MALANG POSCO MEDIA – Pada abad ketiga sebelum masehi Kaisar Qin Shi Huang melakukan sebuah gebrakan strategi pertahanan perang yang tidak biasa. Sebuah proyek ambisius dengan membangun tembok pertahanan yang panjangnya 900 mil atau sekitar 1.448 km ia bangun. Bangunan ini membentang dari pelabuhan laut China Shanhaiguan hingga ke barat yakni di Provinsi Gansu, dan bangunan ini sekaligus melindungi banyak area strategis di sana.
Meski tidak tuntas pada masa kekaisaran Qin, mega proyek yang dibangun dengan tujuan menyetop serangan bangsa Barbar nomaden dari wilayah utara ini semakin sempurna pada abad ke 14 sampai 17 pada masa Kaisar Ming. Upaya ini memang terbilang efektif karena tembok tebal, kuat dan kokoh yang oleh UNESCO disebut sebagai Great Wall ini terbukti efektif untuk menghalau serangan musuh saat itu.
Menurut banyak sumber sejarah setidaknya selama seratus tahun pertama semenjak tembok tersebut selesai dibangun, sudah tiga kali bangsa Tiongkok mendapatkan serangan dari Bangsa Barbar. Namun tidak ada satu pun upaya serangan itu yang berhasil karena tembok raksasa tersebut benar-benar memang kuat, tebal dan tinggi sehingga musuh kesulitan untuk melewatinya.
Namun hal ini tidak lantas menyurutkan semangat dan niat para musuh untuk masuk ke dalam benteng pertahanan Tiongkok. Mereka menyuap petugas yang menjaga gerbang benteng tersebut sehingga Tiongkok dalam waktu yang tidak lama dikalahkan oleh Bangsa Barbar.
Great Wall yang kuat, kokoh dan tebal itu ternyata bisa dijebol oleh musuh, bukan dengan melompatinya atau merusak temboknya, akan tetapi dengan merusak integritas para prajurit penjaga pintu gerbang tembok dengan cara menyuapnya.
Kisah kekalahan Tiongkok ini menjadi salah satu gambaran bahwa betapa pentingnya integritas. Betapa mudahnya merobohkan sebuah bangsa yang besar dan kuat hanya dengan merusak integritas pada Sumber Daya Manusia (SDM) nya. Integritas ini bahkan konon juga menjadi salah satu parameter bagi maju dan tidaknya sebuah bangsa.
Di era sekarang ini, integritas sangat dibutuhkan di seluruh level kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik pada level negara ataupun civil society. Negara dengan seluruh instrumen yang melekat di dalamnya adalah representasi dari pemimpin masyarakat yang memegang kendali kebijakan serta penentu arah kemajuan dan perkembangan bangsa. Oleh karenanya menjadi sesuatu yang mutlak dimiliki oleh semua orang yang ada di dalamnya untuk menjaga integritas, demi terwujudnya tatanan bernegara yang saling percaya.
Kisah Tiongkok yang mengejar pembangunan Great Wallnya dan melupakan pembangunan manusianya pada titik tertentu akan hancur juga. Krisis integritas yang terjadi pada masyarakat dan prajuritnya tersebut bukan hanya membuat Bangsanya kalah, namun juga masuk ke dalam jurang kebangkrutan.
Krisis Integritas ini juga salah satunya menjadi momok bagi maju dan tidak sebuah bangsa, menjadi parameter bagi tertinggal dan majunya sebuah bangsa. Sebut saja Singapura dan Korea selatan. Dua bangsa ini masih terbilang muda, Singapura yang baru merdeka tahun 1953 dan Korea Selatan yang baru merdeka tahun 1945 ini laju pertumbuhan negaranya mengalahkan bangsa-bangsa yang umurnya sudah ratusan tahun.
