Identitas bisa berkaitan dengan atribut khas yang dimiliki seorang individu untuk membedakan diri dengan individu yang lain. Identitas yang melekat pada individulah yang kemudian digunakan untuk mengenalkan diri pada orang lain pula. Ia juga sekaligus menjadi pembeda.
Koran adalah sebuah identitas. Oleh karena itu, ia juga punya ciri khas dan atribut yang akan membedakan dirinya dengan koran lain. Tanpa itu, maka koran tidak akan kuat bertahan. Mengapa? Perkembangan sosial boleh berubah tetapi identitas akan selamanya tetap. Identitas bisa mengalami perubahan, tetapi tidak akan mudah hilang begitu saja. Teknologi bisa jadi berubah, identitas koran belum tentu akan punah.
Sejarah Membuktikan
Apakah ada bukti bahwa identitas itu tak bisa berubah meskipun teknologi terus menggerusnya? Anggap saja identitas itu juga seperti hobi yang melekat pada diri seseorang. Kita bisa ambil contoh hiburan film di bioskop.
Film-film di bioskop Indonesia pernah menjadi idola sebelum pertengahan tahun 90-an — selain hiburan melalui TVRI dan Radio. Namun sejak berdirinya RCTI (21 AGustus 1987) dan SCTV (24 Agustus 1990) perubahan pola tonton hiburan masyarakat berubah total. Akhir tahun 90-an perubahan pola tonton masyarakat pun berubah drastis.
Mereka yang dahulunya menjadikan film bioskop sebagai tontonan utama beralih ke televisi swasta yang ikut menyiarkan film-film baru, sinetron dan hiburan lainnya. Itu semua menjadikan jumlah penonton bioskop mengalami penurunan drastis. Lambat laun banyak gedung bioskop tutup karena tidak bisa memenuhi biaya operasionalnya. Saat ini, bioskop mulai menggeliat lagi.
Apa yang menarik dari perkembangan bioskop itu? Mengapa mereka tidak lagi melulu menonton film di televisi atau bahkan dari youtube? Inilah yang dinamakan hobi. Masyarakat menikmati film di bioskop bukan hanya menikmati tontonan, tetapi menikmati suasana dan bergaul dengan banyak orang — sesuai fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Kalau hanya ingin menikmati tontonan mereka bisa langganan sendiri melalui Netflix, Disney +, Viu dan lain-lain. Bukankah itu bukti bahwa film bioskop tetap menarik?
Kalau dilihat dari jumlah penonton memang mengalami penurunan. Yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa film layar lebar dan bioskop tidak mati. Film itu hanya mengalami transformasi karena perubahan pengiriman pesan akibat perkembangan teknologi.
Masyarakat menikmati film di bioskop bisa dengan teman, pacar, keluarga dan kolega lain. Mereka juga bisa sambil jalan-jalan ke pusat perbelanjaan sebelum dan sesudah menonton film bioskop. Sekali lagi, film bioskop tidak mati, bukan? Sementara mereka menikmati film dari media internet hanya sekadar menikmati dan tak ada sentuhan dengan orang lain secara sosial.
Identitas
Oleh karena itu, fitrah manusia sebagai makhluk sosial tidak mudah digerus oleh teknologi. Hal demikian juga bisa kita simpulkan terkait dengan identitas. Identitas seseorang tidak akan mudah tergerus sedemikian rupa. Mengalami transformasi sesuai perkembangan zaman mungkin, tetapi hilang sangat mustahil.
Bagaimana jika terkait dengan identitas koran? Hal itu tidak jauh berbeda. Koran bisa jadi mengalami transformasi. Perubahan memang terus dilakukan sejalan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat. Namun demikian hilang dari peredaran bisa dikatakan kesimpulan yang terburu-buru.
Bisa jadi sekarang masyarakat sedang mengalami “kemaruk” teknologi. Semua serba teknologi. Mencari pesan juga dari teknologi. Internet kemudian memberikan kemudahan-kemuhan. Dampaknya koran banyak yang gulung tikar. Tapi apakah koran akan mati?
Pembaca koran mengalami penurunan jumlah memang terjadi. Tetapi pembacanya tetap ada. Sama persis dengan yang dialami bioskop yang pernah gulung tikar tetapi kemudian muncul kembali. Tentu secara kuantitas penontonnya mengalami penurunan, tetapi bukankah bioskop tidak hilang begitu saja?
Hal demikian juga tak jauh berbeda dengan membaca buku. Para pembaca buku memang mengalami penurunan jumlah, tetapi ia tetap menjadi pilihan individu tertentu. Tetap ada kenikmatan tertentu dalam membaca buku.
Maka, sebuah koran sebagai media cetak memang sedang mengalami penurunan, tetapi menuduh hilang dari peredaran itu terlalu dini. Orang sekarang bisa menyebut bahwa media cetak akan punah segera. Tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa kesenangan manusia dalam membaca akan hilang pula?
Dengan demikian, agar tetap bisa eksis menghadapi perkembangan global, ada dua hal yang tak bisa dipandang sebelah mata. Dua hal tersebut adalah perubahan (change) dan perbedaan (difference).
Koran, sebagai sebuah identitas, tentu harus siap berubah dan bertransformasi sesuai tuntutan zaman. Perkembangan teknologi komunikasi telah mengubah pola pengiriman pesan dan apa yang diinginkan oleh pembaca. Dalam hal ini koran tak bisa hanya stagnandengan tak melakukan perubahan. Jika demikian yang dilakukan tunggu saja kehancurannya.
Apa yang harus dilakukan? Koran mau tidak mau harus ikut “bermain” di wilayah tuntutan perkembangan teknologi, salah satunya punya media online. Koran juga harus punya kemampuan dalam segi desain, tampilan, isi berita agar tetap menarik. Menyesuaikan keinginan “pasar” itu juga penting. Dalam hal ini survei pasar kadang perlu dilakukan untuk melihat kecenderungan pembaca. Dari situ langkah-langka konkrit akan cepat dilakukan.
Kemudian, koran harus punya perbedaan. Ia harus tampil berbeda dengan koran-koran lain. Hal yang tak dipunyai koran lain di luar Malang adalah hubungan emosional masyarakat Malang dengan Aremania. Dengan kata lain, koran Malang adalah koran Aremania. Karena kedekatan emosional mana lagi koran Malang jika bukan karena mereka. Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta punya ikatan historis dengan masyarakat dan budaya Yogya.
Maka, sebuah koran memang harus punya identitas – termasuk di antaranyadifference. Identitas akan menancap kuat dalam benak masyarakat. Jika hal itu bisa dilakukan, maka perubahan apapun yang terjadi maka koran yang terbit di Malang tidak akan mudah goyah.
Selamat Ulang Tahun ke-3 Malang Posco Media. Semoga tetap menjadi koran kebanggaan Kera Ngalam.(*)