MALANG MBIEN
MALANG POSCO MEDIA – Di tengah hiruk pikuk keramaian di komplek pertokoan sekitar Pasar Besar, terdapat salah satu kampung yang cukup unik dan bersejarah. Kampung ini dikelilingi toko maupun ruko. Untuk masuk ke kampung ini, melewati sebuah gang yang ada disela-sela pertokoan.
Dulu kampung itu terkenal dengan sebutan Kudusan. Letaknya kini berada di RT 7 RW 2 Kelurahan Sukoharjo Kecamatan Klojen. Seperti perkampungan pada umumnya, Kudusan juga relatif padat penduduknya.
Ketua RT 7 RW 2 Kelurahan Sukoharjo sekaligus tokoh masyarakat setempat, Supeno (75) mengungkapkan, dulu Kudusan dihuni oleh banyak para pendatang dari Kabupaten Kudus. Banyak orang Kudus yang bermukim dan mencari penghidupan di daerah tersebut.
“Dari Gedung Flora (perempatan Jalan Agus Salim dan Jalan Zainul Arifin, red) sampai Tolaram (Altara) sebelah barat, itu sebenarnya yang namanya Kudusan. Yang sebelah timur sudah masuk Jodipan. Karena banyak orang Kudus yang tinggal di sini, akhirnya daerah ini dinamakan Kudusan,” terang Supeno kepada Malang Posco Media.
Jika mengacu pada peta, wilayah Kudusan memanjang hingga Jalan Zainul Arifin. Bahkan pada peta Belanda, Jalan sepanjang Jalan Zainul Arifin dulunya disebut Koedoesanstraat.
Di sepanjang jalan itulah, orang orang Kudus membuka toko dan melakukan aktivitas perdagangan. Keturunan orang orang Kudus pun masih ada sampai saat ini. Misalnya seperti pemilik Toko Sejati dan Toko Menara Kudus. Supeno menyebut, pekerjaan sebagai pedagang ernyata bertahan hingga sampai saat ini.
“Di Kudusan ini ada sekitar 40 KK dengan 470 jiwa. Kebanyakan, pekerjaannya masih sebagai pedagang, dan itu berdagangnya juga masih sekitaran sini dan Pasar Besar,” ungkap Supeno.
Sementara itu, pemerhati sejarah Kota Malang Agung H. Buana juga mengamini daerah Kudusan sejak lama memang dikenal banyak pendatang migran dari Kudus. Agung menyebut, konon kabarnya, kedatangan orang-orang dari Kudus ini erat kaitannya dengan industri rokok yang ada di sekitar Kudusan.
Rombongan orang-orang Kudus ini merupakan ahli tembakau yang mendukung perkembangan salah satu industri rokok, yang merupakan cikal bakal Bentoel. Namun demikian, Agung juga menyampaikan arti Kudusan juga memiliki versi lainnya.
“Kudusan ini menyangkut tempat ibadah yang ada di sekitar situ, ada Vajra tempat ibadah orang Tionghoa tidak jauh dari situ, juga ada musala. Artinya di situ kumpulan orang yang punya keimanan, atau orang Kudus (suci). Penyebutan Kudus juga erat kaitan dengan umat Nasrani, tercermin ada gereja di situ,” sebut Agung.
Terlepas dari adanya dua versi di balik nama Kudusan, Agung mengungkapkan bahwa di daerah itu sebelumnya justru dikenal sebagai Kampung Gajah atau Dusun Gajah. Artinya sebelum banyak orang mengenal Kudusan, daerah itu sebenarnya sudah populer dengan nama Kampung Gajah.
Penyebutan Kampung Gajah sendiri ditengarai bermula sekitar tahun 1785 hingga tahun 1790. Di kawasan itu, terdapat tanah kosong yang luas dan kemudian digunakan sebagai tempat latihan kuda.
“Memang di sana tidak ada gajahnya tapi dulu tempat latihan kuda milik Bupati Malang. Di dekat situ, di depan pendopo, dulunya ada kandang kuda ukurannya gede banget. Orang menyebut kandang kuda itu ‘gede ne sak gajah’ (besarnya se-Gajah). Karena memang di dekat Kudusan itulah ada tempat nge-train (melatih) kuda,” beber Agung.
Berjalannya waktu, sejak daerah itu disebut sebagai Kudusan, pertokoan atau perdagangan terus bertumbuh.
Di era kemerdekaan RI, daerah Kudusan juga memiliki tempat yang bersejarah. Salah satunya, ada Gedung Flora yang terletak di simpat empat Jalan Agus Salim dan Jalan Zainul Arifin saat ini.
Gedung Flora sejak era kolonial hingga tahun 1980an dikenal sebagai tempat atau gedung kesenian dan pertunjukan. Misalnya seperti pentas ludruk, ketoprak, lawak, wayang orang hingga pertunjukan Siswo Budoyo.
Tidak hanya Gedung Flora, di Kudusan juga terdapat Gedung Toko NIMEF yang berada di seberang Gedung Flora. Toko NIMEF berasal dari singkatan nama Belanda yaitu Nederlandsch-Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken, yang berarti Pabrik Logam dan Pengemasan Hindia Belanda.
Di Toko NIMEF ini, selain menjual kemasan-kemasan, ternyata dulunya juga menjadi salah satu tempat untuk mencetak uang yang bersejarah, yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI). Mata uang ini menggantikan mata uang Gulden yang digunakan saat kolonial Belanda. ORI inilah yang kemudian menjadi mata uang Indonesia saat ini. Toko NIMEF saat ini sudah menjadi gerai toko kopi modern bermerk ‘Janji Jiwa’.
“Gedung NIMEF itu sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya bahwa dulu di situ adalah tempat pencetakan uang. Gerilyawan mencetak uang ORI disitu, tapi mencetaknya sembunyi-sembunyi sebelum akhirnya dipindah ke Turen,” tandasnya. (ian/van)