.
Sunday, December 15, 2024

Kanopi Suci

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si

Malang Posco Media – Hidup di dunia, baik dalam beragama, berbangsa dan bernegara, menuntut manusia memiliki spiritualitas luhur. Pandemi, revolusi industri 4.0., society 5.0., dan relasi dunia yang rawan agresi, beragam tindakan radikal yang ekstrem melahirkan kekerasan berkedok sakral dan heroisme, politik demokrasi liar dan oligarkis, para kapitalis tamak mengeruk alam ibarat milik sendiri tak berkesudahan, dan kerusakan alam akibat ulah manusia secara masif yang menimbulkan bencana perubahan iklim dan segala prahara dunia; meniscayakan membutuhkan peran rohani manusia yang tercerahkan.

Ada tawaran dari Steven Pinker dalam Enlightment Now, bahwa manusia di era modern harus banyak mengembangkan a humanistic sensibility untuk menumbuhkan sikap empati, seperti kemurahan hati, belas kasih, saling memahami, saling melindungi dalam kebaikan satu sama lain. Sifat-sifat empati ini menghidupkan watak alami manusia sebagai makhluk mulia yang memiliki “rasa”, yang saat ini boleh jadi tergerus pola pikir rasional-instrumental ataupun pandangan keagamaan yang dangkal dan sesaat. Lebih-lebih di kala dunia mengalami goncangan dan kegalauan, sungguh diperlukan kehadiran insan yang rohani-spiritualitasnya berlapis dan bertingkat tinggi, bukan sosok pemburu kuasa duniawi yang larut dalam kemewaan-kemegahan duniawi dan egoisme diri semata-mata.

Agama dan spiritualitas luhur sudah semestinya selalu menjadi tempat rujukan untuk mencari kanopi suci bagi kehidupan yang galau dan tidak pasti. Suatu fenomena yang disebut Michael Adas, religious revitalization, atau kebangkitan agama di saat terjadi kekacauan hidup, meski kebangkitan agama tidak jarang bergerak ke arah lain dari keberagamaan yang ekstrem hingga paham ratu adil (millenarian vision) berwajah pelarian.

Mozaik Spiritualitas

Dunia kacau-balau sering terjadi karena manusia kehilangan jangkar spiritual yang luhur. Visi moralnya tak lebih luas dari halaman rumahnya yang sempit, yang terkungkung dalam tradisi kecil yang miopik. Akal sehat diporak-porandakan sehingga orang awam dibikin bingung dan kehilangan kepercayaan akan makna kebenaran, kebaikan, dan kepatutan hidup. Yang salah dijadikan benar, buruk diputar balik menjadi baik, aturan dipermainkan, serta langit kehidupan dibikin serba abu-abu yang bermuara pada kekacauan nilai sebagaimana Firman Allah tentang manusia ”berperangai hewaniah” yang potensi inderawinya mati rasa karena kehilangan suara kalbu” (QS, 7: 179).

Perangai salah kaprah yang parah itu sering dibingkai oleh alam pikiran dan provokasi nalar “antroposen” yang bias humanisme sekular, dari permukaan tampak benar, tetapi sejatinya secara nilai berantakan dan akhirnya berbuah prahara. Kehidupan bersama yang semestinya berbingkai keadaban luhur, menurut Peter L. Berger, jatuh menjadi chaos, yang berwajah liar. Manusia terjerembab pada paradigma post truth, ketika segala kesalahan dibikin berulang tetap dan akhirnya jadi benar.

Kehidupan chaos seperti itu dalam rujukan ramalan Jayabaya membawa kehidupan masyarakat pada zaman ”kolobendu”, primitive,  ortodoks, dan jahiliyah. Kehidupan manusia di permukaan tampak menikmati kesenangan dan kenikmatan duniawi, tetapi senyatanya rusak dan hancur.

Kehidupan yang serba tidak terukur, berserakan, jungkir balik, orang benar kebingungan dan yang salah bersenang-senang, orang baik terkoyak-koyak, sementara orang bermasalah menari-nari bahagia. Banyak paradoks kesalahkaprahan berubah menjadi lumrah, arah kehidupan pun bergerak zigzag ibarat kapal besar diempas gelombang besar, tidak terkendali dan kehilangan kompas menuju pantai idaman.

Di tengah zaman yang kacau dan kurang terkendali akan nilai-nilai luhur, maka penting dihadirkan spiritualitas keagamaan. Para pemeluk dan tokoh agama hadir dengan keberagamaan yang fithri-hanif, sehingga memancarkan pencerahan akal budi di dalam dirinya maupun dengan sesama dan lingkungannya. Para tokoh dan Ulama’nya menjadi suri teladan, bukan pemicu kegaduhan dan keresahan.

