spot_img
Saturday, October 5, 2024
spot_img

Jangan (Terlalu) Percaya kepada Politisi

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Adalah seorang Charles de Gaulle, mantan presiden Prancis periode 1959-1969, yang mengingatkan kita semua untuk tidak (terlalu) percaya kepada para politisi. “Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya.” Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Charles de Gaulle. Memang, seringkali apa yang diucapkan (dijanjikan) oleh politisi tidak konsisten dengan apa yang dilakukannya.

Siapakah yang disebut politisi? Secara umum dapat dinyatakan bahwa seorang politisi adalah individu yang terlibat dalam kegiatan politik, baik sebagai anggota pemerintah atau sebagai pemimpin dalam partai politik, yang  berperan dalam merumuskan kebijakan publik, membuat undang-undang, dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Politisi seringkali dipilih oleh warga negara untuk mewakili mereka dalam pemerintahan (eksekutif) dan dalam parlemen (legislatif), baik di tingkat lokal maupun nasional.

Tampaknya apa yang dinyatakan oleh Charles de Gaulle memang ada benarnya. Kita seringkali mendengar janji para politisi, bahkan  semua  politisi, misalnya, bahwa mereka akan menjadi garda terdepan dalam memberantas korupsi. Atau paling tidak mereka tidak akan melakukan korupsi.

Tapi apa yang terjadi, ibarat peribahasa “Jauh panggang dari api”, justru lembaga legislatif (DPR) dan eksekutif (pemerintah) menjadi lembaga yang tingkat korupsinya paling tinggi.

Dilansir dari sumber berita Radarbogor.id. (edisi 20 Juli 2023), dimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis secara resmi tentang instansi atau lembaga terkorup atau yang paling banyak menyumbang tersangka kasus korupsi di Indonesia.

Dari rilis tersebut terungkap bahwa daftar instansi atau lembaga terkorup di Indonesia hingga Juli 2023 berdasarkan jumlah tersangka korupsi, yakni: (1) Swasta, (2) Pejabat pelaksana eselon (pemerintah), (3) Lembaga legislatif (DPR/DPRD), (4) Gubernur, wali kota, dan bupati (Kepala Daerah), (5) Hakim, (6) Pengacara, (7) Komisioner dan korporasi, (8) Jaksa, (9) Polisi, dan (10) Duta besar. Maka jelaslah bahwa politisi menjadi pemasok utama terjadinya korupsi.

Oleh karena itu, menghadapi tahun politik ini dimana kita akan melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan memilih para  politisi yang akan menduduki jabatan-jabatan politik baik jabatan eksektuf (Presiden, Gubernur, Bupati/ Walikota) maupun legislatif, maka kita harus menjadi warga yang kritis dan waspada.

Jangan mudah percaya atas janji-janji dan rayuan politisi.   Meskipun ada politisi yang jujur dan berdedikasi, sayangnya, banyak pula yang terlibat dalam skandal korupsi, manipulasi informasi, dan janji-janji kosong.

Memang tidak semua politisi berperilaku negatif, terdapat pula beberapa politisi yang benar-benar peduli dengan kepentingan rakyat dan berusaha untuk membuat perubahan positif bagi kehidupan masyarakat. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan kewaspadaan kita terhadap mereka yang mungkin memiliki motif yang lebih gelap (terselubung).

Dalam demokrasi, kewajiban kita sebagai warga negara adalah menjadi penjaga yang kritis terhadap pemerintah dan politisi. Dengan demikian, kita dapat lebih efektif dalam memilih dan mendukung para pemimpin yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat.

Daya kritis dan kewaspaan kita terhadap para politisi menjelang Pemilu ini terutama berkaitan dengan dimensi-dimensi antara lain sebagai berikut. Pertama, kita harus kritis dan waspada atas janji kosong (janji palsu). Salah satu alasan utama mengapa kita perlu skeptis terhadap politisi adalah janji-janji kosong yang sering mereka buat selama kampanye.          Kita sering mendengar janji-janji besar tentang perubahan yang akan mereka lakukan begitu mereka terpilih, tetapi kenyataannya, banyak dari janji ini tidak pernah terwujud. Politisi sering berbicara apa yang ingin kita dengar untuk memenangkan dukungan, tetapi setelah mereka terpilih, prioritas mereka bisa berubah. Seringkali janji-janji yang disampaikan para politisi bersifat utopia (atau khayalan belaka).

Kedua, kita harus kritis dan waspada atas skandal korupsi. Skandal korupsi adalah masalah serius yang sering terjadi di dunia politik. Politisi yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat malah terlibat dalam tindakan korupsi untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya.

Kasus-kasus seperti ini merusak kepercayaan publik terhadap politik dan pemerintahan. Oleh karena itu, kita perlu sangat berhati-hati dan kritis terhadap tindakan dan perilaku politisi. Ingat jangan memilih politisi yang pernah melakukan korupsi (mantan koruptor);

Ketiga, kita harus kritis dan waspada atas manipulasi informasi. Politisi cenderung menggunakan strategi manipulasi informasi untuk memengaruhi pandangan publik. Mereka bisa memutar balikkan fakta dan data, menyembunyikan informasi penting, atau bahkan menciptakan narasi palsu untuk mendukung agenda politik mereka. Ini bisa membuat masyarakat terjebak dalam persepsi yang salah dan membuat keputusan politik berdasarkan informasi yang tidak akurat.

Keempat, kita harus kritis dan waspada atas kepentingan pribadi.  Seringkali, politisi mungkin lebih mementingkan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongannya daripada kepentingan rakyat secara keseluruhan. Mereka dapat terpengaruh oleh tekanan dari lobbi atau kelompok kepentingan tertentu, yang dapat mengaburkan pandangan mereka tentang apa yang seharusnya mereka perjuangkan sebagai wakil rakyat. Oleh karena itu, kita perlu mengawasi tindakan dan keputusan politisi dengan cermat.

Menjadi pemilih yang kritis pada hakekatnya adalah berarti menjadi pemilih yang rasional. Pemilih rasional adalah pemilih yang mengesampingkan faktor emosional dalam memaknai suatu informasi. Proses analisa dalam pemilih rasional mengedepankan data yang afirmatif dan majemuk.

Pemilih rasional mengedepankan komunikasi aktif dan terbuka, dalam artian mereka bisa menjawab secara terinci kenapa mereka membuat suatu pilihan politis. Secara umum ciri pemilih rasional adalah meliputi antara lain. Pertama, bahwa proses pemilihan didasarkan atas fakta objektif, bukan atas dasar emosi semata.

Kedua, bahwa pemilih rasional adalah memahami dan menganalisis atas standar kualitas pemimpin yang akan dipilihnya. Ketiga,  pemilih rasional adalah mereka yang memilih karena mendukung kebijakan, bukan karena Partainya. Menjadi pemilih yang kritis dan rasional memang merupakan hal yang berat, namun penting bagi masa depan kita.Top of Form(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img