.
Thursday, December 12, 2024

Koalisi, President Threshold dan Buruknya Kehidupan Politik

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Kontestasi politik pada 2024 nanti akan menarik perhatian para pengamat politik bahkan masyarakat sipil sendiri, bagaimana tidak setiap partai maupun koalisi berusaha mencari sosok yang yang dapat disebut sebagai pemimpin.

Dari pihak Nasdem sudah mencalonkan Anies Baswedan sebagai calon Presiden 2024. Golkar, PAN, PPP berkoalisi tanpa deklarasi namun masih belum mengusulkan satu nama pun dari koalisi indonesia bersatu. PDIP masih belum ada kejelasan mau memilih Ganjar Pranowo atau Puan Maharani sebagai ujung tombaknya. Dan Demokrat serta PKS masih labil ingin berkoalisi dengan siapa, entah Gerindah atau Nasdem.

Namun tulisan ini bukan untuk memprediksi partai apa saja yang akan berkoalisi dan kandidat siapa yang memiliki elektabilitas tinggi pada pemilihan mendatang. Tapi lebih melihat secara logis dinamika politik yang selalu kita dengar menuju tahun-tahun pemilu yaitu Koalisi.

Kata koalisi di Indonesia sangat sering terdengar apalagi menuju pergantian rezim di tahun 2024 nanti. Kata ini seakan sudah berakar di dalam sistem perpolitikan dan bahkan menjadi acuan bagi seluruh partai politik dalam memilih calon presiden.

Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa koalisi dan oposisi partai politik hanya berada dalam sistem parlementer seperti di Inggris. Koalisi dan oposisi dalam sistem parlementer memiliki peran yang subtansial dan bukan hanya untuk memenangkan pemilihan umum.

Koalisi merupakan mayoritas atau kelompok parlemen yang terdiri dari 50 persen+1 dari total keseluruhan parlemen yang mana memiliki wewenang untuk membentuk kabinet yang menjalankan roda pemerintahan. Adapun oposisi yang berwenang untuk mengawasi pemerintah yang dijalankan kabinet bentukan koalisi. Dan apabila kabinet tersebut gagal dalam menjalankan kebijakannya, oposisi dapat melemparkan mosi tidak percaya dan membentuk kabinet bayangan untuk menggantikan kabinet koalisi.

Hal ini juga ada pada sistem presidensil yang dianut oleh Indonesia, namun hanya satu istilah yang tidak digunakan yaitu koalisi. Dalam sistem presidensil fungsi check and balance digunakan juga dan dijalankan oleh parlemen (legislatif) dan kabinet (eksekutif) dalam eksekutif tidak ada yang namanya koalisi. Karena seluruh anggota parlemen beroposisi terhadap eksekutif dan juga sebaliknya dalam sistem presidensial.

Hal ini yang menyebabkan polarisasi dalam sistem pemerintahan, dan juga ditambah dengan tidak berpengaruhnya koalisi pada jalannya pemerintahan. Jadi koalisi hanya ada pada saat menjelang pemilu berlangsung.

Dari sini bisa kita ketahui  bahwa dalam menjalankan kehidupan politik di sebuah negara, Indonesia masih salah kaprah dengan istilah seperti ini. Jadi jangan heran jika pada setiap rezim yang berkuasa banyak sekali aspek yang kurang dalam menjalankan roda pemerintahan.

Pada idealnya setiap partai politik harus mengusng satu calon presiden sehingga tidak ada lagi partai politik yang berkoalisi. Hal ini diharuskan untuk memperbaiki kehidupan perpolitikan di negara ini.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah “kok bisa istilah koalisi ini ada di sistem politik Indonesia?” Mungkin bisa kita telusuri dari syarat batas ambang batas pencalonan presiden atau president threshold.Singkatnya President Threshold merupakan syarat minimal presentase kepemilikan kursi di DPR untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Yang menjadi persoalan dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden tertulis pada pasal 222 menyatakan, pasangan presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sekurang-kurangnya 25 persen sampai 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu DPR.

Hal ini yang tentunya yang menjadi ambigu dan menimbulkan pertanyaan, apakah semua orang berhak mencalonkan diri sebagai presiden? Kalau dilihat dari president thresholdini tentunya sangat jelas terlihat ada pagar yang dipasang sehingga seluruh masyarakat tidak dapat berpartisipasi dalam kompetisi tersebut.

Bisa dikatakan bahwa hanya elit-elit politik yang dapat menjadi pemimpin-pemimpin di negara ini, hal ini bermasalah jika sosok elit tersebut memiliki kepentingan pribadi atau menjadi boneka oleh para pemimpin partai agar kepentingan mereka dapat terjamin jika terpilih.

Jika kita melihat secara detail dari kalimat UU di atas dapat kita ketahui bahwa konstitusi menyebutkan gabungan partai politik atau koalisi. Jika hal ini sudah tertulis dalam konstitusi maka dapat diketahui bahwa ada kecacatan dalam UU tersebut dalam mengatur kehidupan perpolitikan negara.

Maka secara otomatis untuk memperbaiki kehidupan politik ini maka harus ada kajian secara kritis dan logis terkait UU ini. Salah jika yang berhak menentukan kelayakan calon presiden dari 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu DPR.

Bisa dipastikan orang-orang di pulau luar selain di Jawa tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden, karena hanya partai politik tertentu yang dapat mengikuti kontestasi politik tersebut.

Jika kita melihat kasus saat ini, banyak partai politik yang berlomba-lomba mencari sosok pemimpin yang sesuai dan memiliki elektabilitas yang tinggi. Dan bisa dibilang orang-orang yang memiliki itu hanya pemimpin-pemimpin seputar pulau Jawa. Apalagi ditambah dengan adanya budaya koalisi yang membuat banyak partai politik ingin berkoalisi dibandingkan mencalonkan presiden dari partainya, kasarnya mereka takut kalah dan rugi besar. Sehingga pada akhirnya budaya koalisi dalam sistem presidensial sangat tidak bermanfaat bagi negara ini.

Apalagi pemikiran awal partai dalam berkoalisi hanya untuk memenangkan para paslon presiden dan wakil presiden. Koalisi dalam sistem presidensil sangatlah sulit, jika dalam sistem parlementer koalisi bertujuan untuk memperkuat dukungan politik di parlemen. Dalam presidensial hal ini tidak berguna. Kenapa?

Pertama, dalam sistem presidensial, presiden memilih sendiri anggota kabinetnya, yang boleh jadi berasal dari partai oposisi atau partainya sendiri dan kalangan profesional. Implikasinya partai-partai tidak memunyai komitmen dukungan terhadap presiden.

Kedua, dalam sistem presidensial karena presiden dalam pembentukan kabinetnya jauh lebih cenderung mengakomodasi individu elite partai politik, maka konsekuensinya tidak ada jaminan partai-partai di parlemen akan mendukung presiden. Sebab yang diakomodasi presiden secara kasat mata adalah kepentingan elite partai politik, bukan kepentingan partai politik secara keseluruhan.

Di sini tampak perbedaan persepsi akomodasi presiden antara elite partai politik dan partai politik itu sendiri menjadi pemantik tidak solidnya dukungan partai-partai di parlemen pada presiden.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img