BERBEDA dengan kota-kota lain, Malang memiliki destinasi wisata berbasis kawasan/ kampung yang dikenal sebagai Kajoetangan Heritage. Kelebihan kawasan ini yaitu membuka peluang-peluang wisata kota sebagai salah satu strategi mendongkrak pertumbuhan ekonomi kota. Tampaknya baik pemerintah maupun masyarakat memahami bahwa tidak banyak potensi wisata di kota ini, maka langkah realistis yaitu mengoptimalkan ruang (space) perkotaan.
Dalam kawasan Kajoetangan, keluarga muda dan anak-anak muda dimanjakan mengisi waktu senggang sambil menikmati “suasana” pusat kota. Sementara itu, komunitas musik berlomba menunjukkan aktualisasi mereka. Setidak-tidaknya tiga genre musik disajikan dengan mengikuti selera pengunjung.
Pertama, musik populer, lagu yang ditampilkan mengikuti selera anak-anak muda, seperti lagu milik five minutes, Stinky, Shela on 7, ungu, padi dan lain-lain. Kedua, musik ‘serius.’ Serius yang penulis maksud tidak mengandalkan lirik atau vokal, hanya sekadar penampilan instrumental.
Penulis bukan ahli musik, maka sulit menikmati musik ini. Sekali pun diselingi talkshow yang memaparkan pengalaman seniman. Mungkin, yang bisa menikmati pengamat musik profesional sekelas juri Indonesian Idol.
Ketiga, musik Era 90-an. Di sini seniman menyanyikan lagu-lagu legend, semacam Iwan Fals. Tidak heran jika, pengunjung yang lahir 1960 sampai 1970-an mengerubungi pertunjukan ini. Mereka ikut menyanyikan lagu sambil menunjukkan gerak gerik jenaka.
Di samping itu, kawasan ini juga mulai dikenal sebagai kawasan kuliner. Baik restoran dan warung makan terbuka pilihan. Ada pujasera dimana berbagai jenis warung makanan lokal disatukan pada toko tertentu. Ada pula toko yang sekadar menjual gorengan dan mie instan. Penjual jajanan di Telkom yang sudah lama berdiri tetap saja laku menjual siomay dan soto lamongan, terutama di akhir pekan.
Kafe-kafe juga beroperasi seperti: Kawisari, Lafayette, Kopi Lonceng Kayutangan, Kayutangan Coffee and Gelato dan lain-lain. Dari kafe itu banyak pilihan kopi, seperti kopi gerus langsung dan kopi bubuk. Di sepanjang trotoar pengunjung bebas membeli kopi sasetan yang dijual kaki lima dengan harga murah.
Sejatinya pengunjung mendapati pilihan-pilihan demokratis untuk bebas memilih toko modern atau toko ‘tradisional.’ Menurut penulis, jika kedua sektor ini mampu tumbuh dengan baik, maka sejatinya kawasan ini memberikan ‘kesejahteraan’ secara bersama-sama.
Mewaspadai Kapitalisme Perkotaan
Salah satu penyebab Kajoetangan Heritage ramai karena kebiasaan masyarakat atau anak muda yang rata-rata mahasiswa mengisi waktu luang di pusat kota, utamanya di akhir pekan. Setelah maghrib, kelompok ini memadati trotoar menikmati musik, makan-makan, selfi atau sekadar jalan-jalan.
Keadaan yang mengkhawatirkan jika kawasan trotoar ini menjadi kapitalis, ruang (space) perkotaan jadi representasi kelompok kelas-kelas tertentu yang berpotensi memunculkan ketidakadilan akses warga. Gambaran sederhana yaitu pihak bermodal besar yang mampu menghasilkan pundi-pundi cuan, sementara itu pihak tidak berpunya justru sulit mengambil keuntungan atau sulit menikmati fasilitas kota.
