spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

Keistimewaan Muharam

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Bulan Muharam memiliki banyak kemulian. Salah satunya seperti yang disebutkan dalam hadits yang berbunyi: Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharam. Sedangkan salat yang paling utama setelah salat fardhu adalah salat malam.” (HR:Muslim)

Di antara bulan-bulan lainnya, Muharam memiliki keutamaan. Inilah bulan yang berjulukan syahrullah atau `bulan Allah.’ Pada bulan Muharam pula, Allah SWT menyelamatkan kaum Nabi Musa AS dari kejaran Firaun. Sejak zaman Rasulullah SAW, Islam memelihara tradisi yang menggolongkan Muharam sebagai salah satu dari empat bulan haram. Pada bulan ini, dilarang adanya kontak senjata.

Kenapa Muharam begitu istimewa? Dalam Alqur’an Surah At-Taubah ayat 36, Allah mengabarkan 4 bulan agung (bulan-bulan haram) yang wajib dimuliakan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab. Pada bulan-bulan ini umat Islam dilarang menganiaya diri sendiri dan sebaliknya dianjurkan memperbanyak amal saleh.

Dalam surah lain (Surah Al Fajar ayat 1-3), Allah SWT berfirman dengan kalimat seakan-akan bersumpah: ‘wal-Fajri (demi waktu Fajar), wa laya lin ‘Asyrin (demi malam yang sepuluh), wassyaf’i wal-watri (demi yang genap dan yang ganjil). Para mufassir menjelaskan ayat “demi malam yang sepuluh” itu adalah 10 hari terakhir bulan Ramadan, 10 hari pertama bulan Dzulhijjah dan 10 hari pertama bulan Muharam.

Allah menjadikan empat bulan ini (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab) sebagai bulan haram (asyhurul-hurum). Siapa yang beramal shaleh pada bulan tersebut maka Allah akan melipatgandakan pahalanya. Sebaliknya siapa yang berbuat maksiat pada bulan-bulan itu maka dosanya berlipat pula.

Amalan Dianjurkan

Muharam adalah bulan haram yang penuh berkah terutama pada 10 hari pertama bulan tersebut. Beberapa amalan yang dianjurkan sebagai berikut: pertama, memperbanyak puasa sunnah, dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadan adalah pada bulan Allah yang bernama Muharam.” (HR. Muslim).

Kedua, menghidupkan Puasa ‘Asyura dan Tasu’a (9-10 Muharam), Rasulullah SAW bersabda: “Dan puasa di hari ‘Asyura saya berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.” (HR Muslim).

Nabi juga berpesan dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas: “Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sebelumnya atau berpuasalah setelahnya satu hari.” (HR Ahmad, HR Al-Baihaqi)

Fadhillah melaksanakan puasa ‘Asyura adalah menggugurkan dosa selama setahun lalu. Mengenai puasa Tasu’a (9 Muharam) dilakukan sehari sebelum puasa ‘Asyura hukumnya pun sunnah. Dari Ibnu Abbas RA dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila (usia) ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim).

Ketiga, memperbanyak sedekah, selain menghidupkan puasa sunnah, umat Islam juga dianjurkan memperbanyak sedekah. Sedekah pada bulan Muharam menurut Mazhab Maliki sangat dianjurkan. Sementara mahzab lainnya tidak memberikan penekanan khusus, namun tidak memberi larangan untuk mengamalkannya.

Sebagaimana keutamaan Muharam di mana Allah melipatgandakan pahala setiap amal saleh, maka memperbanyak sedekah termasuk menyantuni anak yatim merupakan amalan yang disukai Allah. Allah berfirman dalam (QS.,2: 261) yang artinya: “Perumpamaan orang-orang yang mendermakan (shodaqoh) harta bendanya di jalan Allah, seperti (orang yang menanam) sebutir biji yang menumbuhkan tujuh untai dan tiap-tiap untai terdapat seratus biji dan Allah melipat gandakan (balasan) kepada orang yang dikehendaki, dan Allah Maha Luas (anugrah-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Nabi Muhammad SAW juga bersabda, “Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR. At-Tirmidzi)

Hikmah Muharam

Masuk kepada hikmah yang dapat kita ambil dari sejarah bulan Muharam ini adalah perintah Rasulullah untuk kita melaksanakan Hijrah. Namun hijrah seperti apakah yang dapat kita kerjakan dan kita laksanakan di zaman kita sekarang?

Hijrah saat ini bisa diartikan dan dibagi menjadi dua macam bentuk hijrah, yaitu pertama, hijrah makani (sebagaimana Rasulullah berhijrah dari makkah ke Habasyah, Ethiopia, Thaif, dan yang terakhir adalah Madinah). Dan yang kedua adalah Hijrah Ma’nawi, Hijrah ini difokuskan kepada pemahaman untuk perubahan diri dalam segi adab khususnya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dari hijrah yang berbentuk empiris (di zaman Rasulullah) menjadi hijrah yang berbentuk metafisik.

