Melindungi anak sama halnya merawat masa depan bangsa. Bagaimana masa depan bangsa nanti akan ditentukan bagaimana tumbuh kembang anak hari ini. Jika banyak berbagai persoalan yang berkaitan dengan anak di negara ini yang belum terselesaikan dengan tuntas, hal tersebut sama halnya dengan menunda kemajuan bangsa. Karena kesejahteraan anak adalah investasi kemajuan bangsa.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan bahwa anak-anak merupakan investasi berharga bagi bangsa dan negara. Investasi paling berharga untuk negara adalah sumber daya manusianya. Anak merupakan generasi penerus bangsa.
Besarnya harapan terhadap anak Indonesia harus terus dijaga. Sayang, permasalahan di negeri ini terkait kesejahteraan anak masih banyak memiliki catatan kelam. Lenny N Rosalin, Deputi tumbuh kembang anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan menyampaikan bahwa ada sekitar 3,73 persen balita di Indonesia belum memiliki pengasuhan yang layak. Nasib anak-anak pekerja migran kerapkali terabaikan.
Selain kurang mendapat pengasuhan yang layak, mereka rentan mengalami gangguan tumbuh kembang, kekerasan, dan terganggu pendidikannya. Selain terkendala mengakses layanan pendidikan dan kesehatan, mereka kesulitan mengakses identitas kependudukan, seperti akta lahir sehingga bisa mengakses berbagai program pemerintah.
International Labour Organization (ILO) Organisasi Buruh Internasional memperkirakan lebih dari 1,5 juta anak usia 10 tahun sampai 17 tahun bekerja di pertanian Indonesia. Sebagian besar mulai bekerja sejak usia 12 tahun sepanjang musim tanam. Sebagian dari mereka bekerja di sektor pertanian telebih di kelapa sawit. Padahal di usia tersebut anak harusnya mendapatkan haknya dalam pendidikan, kesehatan, dan lingkungan yang aman dan mendukung pertumbuhan dan perkembangannya.
Di Indonesia, keterlibatan anak-anak dalam pekerjaan masih belum bisa teratasi dengan baik, sehingga tidak semua anak di Indonesia bisa terlindungi hak-haknya untuk hidup sejahterah. Hal ini diungkapkan oleh Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Kemen PPPA, Valentina Gintings bahwa masih banyak anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi dan perdagangan anak, masalah ini timbul karena faktor ekonomi dan sosial. Di Indonesia angka kemiskinan di negeri ini masih cukup tinggi. Meski Amerika Serikat (AS) lewat Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tak lagi memasukkan Indonesia sebagai negara berkembang. Nyatanya angka kemiskinan di negeri ini per September 2022 naik tipis baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Tingkat kemiskinan di perkotaan naik menjadi sebesar 7,53 persen (Maret 2022: 7,5 persen). Persentase penduduk miskin di perdesaan juga mengalami kenaikan menjadi 12,36 persen (Maret 2022: 12,29 persen). Keluarga yang miskin rentan melibatkan anaknya untuk ikut terlibat pemenuhan kebutuhan hidup keluarga, sehingga mau tidak mau mereka harus ikut bekerja untuk bisa bertahan hidup. Dampaknya banyak anak yang putus sekolah karena bekerja. Padahal jika dilihat dari berbagai pemberitaan yang ada, masih banyak sekolah yang tak memiliki murid. Hal tersebut seharusnya bisa menjadi satu hal yang bisa disinergikan.
Adapun aturan yang memperbolehkan anak untuk bekerja namun tetap bisa memperoleh haknya terlebih sekolah, bermain dan memperoleh istirahat, ada unsur pendidikan dan pelatihan keterampilan, dan dilakukan pada saat senggang dalam waktu yang relatif pendek serta terjaga keselamatan dan kesehatannya. Ini yang diperbolehkan dan ini masuk kategori sebagai anak bekerja, bukan pekerja anak.
Pekerja Anak dan Anak Bekerja
Pekerja anak dan anak bekerja adalah dua istilah yang terdengar serupa namun memiliki konotasi dan implikasi yang berbeda. Pekerja Anak (Child Labor) mengacu pada anak-anak di bawah usia minimum yang ditetapkan oleh hukum yang terlibat dalam pekerjaan yang ilegal, berbahaya, atau tidak pantas.
Pekerjaan ini dapat mencakup pekerjaan fisik berat, eksploitasi seksual, pekerjaan di bawah tanah, dan situasi kerja yang merusak kesehatan dan perkembangan anak. Pekerjaan semacam ini secara serius merugikan anak-anak dan melanggar hak asasi manusia mereka.
Pekerja anak adalah fenomena yang sangat merugikan dan menjadi perhatian global. Berbagai upaya harus dilakukan oleh pemerintah, organisasi internasional, dan masyarakat sipil untuk menghentikan praktik pekerja anak dan melindungi hak-hak anak dari eksploitasi.
Anak bekerja mengacu pada anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan ringan atau tugas-tugas yang sesuai dengan usia dan perkembangan mereka, dan biasanya diperbolehkan oleh hukum dan budaya setempat. Ini dapat mencakup partisipasi anak dalam pekerjaan rumah tangga, tugas sekolah, atau membantu keluarga dalam aktivitas non-berbahaya seperti menjual barang-barang ringan di kios keluarga.
Anak bekerja tidak selalu menjadi sesuatu yang negatif, terutama jika tugas yang dilakukan sesuai dengan usia, waktu, dan keseimbangan dengan pendidikan dan waktu bermain. Anak-anak dapat belajar tanggung jawab, keterampilan, dan nilai-nilai positif melalui partisipasi dalam tugas-tugas ringan seperti ini. Jika anak bekerja di bawah aturan dan pengawasan yang tepat, ini dapat menjadi pengalaman pembelajaran yang positif bagi mereka.
Laporan terbaru ILO menyebutkan bahwa konflik, krisis, dan pandemi Covid-19 telah menyebabkan peningkatan jumlah pekerja anak di dunia. Hal itu telah menjerumuskan lebih banyak keluarga ke dalam kemiskinan dan memaksa jutaan anak lainnya untuk menjadi pekerja anak. Meningkatnya kasus eksploitasi dan kekerasan terhadap anak, termasuk di dalamnya Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak (BPTA) menjadi indikasi bahwa sistem perlindungan terhadap anak masih perlu diperkuat. Perlu peningkatan penyadaran, pencegahan, dan penanganan pekerja anak. Pemerintah harus bisa menjembatani persoalan ini, karena dalam pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar.(*)