Hidup damai, toleran, harmoni, adil, dan rendah hati menjadi budaya dan perilaku luhur keseharian umat beragama. Sebaliknya terjauh diri dari segala perangai buruk, esktrem, tidak adil, intoleran, dan ghibah serta egoisme kelompok yang melahirkan anomali kehidupan beragama, sehingga melahirkan ekstrimisme.

Spiritualitas luhur buah puasa akan melahirkan jiwa futuwah (kesatriaan) dan irfa’ (keluhuran budi) dalam kehidupan kebangsaan, yang melahirkan mozaik kenegarawanan para elite dan warga bangsa. Para elite memilih hidup mengabdi untuk negeri dan dunia kemanusiaan dengan sepenuh hati, ketimbang terkerangkeng dalam sangkar-besi tahta dan pesona dunia yang tidak berkesudahan, karena mereka bermartabat mulia dan telah selesai dengan urusan dirinya.

Warga bangsa pun semakin cerdas dan bermartabat luhur, serta bertumbuh menjadi kekuatan kolektif yang inspiratif bagi kemajuan negeri. Kita percaya masih banyak elite dan warga bangsa di negeri tercinta meski denyut nadi keruhaniannya berdetak lirih, mereka menyimpan mozaik spiritualitas luhur untuk memilih jalan hidup lurus demi Indonesia maju dan berkeadaban tinggi.

Spirit Keagamaan

Ada beberapa spirit keagamaan dalam rangka merajut iman kebangsaan menurut Tri Wahono perlu memperhatikan beberapa hal; Pertama, hendaknya spirit keagamaan jangan memisahkan doktrin keagamaan dengan doktrin kebangsaan Republik Indonesia yang sebenarnya tanpa disadari telah terbukti mengakomodir nafas spiritualitas agama dalam Pancasila dan UUD 1945. Ini menunjukkan bahwa agama dan Negara dalam konteks kebangsaan merupakan satu-kesatuan jalinan yang bersifat mutualistik.

Kedua, spirit keagamaan perlu lebih progresif untuk tidak memfokuskan dirinya dalam narasi yang sangat kecil seperti memusingkan diri hadir sebagai antitesa paham-paham sesat dan penistaan Agama. Narasi penjajahan kolonialism modern adalah narasi besar yang dapat mempengaruhi politik, budaya, sains dan sosial dalam konteks kebangsaan. Perlu diketahui, bahwa lahirnya paham-paham sesat atau penistaan agama bisa jadi muncul karena adanya infiltrasi penjajahan modern yang semakin hari menghantui kita dalam bentuk dan varian yang makin baru.

Ketiga, spirit keagamaan dalam politik kebangsaan harus menawarkan tawaran strategis yang sistematik, efektif dan terukur terhadap berbagai persoalan bangsa. Spirit keagamaan dalam hal ini perlu menciptakan konsep kepemimpinan yang mempunyai arah dan langkah perjuangan serta dapat mendorong cita-cita masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termaktub dalam tujuan manifesto politik Republik Indonesia. Hal tersebut bisa dikuatkan melalui pembentukan standar kompetensi politik partai keagamaan yang merupakan embrio dari meritokrasi politik dalam rangka melepaskan diri dari politik oligarki dan feodalisme rente birokrasi dan politik.

Keempat, spirit keagamaan secara langsung maupun tidak langsung harus hadir menciptakan kaum-kaum muda progresif melalui dukungannya terhadap pengembangan riset, penelitian intelektual dan pemberdayaan kaum muda yang butuh hak-hak pendidikan. Kaum-kaum muda progresif ini akan hadir dalam kontestasi politik dalam perwakilan kaum intelektual untuk mewujudkan sila keempat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh “hikmat-kebijaksanaan” dalam permusayarawatan perwakilan.

Kelima, spirit keagamaan harus secara progresif melakukan pemberdayaan masyarakat miskin dan kaum menengah ke bawah untuk dapat menyadarkan secara sosial, politik maupun ekonomi melalui jejaring kaum muda pergerakan yang selama ini sudah banyak tersedia di berbagai lapisan masyarakat dan kampus.

Keenam, spirit keagamaan perlu secara kritis menyikapi berbagai persoalan kemanusiaan agar dapat menjadi spirit keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka, spirit keagaman perlu secara konkrit hadir dalam berbagai solusi terhadap persoalan HAM, eksploitasi sumber daya alam, dan tuntutan terhadap hak-hak publik.

Ketujuh, spirit keagaman hendaknya hadir sebagai semangat yang arif dalam mewujudkan sila ke-3 yaitu persatuan Indonesia dalam kerangka kebhinekaan dan keberagaman.

Usaha kontinu merajut iman kebangsaan dan merawat akal sehat negeri ini dalam rangka mewujudkan cita-cita tertinggi bangsa Indonesia yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam pikiran, adil dalam tindakan, makmur dalam hak publik dan makmur dalam hak sosial-ekonomi merupakan suatu keniscayaan. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img