Salah satu kunci sukses dua bangsa tersebut adalah kemampuan mereka dalam membangun manusianya dengan menjadikan “integritas” di atas segala-galanya. Selain itu keteladanan yang diberikan oleh para pemimpinnya atau biasa dikenal dengan istilah “Walk the Talk” cukup ampuh membangun integritas masyarakatnya.
Salah satu ukuran integritas itu adalah soal korupsi, negara-negara yang maju dan berkembang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) skornya tinggi. Sebut saja misalkan menurut data yang dirilis IPK 2022, Denmark skornya 90, Finlandia 87, Singapura 83, Malaysia 47 dan Indonesia 34. Semakin sedikit skornya maka semakin korup bangsa tersebut, dan data ini sekaligus menjadi fakta sejarah dari 180 negara yang terlibat dalam penilaian Indek Persepsi Korupsi, Indonesia berada pada peringkat 110 karena skornya merosot dibandingkan dengan tahun lalu, yakni dari 38 menjadi 34.
Krisis integritas ini akan berujung pada krisis kepercayaan dan kepercayaan itu adalah barang mahal yang harus dijaga oleh siapa saja yang menginginkan kemajuan dan kemakmuran lahir di sebuah negeri. Kepercayaan yang hilang itu sebagaimana yang terjadi di Venezuela di bawah kepemimpinan Presiden reformisnya Hugo Chavez. Hugo Chavez yang dulu menjadi motor terjadinya reformasi dengan menggulingkan pemerintahan sebelumnya yang dinilai diktator dan kurop, justru ketika dia berkuasa menjadi aktor utama dalam membonsai demokrasi di Venezuela.
Selama pemerintahannya korupsi semakin tinggi, pejabat-pejabatnya banyak yang terjerat skandal dan untuk melanggengkan kekuasaannya dia membungkam media dan aktivis pergerakan sosial agar tidak bersuara. Meski tidak lama kemudian Chavez lengser dari kepemimpinannya, namun ini menjadi salah satu potret dimana ketika integritas sudah hilang maka krisis kepercayaan di tengah masyarakat juga akan hilang. Dan situasi ini sangat berbahaya bagi stabilitas sebuah bangsa.
Dalam bukunya “The Speed Of Trust” Steven MR Covey menuliskan sebuah narasinya tentang membangun kepercayaan. Bahwa “Trust” masyarakat kepada corporate atau negara atau kepada diri kita secara pribadi terbangun dari dua hal, yakni Karakter dan Kompetensi.
Jika diibaratkan pohon, maka karakter itu bagian pohon yang berada di bawah tanah sampai permukaan tanah atau kita kenal sebagai akarnya. Sedangkan kompetensi adalah dahan, ranting dan daun rimbun sebagai hasil dari kuatnya akar pohon tersebut dalam menyerap saripati makanannya dari bumi.
Di dalam karakter itu ada integritas dan kemauan yang kuat. Sedangkan di dalam kompetensi itu ada kapabilitas dan hasil berwujud yang bisa divalidasi oleh semua orang. Krisis kepercayaan terjadi akibat dari hilangnya integritas dan kemauan berbuat baik dari dalam diri, serta buruknya kapabilitas dan kredibilitas serta reputasi yang dibangun sepanjang kehidupannya.
Sebagaimana penjaga gerbang tembok besar Tiongkok yang berhasil disuap oleh pasukan Barbar, juga sebagaimana yang dilakukan oleh Hugo Chavez, mereka telah mencederai integritas yang berujung pada lahirnya krisis kepercayaan. Kita semua memiliki peran dan tanggungjawab untuk menjaga integritas diri dan bangsa, perubahan zaman yang begitu cepat, dinamika politik dan demokrasi yang semakin kompleks, tuntutan pertumbuhan ekonomi dan permasalahan sosial yang terjadi seyogyanya tidak mengubah rel haluan berbangsa dan bernegara kita. Terwujudnya manusia Indonesia yang berintegritas akan menyelematkan kita semua dari krisis kepercayaan yang mungkin saja terjadi, dan ini tanggungjawab kita bersama.(*)