.
Wednesday, December 11, 2024

Intelektual Stempel

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Malang dikenal sebagai kota pendidikan yang telah menghasilkan banyak intelektual dan akademisi jempolan. Para intelektual itu menjadi suara kesadaran sekaligus menjadi suluh yang menerangi kehidupan publik.

Dalam tradisi intelektualitas dikenal beberapa kategori. Antonio Gramsci membaginya menjadi intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional bertengger di atas menara gading yang tinggi, jauh dari publik.

Intelektual organik terjun ke tengah masyarakat dan menjadi bagian dari perjuangan masyarakat dalam menegakkan kebenaran. Mereka adalah intelektual publik yang berumah di atas awan, tidak memihak kekuasaan dan hanya setia kepada kebenaran.

Dr. Ali Shariati, intelektual Iran menyebutnya sebagai Rauzan Fikri, manusia yang tercerahkan oleh ilmu pengetahuan dan kemudian memakai ilmu pengetahuannya untuk mencerahkan publik.

Beberapa waktu belakangan ini di Indonesia muncul kategori baru intelektual yang disebut sebagai intelektual tukang stempel. Bukan berumah di atas awan tetapi bergerombol di istana mendekati kekuasaan.

Adalah Prof. Jimly Asshiddiqie yang menengarai ada intelektual tukang stempel yang kerjanya memberi legitimasi kepada apapun kebijakan pemerintah. Tengara ini ia lemparkan setelah pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Cipta Tenaga Kerja beberapa waktu yang lalu.

Jimly menengarai banyak intelektual yang tidak setia lagi terhadap tanggung jawab intelektualnya dan sudah berubah menjadi tukang stempel. Jimly tidak menyebut nama. Tetapi, dalam kasus Perppu Ciptaker ini publik sudah bisa menduga siapa intelektual tukang stempel yang dimaksud oleh Jimly.

Akademisi dan aktivis demokrasi Ubaidillah Badrun lebih terbuka menuding intelektual yang dikategorikan sebagai tukang stempel itu. Melihat berbagai pernyataan dan narasi yang muncul selama ini, Ubaidillah menilai Mahfud Mahmudin alias Mahfud MD, sebagai otak di balik terbitnya Perppu Ciptaker itu. Artinya, ada aktor intelektual di balik lahirnya peraturan itu, dan Ubaidillah mencurigai Mahfud MD sebagai aktor intelektualnya.

Mahfud MD sudah dikenal luas sebagai intelektual. Ia menjadi guru besar hukum dan dikenal sebagai pakar ilmu tatanegara par axcellent. Sama dengan Jimly, Mahfud juga pernah menjadi ketua Mahkamah Konstitusi. Ketika itu Mahfud menjadi bagian dari gerakan civil society yang tidak takut mengeluarkan kritik terhadap pemerintah.

Pandangan Mahfud selalu tajam dan kritis terhadap berbagai ketidakadilan dan penyelewengan. Karena itu Mahfud memperoleh legitimasi sebagai intelektual publik yang kritis terhadap kekuasaan. Reputasi Mahfud naik tajam, popularitasnya pun ikut meroket.

Puncaknya, Mahfud kemudian digadang-gadang menjadi salah satu nama yang dipertimbangkan untuk menjadi wakil presiden untuk calon presiden Joko Widodo pada pemilihan presiden 2019. Tetapi, detik-detik terakhir nama Mahfud terpental dan digantikan oleh K.H Ma’ruf Amin.

Mahfud kemudian mendapat kompensasi menjadi menteri koordinator politik dan keamanan, sebuah jabatan yang sangat strategis dan menentukan dalam pengelolaan iklim demokrasi di Indonesia. Mahfud MD sang intelektual publik diharapkan akan memberi warna yang berbeda terhadap pemerintahan Jokowi periode kedua.

Tetapi, Mahfud MD menjelma menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya. Ia menjadi bagian dari kekuasaan, dan bahkan dalam banyak kasus, menjadi benteng kekuasaan. Kalau dulu Mahfud menjaga benteng demokrasi sekarang menjadi penjaga benteng kekuasaan.

Perppu Ciptaker ini hanya satu saja dari beberapa belied pemerintah yang dianggap merongrong demokrasi. Publik masih ingat bagaimana Mahfud–ketika masih menjadi intelektual merdeka–begitu gigih mempertahankan eksistensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi di Indonesia. Tetapi, justru pada saat Mahfud menjadi menko polkam lahir revisi undang-undang KPK yang banyak disebut sebagai pelemahan terhadap lembaga anti-rasuah itu.

Undang-undang ini dikritik secara luas dan memantik unjuk rasa besar dari berbagai kalangan. Pemerintah tutup mata dan telinga, dan revisi undang-undang tetap disahkan. Hal yang sama terjadi pada pengesahan Undang-Undang Cipta Tenaga Kerja yang mendapat kritik luas dari berbagai elemen masyarakat. Kasus Undang-Undang KUHP juga sama saja, pemerintah memilih adu otot melawan suara rakyat ketimbang mendengar dan menampung aspirasi rakyat.

Pemerintah boleh menepuk dada karena menang dalam beberapa kali pertarungan show down melawan tuntutan rakyat. Sebagai intelektual yang memahami ilmu politik, Mahfud tentu paham bahwa demokrasi bisa berjalan baik kalau ada mekanisme check and balances, kontrol dan keseimbangan.

Kontrol terhadap kekuasaan dilakukan oleh civil society atau masyarakat madani, dan keseimbangan kekuasaan dilakukan melalui kekuatan legislatif yang diwakili oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan lembaga-lembaga peradilan.

DPR sekarang dikuasai oleh koalisi pendukung pemerintah sampai 70 persen lebih. Itulah sebabnya undang-undang apapun yang disodorkan pemerintah langsung didok oleh DPR. Perppu Ciptaker sekarang sedang menunggu pengesahan dari DPR. Tidak perlu bertaruh, semua pasti tahu bahwa DPR pasti akan memberikan stempel persetujuan.

Kemana suara para intelektual itu? Mereka sudah bersuara, tetapi hilang di kegelapan malam dan hanya menjadi a cry in the dark, teriakan di kegelapan. Sementara itu, intelektual tukang stempel punya suara yang lebih keras membela dan mempertahankan kekuasaan.

Yusril Ihza Mahendra menjadi bagian dari intelektual yang disebut Jimly Asshiddiqie sebagai tukang stempel itu. Yusril ada di barisan terdepan pembela Perppu Ciptaker. Beberapa intelektual menganggap Jokowi layak diimpeach oleh DPR karena melanggar konstitusi. Yusril menjadi tameng Jokowi dan mengatakan bahwa Perppu sudah berjalan sesuai prosedur, dan tidak ada alasan apapun untuk mengimpeach Jokowi.

Rezim Jokowi terlihat begitu digdaya sekarang ini. Ultimatum pengunjuk rasa yang akan melakukan pembangkangan sosial, jika Perppu tidak dicabut, sama sekali tidak digubris. Rezim sudah bisa mengukur kekuatan oposisi, dan rezim sudah menguasai semua alat kekuasaan untuk mematahkan oposisi.

Para intelektual tukang stempel itu tidak mungkin lupa bahwa kekuatan represif sehebat apapun tidak akan bisa melawan kesadaran dan kekuatan rakyat. Rezim Orde Lama jatuh oleh kekuatan rakyat dan Rezim Orde Baru juga jatuh karena kekuatan rakyat.

Para intelektual stempel itu pasti pernah membaca Milan Kundera, bahwa perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img