.
Sunday, December 15, 2024

Kemanusiaan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si

MALANG POSCO MEDIA – Akhlak merupakan bagian yang terpenting dari manusia yang beragama dan beriman. Dari akhlak, identitas agama dan keimanan manusia akan terbiasa dalam perilaku kehidupannya dan pandangan baik buruknya dalam melihat sesuatu serta mencari kebenaran yang diyakininya.

Dan agama yang diyakini selalu memerintahkan dan mendorong untuk selalu berbuat baik serta beramal saleh. Yaitu berbuat atau melakukan sesuatu yang akan membawa kebaikan bagi diri dan orang lain dalam masyarakat serta menghantarkan kepada keridlaan Ilahi.

Karena itu, tidak aneh kalau para ulama gemar memperingatkan bahwa kejayaan suatu bangsa tergantung kepada keteguhan akhlak, budi pekerti, atau moral bangsa itu. Biasanya peringatan itu dikaitkan dengan adagium berbentuk syair arab, yang artinya “Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama akhlaknya tegak, dan jika akhlaknya runtuh, maka runtuh pulalah bangsa-bangsa itu.’’

Syeikh Muhammad Syaltut, menunjukkan bahwa dalam sejarah turunnya Risalah Ilahiyah, pada akhirnya  diorientasikan untuk memperbaiki perilaku dalam membentuk tatanan nilai kehidupan masyarakat. Dan jika Allah memerintahkan kita berbuat baik, seolah-olah Dia hanyalah mengingatkan kepada kita akan kemanusiaan kita, dan kecenderungan alami kita.

Dengan kata lain, berbuat baik adalah sesuatu yang manusiawi, yang sejalan dan sesuai dengan sifat dasar manusia itu sendiri. Dengan sendirinya perbuatan jahat adalah melawan kemanusiaan, menyalahi sifat dasar manusia.

Dari sudut penglihatan itu, maka perintah Allah kepada kita untuk berbuat baik tidaklah untuk kepentingan Sang Maha Pencipta. Perbuatan baik kita tidak berarti dan tidak boleh diartikan sebagai pelayanan kita kepada Tuhan. Tuhan adalah Maha Kaya, dan Mutlak, sedikit pun tidak memerlukan sesuatu dari makhluk-Nya, termasuk dari manusia. Sebaliknya, perbuatan baik atau amal saleh adalah untuk kepentingan dan kebahagiaan manusia sendiri.

Perbedaan-perbedaan pendapat dalam memahami teks-teks syar’i merupakan kekayaan manusia akan wacana pemikiran, dan juga merupakan bagian dari kebebasan    berpikir yang diberikan oleh Islam kepada manusia dalam rangka memahami agamanya secara detail. Perbedaan yang timbul itu disebabkan oleh metodologi yang berbeda pada seorang mujtahid dalam memahami nash-nash syar’i, dan juga cara pandang yang berbeda dalam  melihat sebuah masalah, sehingga hasil ijtihadnya pun berbeda.

Perbedaan-perbedaan yang muncul yang akhirnya menjadi sekte-sekte ataupun aliran-aliran, menurut Syaltut merupakan proses menyejarah. Sejarah menunjukkan setelah Nabi wafat banyak pemahaman-pemahaman yang berbeda dalam melihat nash-nash syar’i. Dan pada akhirnya perbedaan-perbedaan ini banyak dimuati nuansa-nuansa politis dan fanatis.

Namun demikian menurut Syaltut, walaupun jurang perbedaan antara mereka begitu besar bahkan sulit untuk disatukan, tetapi pada hakekatnya mereka punya satu sasaran tujuan yang sama dalam memahami Islam yaitu mencari kebenaran, walaupun kebenaran yang diyakini dan didapatinya menimbulkan perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.

Oleh karena sebenarnya ada satu prinsip dan hakekat tujuan yang sama tersebut antara satu mazhab dengan mazhab lainnya dalam memahami nash-nash syar’i, Syaltut melontarkan gagasan tentang “Taqrib al Mazahib”, dimana kita berusaha mempersatukan visi dan persepsi pemahaman keagamaan kita tanpa melihat simbol- simbol aliran yang kita yakini, dan dengan meminimalisir fanatisme mazhab yang selama ini membekas dalam perilaku keagamaan kita.

