Dalam hitungan hari bulan suci Ramadan akan segera meninggalkan kita. Begitu banyak kemuliaan dan ganjaran yang diberikan Allah SWT di dalam bulan ini berupa rahmat, ampunan, serta jaminan bebas dari api neraka sehingga semua manusia berlomba-lomba untuk menjadi insan yang paling bertaqwa di sisi Allah SWT.
Sebagai salah satu dari lima rukun iman, menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadan merupakan sebuah kewajiban yang dibebankan pada seluruh umat Islam yang sudah mukallaf. Allah SWT memberikan banyak keutamaan puasa di antaranya: pertama, Allah SWT sendiri yang menentukan pahala puasa sesuai dengan kualitas puasa seseorang.
Kedua, diamnya orang berpuasa dinilai seperti membaca tasbih, tidurnya adalah ibadah, doanya mudah dikabulkan, dan amal baiknya dilipatgandakan. Dan ketiga, selama Ramadan pahala amalan wajib dilipatgandakan, amalan sunnah diberi pahala bagaikan amalan wajib dan lain sebainya.
Rasulullah SAW bersabda “Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW sangat bersungguh-sungguh (beribadah) pada sepuluh hari terakhir (bulan Ramadan), melebihi kesungguhan beribadah di selain (malam) tersebut.’’ (HR. Muslim). Namun ada sebuah pertanyaan, “Apakah semua manusia yang telah menyelesaikan madrasah Ramadan akan menjadi insan yang beruntung sebab memperoleh derajat taqwa ataukah ada yang merugi di bulan Ramadan ini?
Ada beberapa riwayat hadis yang menyebutkan bahwa banyak orang yang berpuasa namun hanya mendapatkan lapar dan haus seperti halnya yang Rasulullah sabdakan dalam hadis riwayat An-Nasai “Betapa banyak orang berpuasa tapi tidak mendapat (pahala) apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar, dan betapa banyak orang yang sholat malam (tarawih) tapi tidak mendapatkan apa-apa selain begadang saja.”
Hadis tersebut mengindikasikan bahwa orang yang berpuasa di bulan Ramadan serta melaksanakan sholat tarawih di malam hari berpotensi untuk tidak mendapatkan rewardpahala dari Allah SWT atas ibadah yang ia lakukan. Namun ia hanya mendapatkan lapar dan haus saja di siang hari alias zonk. Alangkah meruginya orang yang seperti ini.
Orang yang berpuasa dengan menahan lapar dan haus namun tetap berkata dusta juga termasuk dalam orang merugi di bulan Ramadan. Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka Allah tidak peduli dia telah meninggalkan makanan dan minumannya.” Hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Abu Hurairah,
Menggunjing orang lain, mengadu domba, berdusta, melihat sesuatu dengan syahwat (nafsu), dan melakukan sumpah palsu juga bisa menggugurkan pahala puasa. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ad-Dailami “Lima hal yang bisa membatalkan pahala orang berpuasa: membicarakan orang lain, mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu.” Lima hal tersebut merupakan maksiat lisan yang sering dilakukan manusia dan ternyata bisa membatalkan pahala puasa. Pertengkaran dan perselisihan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja termasuk saat berpuasa. Oleh sebab itu dianjurkan bagi orang yang berpuasa agar sebisa mungkin menghindari pertengkaran dan perselisihan agar kesucian Bulan Ramadan tetap terjaga serta mendapatkan pahala puasa yang sempurna tanpa merugi sedikit pun.
Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari “Dan jika seseorang mengajak bertengkar atau mencela maka katakanlah, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, ucapkan hal ini dua kali.” Ungkapan “Sesungguhnya aku sedang berpuasa” merupakan sebuah tindakan prefentif dari orang yang berpuasa agar tidak terjadi pertengkaran dan perselisihan dengan pihak-pihak lain.
Berpuasa dengan tujuan riya’ dan untuk dipuji juga termasuk hal yang bisa membatalkan puasa. Bahkan lebih dari itu, berpuasa karena ingin mendapatkan imej baik merupakan sebuah pekerjaan yang bisa menjerumuskan seseorang dalam kesyirikan. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang berpuasa namun ia riya, maka dia telah berbuat syirik.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Thabrani).
Puasa adalah milik Allah dan Allah lah yang akan memberikan balasan pahalanya. Maka puasa itu seharusnya hanya untuk Allah. Ketika riya dalam berpuasa berarti seolah-olah puasa itu untuk manusia padahal sebaik-baik amal adalah yang tidak diketahui orang lain. Memakan makanan yang haram selama berpuasa juga bisa membatalkan pahala puasa serta mendapatkan dosa. Lebih dari itu, memakan makanan haram juga bisa menyebakan kemalasan untuk beribadah.
Imam Al-Ghazali mengatakan “Adab berpuasa, yakni: mengonsumsi makanan yang baik, menghindari perselisihan, menjauhi ghibah (menggunjing orag lain), menolak dusta, tidak menyakiti orang lain, menjaga anggota badan dari segala perbuatan buruk.”
Makanan yang haram itu bukan saja makanan yang haram li dzatihi namun juga haram li ghairihi. Makanan haram li dzatihi merupakan makanan yang hukum asalnya sudah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits seperti daging babi ataupun khamr.
Sedangkan makanan yang haram li ghairihi merupakan makanan yang subtansi bendanya halal (tidak haram) namun cara penanganan atau memperolehnya tidak dibenarkan oleh ajaran Islam seperti makanan yang diperoleh dari hasil mencuri.
Oleh sebab itu, selama berpuasa di bulan Ramadan, makanan yang kita konsumsi adalah makanan yang baik atau halalan thayyiba. Makanan yang baik tidak harus identik dengan makanan yang lezat atau mahal, tetapi adalah makanan yang baik bagi kesehatan dan tentu saja juga halal secarasyar’i.
Akhir kata, semoga kita sebagai umat Islam diberikan kemudahan oleh Allah SWT sehingga kita bisa melakasanakan ibadah di Bulan Ramadan ini dengan sempurna dan dihindarkan dari hal-hal yang bisa merusak ibadah puasa kita. Amin.(*)