industri halal bukan hanya berbicara tentang agama, tetapi agar seluruh umat manusia bisa menikmatinya, sehingga kita harus meningkatkan kualitas produknya, melalui ekosistem halal. Mulai dari produksi, service, infrastruktur, government support dan human capital.
Beberapa hal terkait isu industri halal meliputi tiga hal utama, yakni: bahan baku, proses, dan penerapan sistem jaminan halal (autentikasi). Indonesia yang sudah sangat kaya raya dengan sumber pangan (tanaman, hewan, hasil laut, dan lainnya) harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin.
Di sinilah peran penting para cendekiawan dalam inovasi pangan halal dengan menghasilkan riset untuk meningkatkan nilai tambah bahan pangan menjadi produk pangan halal yang berkualitas, serta memanfaatkan teknologi dalam pengolahan bahan pangan.
Selain inovasi di bidang industri halal, peran pasar juga sangat penting. Proses transaksi antara pedagang dan pembeli juga harus diperhatikan, di antaranya pengecekan dagangan di pasar harus sesuai dengan standar dan tera ulang timbangan oleh pihak berwenang.
Pasar juga harus bisa berkembang demi mendukung industri halal, yaitu dengan memanfaatkan peluang teknologi yang dapat memudahkan masyarakat membeli produk halal secara online. Di sini peran pemerintah sangat penting dalam pertumbuhan industri halal.
Perlu adanya perhatian yang lebih untuk membangun industri halal, dan tidak hanya fokus di sertifikasi halal saja. Dengan adanya sentuhan inovasi, suatu produk yang sederhana bisa menjadi produk yang marketable, memiliki peluang dijual tinggi. (*)