Gagasan itu bukan berarti kita harus menghilangkan dan menghapuskan pluralisme mazhab yang ada, ataupun menyatukan antara satu mazhab dengan mazhab lainnya, tetapi diarahkan untuk mengurangi sekat-sekat keagamaan yang telah menyejarah, dan membersihkannya dari unsur-unsur fanatisme aliran. Sehingga umat Islam bisa menyamakan barisannya, dan menghimpun kekuatannya dalam satu kekuatan besar tanpa melihat mazhab yang diyakininya.

Dalam konteks ini Syaltut memberikan komentar terhadap Musthof Syak’ah “Islam bila Mazahib”, yang relevan dengan dinamika pluralitas pemahaman keagamaan yang selama ini telah menyejarah, sehingga diharapkan mampu memahami dan menyadari tentang perbedaan-perbedaan pemahaman kegamaan yang muncul dan berkembang sampai saat ini. Dan dengan kesadaran ini pula, pada akhirnya kita dapat meminimalisir perbedaan ataupun fanatisme mazhab, untuk selanjutnya kekayaan akan pluraritas itu kita dayagunakan dan kita himpun menjadi sebuah kekuatan.

Membentuk Integritas Kepribadian

Dan agama semua Nabi adalah sama yaitu Islam, meskipun syariatnya berbeda-beda sesuai zaman dan tempanya. Karena itu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan garis kelanjutan dari agama-agama yang dibawa oleh nabi sebelumnya. Hanya saja, seperti halnya dengan semua yang hidup dan tumbuh, agama itu pun dalam perjalanan sejarahnya, juga berkembang dan tumbuh, sehingga akhirnya mencapai kesempurnaan dalam agama Nabi  Muhammad SAW.

Syeikh Mahmud Syaltut, dengan gagasan-gagasannya mengajarkan kita bagaimana memahami Islam secara Kaffah, bagaimana Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan mudah, bukan berangkat dari pemaksaan, tetapi berangkat dari semangat kemanusiaan, semangat ketuhanan, dan semangat ketaatan dan pengabdian manusia sebagai khalifah Tuhan.

Sikap keberagamaan manusia juga menurut beliau harus dimanisfestasikan dan terpolakan dalam bentuk yang dinamis, fleksibel dan dewasa, sehingga Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan saleh likulli zamanin wa makanin benar mewarnai dalam semua tatanan kehidupan manusia.

Dan akhirnya kesadaran manusia akan ber-Islam, beriman dan berihsan dapat memberikan suatu konstribusi peradaban manusia yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan. Dalam masalah salat misalnya, Syaltut berusaha mencari nilai-nilai yang terkandung    di dalamnya.

Salat merupakan bentuk rutinitas hubungan yang berkesinambungan dari manusia kepada Tuhannya, yang akan membentuk integritas kepribadian muslim sejati yang akan membias dalam aspek-aspek perilaku kehidupannya. Karena itu, dengan     salat,  keimanan seseorang akan dapat diukur.

Salat juga menurut Syaltut bentuk Rihlah Ilahiyah manusia dalam rangka penghambaan kepada-Nya dan mencari ridla-Nya. Ibadah salat juga bukanlah merupakan ibadah syhaksiyah murni antara manusia dengan Tuhannya tetapi juga mengandung nilai-nilai sosial kemanusian manusia kepada yang lainnya.

Karena itu, disyariatkan kepada kita salat Jum’at dan salat jamaah. Dan walaupun salat dianggap ibadah yang paling berat, namun menurutnya kalau manusia mampu memahaminya secara proporsianal serta dapat menempatkan pada tempatnya, mana yang azimah dan mana yang rukhsoh, niscaya tidak ada kata berat dalam melaksanakan ibadah tersebut.

Zakat, puasa, dan haji menurut Syaltut merupakan ibadah yang banyak menyentuh nilai- nilai kemanusiaan yang menyangkut refleksi sosial manusia sebagai makhluk Tuhan. Ibadah-ibadah ini punya fungsi dan peran yang besar dalam membentuk tatanan kehidupan masyarakat yang konstruktif dan dalam membentuk sistem kehidupan masyarakat yang ideal dalam rangka menuju keadilan dan kemakmuran masyarakat.

Kewajiban yang dibebankan manusia untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang disyariahkan kepadanya kalau dilaksanakan berangkat dari semangat kemanusiaan dan semangat ketaatan dan pengabdian kepada sang Khaliq, maka manusia akan mampu menemukan nilai-nilai kebenaran dan identitas kemanusiannya sesuai yang diridlai Tuhan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img