.
Thursday, December 12, 2024

KORUPSI

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Bagi warga dunia, tanggal 9 Desember memiliki makna yang mendalam dalam konteks pembangunan bangsa dan negaranya dengan pemberatasan korupsi. Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) bukan hanya diperingati sebagai ceremonial tahunan, namun makna mendalam yang tersirat sebagai wujud dari pemberantasan korupsi di belahan negara di dunia menjadi sesuatu yang dinanti.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kejahatan korupsi bukan hanya menjadi “momok” bagi keberlangsungan dan kemajuan sebuah bangsa, namun juga menjadi ancaman terhadap eksistensi bangsa itu sendiri. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia di tahun 2022 mencapai 3,93. IPAK mengukur perilaku korupsi skala kecil yang dialami atau dirasakan masyarakat. 

Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2018 sebesar 3,66 pada skala 0 sampai 5. Kemudian, disusul kenaikan secara perlahan di tahun 2019 sebesar 3,70, tahun 2020 sebesar 3,84 dan tahun 2021 sebesar 3,88.

Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada tahun 2022 sebesar 3,93 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian 2021 (3,88). IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu Dimensi Persepsi dan Dimensi Pengalaman. Nilai Indeks Persepsi 2022 sebesar 3,80 menurun (0,03 poin) dibandingkan Indeks Persepsi 2021 (3,83). Sebaliknya, Indeks Pengalaman 2022 (3,99) meningkat sebesar 0,09 poin dibanding Indeks Pengalaman 2021 (3,90).

Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi, sebaliknya nilai IPAK yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif (bersifat terbuka) terhadap korupsi. Dari data menunjukkan bahwa perilaku koruptif telah menjadi semacam budaya dalam kultur keseharian bangsa. Boleh dikatakan tiada hari tanpa korupsi, terutama suap-menyuap dari level masyaralat terendeah hingga tertinggi seolah menjadi suatu hal yang lumrah.

Sebagai Negara yang di kenal agamis, dimana hal ini dikuatkan dengan hasil Survei dari Pew Research Center pad atahun 2020, dimana 96 persen masyarakat Indonesia secara mayoritas masih memiliki kepercayaan bahwa kekuatan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME memiliki korelasi positif dengan terbentuknya moral yang baik. Angka itu pun menjadi yang paling tinggi di dunia.

Namun, ketaatan beragama tak sejalan dengan perilaku korupsi. Pasalnya, skor Indeks Persepsi Korupsi tanah air hanya sebesar 34 poin pada 2022. Sedangkan di Swedia yang tidak meyakini hubungan antara beragama dan keyakinan terhadap Tuhan, tetapi skor indeks korupsinya mencapai 83. Hal ini terbukti dengan beberapa kasus korupsi di Indonesia misalnya, kasus jual-beli jabatan di Kementerian Agama pada 2019. Kemudian, korupsi dana hibah untuk pembangunan Masjid Raya Sriwijaya pada 2015 serta Pengadaan Al-Qur’an (2011-2012), dan Penyelenggaran Ibadah haji (2010 – 2013). 

Di level masyarakat paling bawah sekali pun korupsi semakin marak terjadi. Adanya aliran dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah pusat ternyata justru menambah daftar kasus korupsi yang terjadi. Masyarakat desa yang dikenal memegang teguh moralitas dan prinsip-prinsip ketuhanan tersebut, pada akhirnya ikut tergerus oleh budaya korupsi yang semakin menjadi.

Secara akumulatif, selama periode 2015 hingga 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mencatat 851 kasus korupsi dana desa yang melibatkan 973 orang pelaku sebagai tersangka.

Memberantas korupsi adalah pekerjaan yang harus disadari sebagai giat lintas sektoral di masyarakat. Korupsi adalah realitas sosial yang hari ini terjadi sebagai hasil dari residu atas abainya kita semua dalam menjaga moralitas dan nilai-nilai ketuhanan. Bisa jadi karena keteladanan yang hilang, bisa juga karena sistem yang tidak kuat dalam membentengi masyarakat terhadap perilaku koruptif.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan sebagai langkah komprehensif dalam upaya menekan angka korupsi di Indonesia. Pertama, menekankan pentingnya membangun mental antikorupsi sejak dini. Kampanye antikorupsi diperluas dan dipertajam ke lingkungan sekolah, dimulai sejak jenjang pendidikan paling awal.

Salah satu wujud kongkritnya dengan memasukkan moral antikorupsi ke dalam kurikulum pendidikan. Hal ini sebagai upaya membentuk generasi yang memiliki kesadaran tinggi terhadap bahaya korupsi dan ancamannya terhadap keberlangsungan bangsa.

Kedua, Sistem bernegara yang transparan dapat menjadi alat efektif untuk mencegah dan mengatasi praktik korupsi. Langkah-langkah kongkret, seperti peningkatan akses informasi publik dan pelaporan keuangan yang terbuka, merupakan salah satu kunci dalam membangun pemerintahan yang bersih dan akuntabel.

Selain itu membangun keteladanan dari penyelenggara negara di seluruh level pemerintahan dalam mengimplementasikan moralitas anti korupsi menjadi hal yang sangat penting. Maraknya kasus korupsi yang terjadi pada pejabat negara, bahkan ketua KPK sendiri yang terjadi beberapa akhir ini, semakin memperparah krisis keteladanan yang ada di bangsa ini.

Ketiga, Biaya politik yang tinggi di Indonesia juga menjadi faktor yang memicu tetap merebaknya korupsi di Indonesia. Matarantai politik di Indonesia yang relatif mahal menyebabkan korupsi ini seperti “bara api dalam sekam.” Ongkos politik yang mahal tentu akan mengakibatkan keinginan korupsi dari para kandidat pemimpin bangsa dan penentu kebijakan di segala level, karena tidak bisa dipungkiri dirinya butuh mengembalikan modal politiknya dan menyiapkan modal untuk perhelatan politik selanjutnya.

Budaya korupsi tercipta dari ketidakjujuran kecil yang dianggap remeh. Oleh karenanya memutus budaya tersebut adalah upaya yang harus terus digiatkan dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan terdekat sebelum dia menjadi ancaman bagi eksistensi bangsa.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img