Sejatinya destinasi wisata kayu tangan tidak hanya trotoar yang dipermak seperti kawasan Malioboro di Yogyakarta, tetapi juga kampung-kampung dengan karakter asli yang masih dipertahankan. Di dalam kampung kita bisa menemui rumah penghulu, rumah zaman kolonial, rumah jadul, penjual dawet ireng, kafe di rumah jadul, pasar krempyeng, dan makam Pangeran Honggo Kusumo yang diyakini pengikut Pangeran Diponegoro dan jembatan semeru.
Sejatinya, secara sosiologis esensi pariwisata yaitu di kampung heritage ini, sebuah pariwisata murah dengan pengalaman sensasional, tanpa tiket mahal sehingga semua warga mampu mengakses. Desain baru membuat kampung ini tidak 100 persen alami, seperti lampu-lampu hias di dalam kampung, tetapi tambahan pembangunan ini dipadukan dengan sangat baik sehingga tampilan kampung menjadi indah.
Selain itu jika kita benar-benar mengikuti wisata kampung ini tidak kalah ‘sensasional’ dengan sajian wisata buatan. Dengan berjalan kaki memasuki kampung membuat tubuh semakin sehat dan mata dimanjakan dengan pemandangan hunian yang bersih. Sayangnya, tidak semua anak muda menyukai model pariwisata semacam ini. Untuk itu kita perlu menyosialisasikan model wisata yang merupakan anti tesis dari industri pariwisata artifisial yang kian marak di Malang Raya.
Strategi Berkelanjutan
Persoalan yang harus dipikirkan ke depan yaitu strategi untuk menghidupkan Kajoetangan Heritage? Peningkatan potensi wisata di kawasan Kajoetangan sejatinya bertujuan baik. Karena ekonomi yang menggeliat diyakini banyak pihak akan memakmurkan warga kota, sepanjang pengelolaan benar-benar memaksimalkan dampak positif dan mengantisipasi kemunculan dampak nagatif.
Karena itu, pengelola kota jangan hanya memaksimalkan dampak ekonomi saja. Justru aspek-aspek lain seperti historis, sosial dan kultural seharusnya tidak kalah menonjol. Ingat kota adalah perpaduan semua unsur tersebut dan ekonomi hanyalah salah satunya.
Salah satu contoh, penulis menyukai kawasan ini bukan saja karena pusat pertumbuhan baru yang dihasilkan, tetapi juga sumbangan komunitas Malang Walk Heritage yang menyajikan pengetahuan dan inspirasi bangunan kolonial di pusat kota, sejarah perkembangan Kota Malang dari waktu ke waktu dan karakter sosiologis Kota Malang lintas generasi.
Pada saat penulis mengikuti semacam tour keliling sekabrom (Semeru, Kayutangan, Bromo), tarif yang dipungut sukarela. Tetapi ‘jalan-jalan’ di dalam kampung disuguhi pengetahuan menginspirasi. Di lain waktu, penulis juga menikmati foto-foto yang dipamerkan di salah satu rumah ‘jadul’ di kawasan ini, memberi inspirasi historis sosiologis perilaku manusia-manusia kota. Dengan kalimat lain, berinteraksi dengan komunitas ini sejatinya akan menumbukan semangat kerelawanan sosial, mencintai kota dan seduluran sesama warga Arema.
Untuk itu, pengelola kota harus serius memikirkan peran semua aktor demi menghidupkan wisata komunitas berkelanjutan ini. Pemerintah tetap sebagai pengendali, namun ia harus mengelola partisipasi stakeholders lain, seperti sektor publik dan sektor swasta. Tanpa itu, lama-kelamaan kawasan ini tidak akan bermakna bagi pengunjung.
Governansi yang mengatur relasi semua stakeholders dibutuhkan, tidak saja ia mengelola kompetensi dan kepentingan semua pihak, tetapi juga mengevaluasi pihak-pihak yang tidak berhasil kompetisi di arena ini.(*)