.
Saturday, December 14, 2024

Kapan Datang Oposisi Sejati?

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Rachmad K. Dwi Susilo, MA, Ph.D

Sekretaris Prodi Sosiologi S2 & S3 DPPS UMM,

Ph.D dan lulusan Public Policy and Social Governance,

Hosei University, Tokyo, Jepang

          Kegaduhan politik terjadi lagi. Kali ini dipicu DPR yang tidak begitu saja menerima keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) terkait pilkada. Tidak seperti biasanya, respon Baleg DPR sangat cepat dengan merapatkan keputusan MK yang melahirkan kemarahan akademisi, tokoh masyarakat sipil dan mahasiswa. Kali ini massa menuntut DPR menjalankan mandat MK.

          Dari sisi prosedur, keputusan MK sejatinya keputusan tertinggi di atas keputusan yang lain.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10, memberi wewenang kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Keputusan MK bersifat final.

          Dari sisi substansi, keputusan MK No.60/PUU-XXII/2024 sejatinya berkontribusi positif demi mengembalikan iklim demokrasi sehat sebagaimana mandat reformasi. Adanya ambang batas 20 persen yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik membuat demokrasi kita defisit substansi. Terlebih, koalisi gemuk hari ini akan menyempitkan partisipasi politik semua warga.

          Atas tanggapan DPR pada keputusan terbaru MK ini kegaduhan politik terjadi. Kegaduhan seperti ini mengulang ketika pengesahan Undang-Undang KPK, Undang-Undang Omnibus Law dan keputusan MK tentang batas umur wakil presiden telah memicu rasa keadilan masyarakat.

          Kita harus berpikir secara utuh bahwa akar persoalan dari permasalahan ini karena selama 10 tahun ini sistem politik kita tidak membuka kontrol atau check and ballance. Posisi Jokowi begitu powerfull dan berhasil menciptakan koalisi gemuk dalam KIM (Koalisi Indonesia Maju). Selain itu, Jokowi berhasil mengorganisir kesatuan kelompok relawan yang ikut membela mati-matian tokoh ini saat bermanuver politik.

          Kondisi ini yang menyebabkan nyaris tidak ada kontrol politik. Legislatif yang seharusnya menjadi pihak yang “menegur” eksekutif, tumpul dan mandul. Logika yang terjadi bagi-bagi kekuasaan dan saling melindungi. Seorang politisi  menyatakan, tidak zamannya lagi menjadi oposisi, hari ini yang dibutuhkan kolaborasi.” Istilah ini memang seksi secara normatif, tetapi jika tujuan kepada perebutan dan penguasaan sumber daya, sejatinya tidak lebih pada permufakatan jahat.

Arti Penting Oposisi

          Kajian sosiologi politik menyatakan bahwa konflik antar kelompok rentan terjadi. Para teoritisi menyatakan bahwa kekuasaan (power), kekayaan (wealth) dan gengsi (prestige) menjadi sumber daya diperebutkan. Eksistensi ketiga sumber daya tersebut sangat terbatas, para pengejar banyak, sehingga muncul persaingan dan konflik. Maka kekuasaan cenderung korup yang menghalalkan segala penyimpangan aturan main dan melanggar kepantasan sosial.

          Di sinilah kita mengenal watak manusia yang mirip dengan binatang. Mengikuti aturan dan melawan aturan merupakan dua penampilan (performance) kompetisi politik. Aktor bermain di panggung depan (front stage) dengan bersilat lidah, tetapi sejatinya di panggung belakang (back stage), mereka mengatur muslihat untuk mengegolkan kepentingan pribadi atau golongan.  

          Kalau proses ini dibiarkan alamiah maka ada kelompok penguasa dan kelompok korban. Di sinilah opisisi akan mencegah kondisi ini dengan membuka keseimbangan (check and balance) secara terlembaga (institutionalized).  

          Mendukung logika tersebut, logika oposisi sejatinya sudah kita pahami dalam Kitab Suci yang menyatakan satu paket antara mengajak kebaikan (amar makruf) dan mencegah kemungkaran (nahi mungkar). Tidak mungkin hanya memaksimalkan satu sisi dengan meninggalkan sisi lain. Oposisi sejatinya merupakan gerakan nahi mungkar tersebut.

          Memang, kebebasan selama ini sudah kita rasakan sekalipun tidak maksimal. Pers bebas mengkritik pemerintah dengan memanfaatkan media sosial. Tokoh-tokoh masyarakat sipil tidak lelah melakukan kontrol dengan memberikan kritik yang bisa dinikmati publik.

          Tetapi selama ini banyak gerakan di luar parlemen. Output yang dilahirkan kurang signifikan pada perubahan sistem.  Sejatinya Indonesia membutuhkan oposisi yang berperan baik di luar dan di dalam parlemen. Kita berharap besar partai-partai politik sebagai kekuatan penyeimbang eksekutif yang menyimpang atau personal pejabat negara yang korup.

Emoh Oposisi

          Kondisi hari ini kita melihat, para pelaku politik menganggap oposisi sebagai keputusan tidak populer. Salah satu sebab karena biaya politik tidak murah. Rata-rata basis ekonomi politisi problematik. Dalam setiap proses kita membutuhkan ongkos mahal. Para pemain politik kebanyakan tidak ditopang dengan dana sendiri, tetapi uang pinjaman, maka usai pasti membutuhkan biaya pengembalian dari pada memikirkan kepentingan publik.

          Kondisi kedua yaitu mindset politisi yang rata-rata pedagang. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan kualitas politisi di era 1999-2004. Seharusnya politik memperjuangkan kepentingan dan kebaikan umum, tetapi kenyataan hari ini ia tidak lebih sebagai instrumen mengejar dan mempertahankan banyak sumber daya (resources). Tidak ada tujuan menyejahterakan rakyat. Hubungan politisi dengan rakyat telah “putus” atau selesai dalam relasi politik uang saat pencoblosan legislatif. 

          Melihat kondisi akhir-akhir ini kita tidak boleh pesimis, sistem demokrasi adalah membuka partisipasi sebesar-besarnya. Maka yang diperlukan tindakan aktif semua pihak agar menemukan model demokrasi substantif seperti kita harapkan. Semoga.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img