Cerdas merupakan pilihan. Memilih hal yang baik-baik juga termasuk pada teori kecerdasan itu sendiri dan apabila sampai berefek pada sebuah masa depan yang lebih menjanjikan bagi pemilihnya inilah sebuah kecerdasan yang hakiki. Ini bukan tentang sebuah pilihan yang akan kita laksanakan tanggal 14 Februari 2024 nanti tapi tentang pemaknaan serta penguatan karakter tidak adanya unsur paksaan terkait dogma kecerdasan.
Dulunya kecerdasan adalah milik para juara kelas dengan sistematika yang telah ada di sekolah. Menguasai beberapa mata pelajaran di sekolah misalnya bisa dikategorikan memiliki nilai kecerdasan dan yang kurang menguasai beberapa bidang bisa dikatakan tidak cerdas.
Dari doktrin-doktrin yang sudah tertanam itu bahwa pengertian kecerdasan mengalami penyempitan makna. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan membawa kita menjadi manusia yang mampu berpikir luas berdasar hasil-hasil pola penelitian ilmiah tentunya.
Kini yang terjadi adalah dunia bergerak dengan begitu cepatnya, beberapa sudut ilmu dan pengetahuan cepat melampaui pemikiran normal manusia. Setiap bulan puluhan jurnal ilmiah terverifikasi dan mendapatkan pengakuan. Kini ilmu pengetahuan adalah milik siapapun yang mau berusaha meliterasi, memahami, dan mengimplementasikan dalam kehidupan nyata.
Perlu dicatat hal lain bahwa laju perkembangan Artificial Intellegence seolah mengubah sebagian perilaku besar manusia itu sendiri dalam kenyataan beberapa tahun belakangan ini. Teknologi AI seolah mengubah budaya lama pada sebagian besar negara di dunia.
Seiring waktu, pergeseran nilai nilai pondasi kecerdasan mulai berubah. Dikotomi cerdas semakin meluas seiring ditemukannya banyak teori pendukung perilaku kecerdasan pada diri manusia. Howard Gardner dalam bukunya Multiple Intelegence menjelaskan bahwa dalam diri seorang manusia terdapat beberapa jenis kecerdasan.
Tuntutan pada kita adalah menempatkan peranan kita sendiri sebagai salah satu unsur dari masyarakat wajib hukumnya menjadi bagian perkembangan ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam dunia yang serba cepat menuntut kita untuk bisa mengikuti dengan tepat pula termasuk salah satunya menghargai serta memberi respon positif terkait perkembangan kecerdasan. Terlebih concern pada dunia pendidikan adalah modal utama untuk generasi penerus sebuah bangsa serta kehidupan bernegara.
Kabar bahagia dicetak dari Malang, kota dengan sejuta keriuhan pelajar serta mahasiswanya saat jam pagi berputar dengan kencangnya serta saat sore hari dengan lalu lalang setelah aktivitas padatnya. Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Malang Eldelafimeta menerima ganjaran setimpal dengan apa yang ia kerjakan.
Dirilis dari umm.ac.id (26/10/2023) ia diproyeksikan lulus dari UMM tanpa skripsi lantaran kegemarannya menulis buku. Buku yang ia tulis telah dibaca hampir 17,6 Juta kali. Sebuah angka yang sangat fenomenal dan tidak semua orang mampu menjangkaunya.
Gadis asli kelahiran Kediri ini mampu menunjukkan kualitas serta kecerdasan yang tak lazim dilakukan seorang mahasiswa. Jika ditelisik ia mampu menggunakan kecerdasan linguistic secara maksimal. Menurut pengertian dari Amstrong, 2013 bahwa kecerdasan linguistik adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan kata-kata secara efektif baik lisan maupun tulisan.
Jalan yang ditempuh Eldelafimeta tidak serta merta adalah jalan yang mudah dan karya yang instan. Ia memulai tulisan-tulisannya pada tahun 2018 hingga pada akhirnya viral di tahun 2021. Bukan tanpa angin atau bisa dikatakan tiba-tiba berada di tempat yang ia duduki hingga sekarang ini, terinspirasi dari alumnus UMM lainnya yang telah sukses menulis novel Mariposa.
Memilih sosok yang kita jadikan inspirasi positif dalam menjalani derasnya aliran kehidupan ini sepertinya juga perlu untuk dijadikan kajian tersendiri. Sosok inspiratif sepertinya akan membawa kita menautkan segenap cita-cita sebagai seseorang yang telah dewasa.
Apresiasi tinggi untuk kampus di Indonesia yang telah menerapkan sistem konversi nilai untuk prestasi lain yang dicapai mahasiswa. Cerdas bukan hanya didapat dari nilai pada sebuah tes ujian yang angkanya tinggi, namun nilai kecerdasan dari berbagai sudut inilah yang nantinya akan mengubah stigma pengakuan terhadap kecerdasan manusia. Sembilan kecerdasan manusia sesuai dengan konsep Howard Gardner yang bisa dikembangkan adalah tugas para mentor yang bergerak di bidang pendidikan. Selain itu motivasi pribadi seseorang untuk terus berkembang menjadi cerdas adalah pemicu utama. Sistem yang berjalan terkait pendidikan di Indonesia memberikan keleluasaan terhadap perkembangan maksimal terkait kecerdasan bagi insan pembelajar.
Catatan beberapa mahasiswa di Indonesia yang lulus tanpa skripsi semakin banyak ditemukan, mengacu pada Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Pada Permendikbudristek tersebut dijelaskan bagi mahasiswa yang belum menjalani kurikulum berbasis proyek, maka syarat lulus kuliahnya yaitu tugas akhir yang juga tidak harus berbentuk skripsi.
Ditemukan banyak kampus di Indonesia sudah menerapkan konversi nilai dari prestasi, jurnal yang memiliki reputasi, dan proyek ilmiah lain sebagai pengganti skripsi. Sebuah lompatan besar dari keberlangsungan pendidikan ada pengakuan signifikan terkait kecerdasan-kecerdasan yang tidak hanya terpaku pada nilai yang didapat secara tes namun karya yang nyata.
Lompatan besar pengakuan kecerdasan-kecerdasan ini sepertinya akan semakin banyak kita temui, selain Universitas Muhammadiyah Malang diterapkan juga di Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Sebelas Maret, Univ Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (detik.com, 30/8/2023).
Pengakuan medali dari sebuah event perlombaan yang diikuti mahasiswanya mampu dikonversi dan dijadikan lulus tanpa skripsi merupakan daya tarik tersendiri. Pengakuan serta apresiasi terhadap mahasiswa di bidang akademik maupun non akademik sudah sepertinya wajib dilakukan sejalan dengan pengakuan kecerdasan manusia.
Kecerdasan sepertinya tidak bisa serta merta datang dengan tiba-tiba, butuh concern tinggi dalam praktiknya. Perlu diasah terus menerus untuk berkembang secara maksimal. Paradigma baru pendidikan wajib menelaah lebih dalam pada diri setiap insan pembelajar.
Dogma-dogma kecerdasan hanya untuk satu ataupun dua kelompok mesti dihilangkan. Sejatinya setiap anak dalam tahap pembelajar memiliki daya kecerdasan yang spesial. Klasifikasi kecerdasan awal perlu ditekankan, selain itu apresiasi pada setiap anak yang memiliki prestasi diperlukan untuk memberikan motivasi lebih.(*)