Bahasa adalah alat fundamental dalam komunikasi yang tidak hanya mencerminkan budaya dan identitas, tetapi juga membentuk cara kita memahami dunia (Reiginayossi & Sitorus, 2023). Dalam konteks globalisasi, di mana interaksi antar bangsa semakin intensif, interdependensi bahasa menjadi semakin nyata dan signifikan.
Interdependensi bahasa dalam komunikasi mengacu pada kenyataan bahwa tidak ada satu bahasa pun yang berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh bahasa lain (Pupu, 2018). Seiring dengan perkembangan teknologi, perjalanan, dan migrasi, bahasa-bahasa di dunia saling meminjam kata, konsep, dan struktur dari satu sama lain. Misalnya, banyak istilah dalam bahasa teknologi yang berasal dari bahasa Inggris, dan kata-kata ini diadopsi oleh berbagai bahasa di seluruh dunia.
Lebih jauh lagi, interdependensi bahasa juga mendorong pemahaman lintas budaya yang lebih dalam (Wismanto, 2017). Ketika seseorang belajar bahasa asing, mereka juga belajar cara berpikir, nilai-nilai, dan norma sosial yang terintegrasi dalam bahasa tersebut. Proses ini memperkaya perspektif seseorang dan memungkinkan komunikasi yang lebih efektif dan empati dalam interaksi lintas budaya.
Dalam dunia pendidikan, siswa dan guru sering menggunakan kata-kata seperti “presentasi,” “diskusi,” atau “proyek” yang berasal dari bahasa Inggris. Meskipun ada padanan kata dalam bahasa Indonesia seperti “pemaparan,” “pembahasan,” dan “rencana kerja,” namun istilah asing tersebut lebih sering digunakan karena dianggap lebih praktis dan sudah umum dipahami.
Contoh lain adalah dalam penggunaan teknologi dan media sosial, di mana istilah seperti “upload,” “download,” “chat,” dan “share” sudah menjadi bagian dari kosakata sehari-hari. Ini menunjukkan bagaimana bahasa Indonesia dan bahasa Inggris saling mempengaruhi satu sama lain dalam komunikasi modern.
Selain itu, dalam konteks sekolah, siswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia sering membawa dialek dan kosakata dari bahasa daerah mereka ke dalam percakapan sehari-hari. Misalnya, siswa dari Jawa mungkin akan menggunakan kata “ndak” (tidak) atau “cobak” (coba), yang kemudian diadopsi oleh teman-teman mereka dari daerah lain. Interaksi seperti ini menciptakan campuran bahasa yang memperlihatkan bagaimana bahasa-bahasa yang berbeda saling mempengaruhi dalam komunikasi.
Contoh-contoh ini menggambarkan bahwa bahasa-bahasa di dunia nyata tidak berdiri sendiri, tetapi saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain, mencerminkan interdependensi bahasa dalam komunikasi sehari-hari.
Kita mungkin menyadari bahwa bahasa memegang peranan krusial sebagai alat komunikasi yang menghubungkan siswa, guru, dan seluruh komponen sekolah. Namun, lebih dari sekadar alat untuk menyampaikan pesan, bahasa dalam konteks sekolah juga mencerminkan dinamika sosial, keragaman budaya, dan cara berpikir.
Dalam pembelajaran bahasa asing di sekolah, seperti bahasa Inggris, interdependensi bahasa menjadi jembatan untuk menghubungkan konsep-konsep dari bahasa ibu ke bahasa baru. Proses ini tidak hanya mempermudah pemahaman siswa, tetapi juga mengajarkan pentingnya fleksibilitas dan adaptasi dalam berkomunikasi.
Namun, fenomena ini juga menuntut kehati-hatian dalam menjaga keseimbangan. Dominasi satu bahasa, seperti bahasa asing yang dipelajari, tidak boleh mengurangi penghargaan terhadap bahasa nasional atau bahasa daerah, yaitu Bahasa resmi kita, Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara mengadopsi elemen-elemen dari bahasa lain dan melestarikan keunikan bahasa sendiri.
Untuk menjaga agar interdependensi bahasa tidak terlalu dominan dan penerapan bahasa Indonesia berjalan dengan baik, penting untuk melakukan beberapa hal. Pertama, meningkatkan kesadaran bahwa bahasa Indonesia adalah bagian integral dari identitas nasional dan budaya. Kedua, upaya memperkaya kosakata bahasa Indonesia perlu dilakukan dengan lebih sering menggunakan kata asli serta menciptakan istilah baru yang relevan dengan perkembangan zaman.
Ketiga, promosi bahasa Indonesia di kalangan anak muda juga krusial. Misalnya melalui konten kreatif dan program literasi di sekolah-sekolah. Keempat, penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, acara resmi, dan dokumen formal harus dipastikan, sehingga bahasa ini tetap mendominasi dalam komunikasi sehari-hari.
Kelima, penguatan pendidikan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, termasuk pelatihan bagi guru untuk membuat pembelajaran lebih menarik, sangat diperlukan. Keenam, figur publik dan influencer diharapkan dapat menjadi teladan dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, sehingga generasi muda lebih termotivasi untuk mengikuti jejak mereka. Dengan langkah-langkah ini, bahasa Indonesia dapat tetap kuat dan relevan meskipun pengaruh bahasa asing semakin meluas.
Satu pandangan lagi, bahwa Interdependensi bahasa juga dapat membawa peluang positif bagi bahasa Indonesia, seperti inovasi dan perkembangan bahasa. Pengaruh bahasa asing dapat memperkaya kosakata bahasa Indonesia dan membuatnya tetap relevan dengan perkembangan zaman, asalkan penggunaannya seimbang.
Selain itu, interaksi dengan bahasa asing dapat meningkatkan kompetensi bilingualisme di masyarakat, yang memperkuat posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan mempermudah promosi budaya Indonesia di dunia internasional. Secara keseluruhan, interdependensi bahasa bukanlah ancaman, melainkan tantangan yang perlu dikelola dengan bijak untuk memastikan bahasa Indonesia tetap menjadi simbol identitas dan kebanggaan nasional. Dalam dunia yang semakin terhubung, memahami dan menghargai interdependensi bahasa menjadi kunci untuk membangun komunikasi yang harmonis dan berkelanjutan. Ini adalah landasan penting untuk kerja sama internasional, perdamaian, dan pengembangan global yang inklusif.(*)