spot_img
Monday, June 17, 2024
spot_img

Keadilan Akses Pendidikan Tinggi di Indonesia

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Pendidikan adalah sumber dan tolak ukur sebuah negara untuk dikatakan dapat menyejahterakan masyarakatnya. Menurut Shibanova & Malinovsky (2021) secara historis Pendidikan merupakan bagian integral dari negara kesejahteraan. Di beberapa negara maju akses pendidikan warganya selalu menjadi perhatian utama. Maka tidak mengherankan jika tingkat kesejahteraannya lebih terjamin daripada negara berkembang.

Dalam kehidupan bangsa Indonesia, pendidikan juga merupakan salah satu media untuk mewujudkan tujuan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak hanya itu melalui amanah Undang-Undang Dasar 1945 setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan (Pasal 31 ayat 1). Sehingga pemerintah secara konsisten menyediakan anggaran 20 persen dari APBN dialokasikan untuk sektor pendidikan.

Akan tetapi akses pendidikan bagi masyarakat belum secara sempurna terbuka lebar, khususnya Pendidikan tinggi. Menurut Laporan Statistik Kesejahteraan Rakyat 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan 10,15 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas telah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Jumlah ini masih tergolong sedikit dibandingkan negara lain.

Menurut laporan Organization of Economic Co-operation and Development (OECD), persentase lulusan pendidikan tinggi (sarjana, magister, dan doktor) terbanyak tahun 2023 Kanada masih menjadi juara bertahan sejak tahun 2018 dengan 60 persen penduduknya berhasil menamatkan pendidikan tinggi. Kemudian ada Rusia berada di peringkat kedua dengan 56,67 persen. Selanjutnya, Jepang dan Korea Selatan adalah dua negara Asia yang masuk dalam negara teratas persentase penduduk yang menamatkan Pendidikan Tinggi sebanyak 52.7 persen dan 50.7 persen.

Akses pendidikan tinggi masih menjadi sesuatu hal yang mahal bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Salah satu alasan besarnya adalah keterbatasan ekonomi. Bagi sebagian besar keluarga kurang mampu, pendidikan adalah pilihan yang kesekian. Mereka lebih memilih untuk fokus bagaimana bisa bertahan hidup (makan) dan mencari uang.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2023 angka kemiskinan Indonesia sebesar 25,90 juta orang atau 9,36 persen dari total jumlah penduduk. Meskipun trennya menurun dibandingkan tahun sebelumnya, diperlukan kebijakan yang afirmatif untuk mendorong bagi masyarakat miskin keluar dari rantai kemiskinan. Sekaligus menjamin kualitas sumber daya manusia di masa depan.

Akses afirmatif

          Menanggapi tulisan Pembiayaan Pendidikan Tinggi oleh Amich Alhumami tentu pendidikan tinggi mestinya dimaknai sebagai public goods. Artinya dalam memperoleh akses itu tidak perlu membutuhkan biaya, toh jika pun mengeluarkan biaya, hal itu bisa dijangkau oleh masyarakat. Namun yang terjadi saat ini justru banyak Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta berlomba-lomba menaikkan biaya yang dibebankan pada mahasiswa.

          Terlebih fakta yang terjadi pada beberapa kampus PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) yang berdampak pada aksi turun jalan atau demo oleh mahasiswa untuk menentang kenaikan UKT atau SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan).

Semakin mahalnya Pendidikan Tinggi ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Setuju atau tidak, sektor pendidikan mempunyai peran penting dalam kemajuan sebuah bangsa. Lebih-lebih pendidikan tinggi. Hal itu seperti yang disampaikan oleh Hicks (1987) bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan sosial.

Hal itu didukung oleh Cooray (2009) dalam penelitiannya tentang peran pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara baik secara kuantitas maupun kualitas. Pendidikan memang tidak menjamin keberhasilan seseorang, akan tetapi lebih banyak memberikan pilihan bagi seorang untuk menentukan jalan keberhasilanya. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan afirmatif untuk membuka akses pendidikan tinggi secara berkeadilan

Pemerintah sebenarnya telah merumuskan beberapa kebijakan untuk membuka akses Pendidikan Tinggi, khususnya bagi kalangan tidak mampu, seperti misalnya Beasiswa KIP Kuliah, Beasiswa Unggulan. Selain itu, ada beberapa mekanisme beasiswa yang diprakarsai oleh BUMN atau perusahaan nasional sebagai bentuk CSR seperti Beasiswa Bakrie, Beasiswa Djarum, Mandiri, BCA dan lain-lain.

Terkhusus mengenai KIP Kuliah, KIP kuliah merupakan beasiswa yang diberikan oleh pemerintah kepada lulusan SMA/ SMK Sederajat yang mempunyai prestasi akademik akan tetapi mempunyai keterbatasan dalam segi finansial untuk melanjutkan studi di Perguruan Tinggi. Menurut kacamata penulis yang sekaligus alumni beasiswa bidikmisi dan LPDP Afirmasi, jumlah penerimanya harus diperluas lagi.

Desentralisasi

          Selain kebijakan afirmatif, akses pendidikan tinggi juga perlu terdesentralisasi secara merata di seluruh pelosok Indonesia. Meningkatnya biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) tidak lain juga karena animo Masyarakat yang secara signifikan tertarik pada Perguruan tinggi tertentu.        Masyarakat beralasan mengenai jaminan mutu Pendidikan dan kompetensi yang diperoleh dari Perguruan tinggi tertentu, khususnya PTN BH. Sehingga tidak mengherankan calon mahasiswa menempuh jalan apapun untuk bisa masuk ke beberapa kampus unggulan.

          Dalam kasus PTN BH, kenaikan UKT atau uang pangkal dari calon mahasiswa tersebut lantaran pemerintah hanya mensubsidi PTN BH dengan kisaran 30 persen. Selebihnya, kampus harus mencari dana sendiri. Termasuk menyeleksi mahasiswa lewat jalur mandiri dengan menaikkan besaran uang pangkal.

Desentralisasi kualitas mestinya perlu menjadi agenda besar Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sentralisasi Pendidikan tinggi yang terjadi saat ini hanya akan menyuburkan praktik komersialisasi. Hal itu terjadi karena kualitas Pendidikan Tinggi yang mempengaruhi pembiayaan.

Desentralisasi ini dapat dilakukan dengan melalui standarisasi kurikulum, pengajar, dan infrastruktur Pendidikan Tinggi termasuk bahan dan alat laboratorium. Jangan sampai akses afirmatif itu tidak disertai dengan pemerataan kualitas Pendidikan Tinggi.

Pemerataan kualitas akan menjadi modal besar Indonesia menghadapi tantangan global yang semakin tidak menentu (unpredictable). Melalui Pendidikan tinggi yang berkualitas dan berkeadilan diharapkan mampu membawa meraih peluang Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2045.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img