Kita harus bisa mengambil hikmah dari datangnya tahun baru hijriyah. Menjadikan diri kita menjadi lebih baik dari tahun bahkan hari-hari sebelumnya. Jangan sampai menjadi orang yang merugi karena hari kemudian kita tidak lebih baik dari hari hari sebelumnya. Seperti yang sering kita dengar dalam sebuah hadits; “Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka.” (HR. Al Hakim).

Besok kita memperingati tahun baru Hijriyah. Tapi hikmah apa yang dapat diambil oleh kita dari peristiwa hijrahnya Rasulullah dengan memperingati tahun baru hijriyah. Untuk contoh kecil, sudah menjadi pengetahuan umum bagi kita semua, bahwa dalam setiap perkumpulan hendaklah kita khidmat di dalamnya, apalagi jika perkumpulan tersebut sebagai majelis Ilmu.

Sudah menjadi adab setiap manusia untuk mendengarkan siapa yang berbicara di dalam perkumpulan tersebut. Tetapi beberapa kali ditemukan kita yang belum bisa menjalankan dan melaksanakan adab dalam majelis ini dengan maksimal. Maka harus kita niakan dalam hati untuk bisa meningkatkan diri dalam segi hal ini menjadi yang lebih baik. Menciptakan setiap perkumpulan bisa terasa lebih khusyuk dan khidmat dengan suasana yang tenang tanpa suara-suara yang mengganggu.

Maka melalui peringatan hijriyah ini ummat Islam perlu mengadakan introspeksi diri (muhasabah), apa kekurangan-kekurangan pada tahun kemarin yang harus ditambal, apa kelebihan yang harus dipertahankan. Karena ibarat seperti dalam pembukuan, setiap tutup buku, kemudian membuka lembaran baru, maka seseorang akan berharap menjadi lebih baik dengan mengetahui kekurangan dan kelebihan yang telah lalu, jika demikian dalam pembukuan apalagi sebagai seorang muslim.

Maka semua berharap tahun mendatang lebih baik dari tahun kemarin. Walaupun terkadang tidak tahu apakah perbuatan itu baik atau benar, tapi semuanya sudah jelas antara yang halal dan yang haram. Dan untuk para pelajar yang sedang mencari ilmu yang harus dilakukan adalah tajdidu-niyyah (pembaharuan niat), untuk apa ia belajar matematika, bilologi, bahasa inggris, ekonomi, dan lain-lain. Apakah itu betul-betul di jalan Allah, atau hanya agar dilihat untuk mencari popularitas.

Sejalan dengan refleksi tahun baru Hijriyah kali ini jika dicermati dalam suasana kehidupan umat Islam dewasa ini, paling tidak ada 4 hal yang harus ditransformasi dalam makna memperingati tahun baru Hijriah sebagai berikut.

Pertama, Hijrah dalam kategori ‘Itiqadiyah (keyakinan) yang merupakan ideologi tauhidiyah seorang muslim, dimana dalam pelaksanaan keyakinan dan ibadah hanya semata-mata ikhlas karena Allah SWT.

Kedua, Hijrah dalam kategori Fikriyah (pemikiran), yakni pemikiran yang dilandasi dengan kontrol wahyu ilahiyah, bukan cara berpikir liberalisme yang menafikan nilai-nilai wahyu, yang hanya memakai kekuatan akal pikiran semata. Padahal tanpa disadari ternyata akal pikiran manusia sewaktu-waktu bisa tidak normal. Namun jika dilandasai wahyu akal manusia akan tetap stabil, oleh karenanya tujuan hukum Islam salah satunya dalam rangka menjamin terpeliharanya akal pikiran.

Ketiga, Hijrah dalam kategori syuriyah (perasaan) yang muaranya pada ketenangan jiwa (psikologis). Inilah situasi yang berada pada wilayah subjektif-psikologis, hanya dengan banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT lewat dzikir (dalam arti luas beribadah) untuk menuju ketenangan jiwa, dan jauhkan dari sikap meditasi melalui semedi di gua, kuburan dan tempat-tempat yang dianggap membawa wangsit dan mengarah pada perbuatan syirik. 

Keempat, Hijrah dalam kategori sulukiyah (perilaku), dalam konteks ini dimensi pengalaman sehari-hari tentunya harus diperhatikan, betapa banyak manusia hidupnya bermasalah karena ulah tingkah lakunya yang tidak memperhatikan moral atau akhlak, dalam sehari-hari selalu bergelimang dengan maksiat dan dosa.

Momen tahun baru ini mari kembali kepada perilaku Islami, sementara yang telah berperilaku Islami konsisten dalam mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. (*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img