Malang Posco Media – TERDAPAT beragam permasalahan terkait kejahatan transnasional atau lintas negara yang dialami negara Indonesia. Salah satunya penyelundupan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Hal tersebut tidak jarang terjadi dan memiliki kemungkinan akan terjadi lagi, dikarenakan Indonesia menjadi negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ke 4 di dunia.
Pada tahun 2022 ini, tercatat dalam data BPS 277,7 juta jiwa penduduk Indonesia, sebanyak 3,7 juta bekerja sebagai TKI dan diberangkatkan sesuai prosedur dengan penempatan di berbagai negara, dalam data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Berbeda dari data BP2MI, dilansir dalam situs resmi DPR RI yang mengungkapkan data berdasarkan Bank Dunia, sejumlah 9 juta WNI bekerja sebagai tenaga kerja imigran. Pernyataan tersebut membuktikan tidak sedikit warga negara Indonesia yang berprofesi menjadi pekerja imigran.
Komisi I DPR RI juga menyatakan pekerja migran ini membutuhkan pelatihan, pasalnya banyak juga yang belum memiliki skill yang mumpuni. Hal ini menimbulkan permasalahan bagi TKI sendiri. Banyaknya kasus kekerasan, pelanggaran hak upah baik rendahnya upah atau bahkan upah tidak dibayar oleh pihak yang menggunakan jasa mereka.
Penyelundupan TKI tidak hanya diakibatkan juga oleh tingkat pendidikan formal dan informal yang rendah, melainkan paksaan faktor ekonomi yang kurang baik. Anggapan kerja di luar negeri yang menjanjikan dan jalur ‘pihak ke 3’ yang lebih mudah, menjadi faktor tingginya minat kelompok masyarakat ini memilih menjadi pekerja migran.
Pada konteks masuknya TKI ilegal di Malaysia, sebagai negara dengan tujuan favorit pekerja migran Indonesia dengan jumlah yang tidak sedikit. Menurut data BP2MI, sebanyak 97.748 pekerja migran diberangkatkan pada tahun 2015, kemudian pada tahun 2016 sebanyak 87.623 pekerja migran.
Pada tahun 2017, sebanyak 88.991 pekerja, tahun 2018 tercatat sebanyak 90.671. Namun, dengan adanya pandemi Covid – 19 jumlah pekerja migran Indonesia tercatat sebanyak 79.662. Dari data tersebut menempatkan Malaysia menjadi urutan ke 2 negara penerima TKI terbanyak.
Penyelundupan TKI ilegal ini menjadi masalah yang serius bagi banyak pihak, seperti yang kita ketahui TKI ilegal memiliki skill dan pendidikan yang kurang, sehingga menimbulkan masalah sosial bagi warga Malaysia.
Potensi timbulnya kriminalitas dengan adanya kesenjangan ekonomi bagi pekerja migran dengan warga Malaysia, juga persaingan lapangan kerja yang semakin sempit, karena warga Malaysia tergusur dengan adanya TKI ilegal yang memiliki rentang upah lebih murah.
Bagi para TKI sendiri, sangat rawan terjadi kekerasan dari pihak pengguna jasa mereka karena skill yang kurang baik dalam melakukan tugasnya. Hal tersebut juga menimbulkan hubungan Indonesia dan Malaysisa menjadi renggang.
Aturan soal penanganan kejahatan transnasional secara internasional sudah dibahas dalam United Nation Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) di Wina, Austria pada tahun 2000 dan telah diratifikasi oleh Indonesia pada 12 Januari 2009.
DPR dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2009 meratifikasi aturan dari UNTOC dan berjalan setelah 90 hari proses ratifikasi UU tersebut. Pada tingkat regional Asia Tenggara, ASEAN sudah membahas tentang penanganan kejahatan transnasional.
Dalam deklarasi ASEAN on Transnational Crime tahun 1997 dan melahirkan ASEAN Minister Meeting on Transnational Crime (AMMTC). Berangkat dari deklarasi tersebut, Indonesia dan Malaysia menandatangani sebuah MoU soal penempatan dan perlindungan terhadap TKI yang dikirim ke Malaysia.
Menghasilkan beberapa kerjasama Joint comitte (JC), Joint Task Force (JTF), dan Joint Working Group (JWG). Pertama kali ditandatangi kedua negara pada tahun 2006 dan tidak diperpanjang pada tahun 2016, karena dinilai kurang efektif.
Pihak Malaysia dinilai terlalu longgar dalam penerapan perjanjian kerjasama tersebut, walaupun terdapat penekanan jumlah kasus penyelundupan dan kekerasan terhadap pekerja migran Indonesia. Pada dasarnya MoU ini mengatur soal pemberian upah dan hak-hak perlindungan TKI.
Pada 2019 terdapat lonjakan kasus penyelundupan dan kekerasan terhadap TKI mencapai 4.845 kasus dari sebelumnya di tahun 1994. Tahun 2015 meningkat pesat dibandingkan saat MoU ini masih berlaku, hal ini diprakarsai karena tidak adanya aturan yang ketat dari kedua pihak, baik Indonesia maupun Malaysia.
Pada 1 April 2022, MoU ini kembali dihidupkan dengan ditandatangani oleh Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Ismail Sabri bin Yaakob. Pada MoU ini terdapat beberapa poin yang berbeda, seperti perlindungan data diri TKI dari penahanan oleh pihak pengguna jasa seperti paspor, pendataan melalui satu sistem (One Channel System) dari pemerintah Malaysia.
Mulai dari data diri TKI hingga lokasi penempatan TKI tersebut. Dengan adanya One Channel System ini mempermudah pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam menjaring pekerja migran asal Indonesia yang tidak memiliki legalitas untuk bekerja di Malaysia.
Kerjasama tidak hanya dilakukan ditingkat antar negara saja, melainkan juga ditingkat institusi. Polri menjalin kerjasama dengan Polis Diraja Malaysia (PDRM) dan juga Imigrasi Malaysia. Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan masalah tenggelamnya kapal yang mengangkut WNI yang diduga sebagai kapal penyelundup pekerja migran ilegal.
Pada 16 Juni 2022, ditemukan sebanyak 23 WNI selamat dan 30 WNI meninggal tenggelam di perairan Batam dengan tujuan Malaysia. Polri dengan PDRM dan Keimigrasian Malaysia berupaya mengungkap jaringan penyelundup TKI tersebut.
Dugaan TKI tersebut ilegal adalah karena data-data dari TKI yang tidak lengkap, hal ini juga menyusahkan petugas untuk mengidentifikasi para korban. Dari kejadian ini, pihak pemerintah provinsi Riau dan pemerintah daerah Batam untuk memperketat arus imigrasi.
Banyak upaya kerjasama Indonesia dengan Malaysia untuk menghapus praktik penyelundupan TKI ilegal ke Malaysia. Penyelundupan tenaga kerja membawa dampak buruk bagi negara asal maupun negara tujuan, inilah mengapa praktik ini menjadi tanggung jawab negara Indonesia dan Malaysia untuk mencegah dan menangani permasalahan ini. (*)