Aristoteles pernah menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk politik. Sesungguhnya berpolitik merupakan tabiat atau sifat alamiah perilaku manusia. Maka, ketika ada seseorang yang memilih apolitik sejatinya ia telah kehilangan sebagian sifat alamiahnya. Pembahasan manusia sebagai makhluk politik sangat relevan jelang pilpres saat ini. Sekarang tensi politik sudah mulai memanas yang dipicu oleh aksi, reaksi, manuver, dan tingkah polah para makhluk politik.
Makhluk politik sepintas tak ada beda dengan manusia kebanyakan. Mereka juga makan minum seperti manusia pada umumnya. Tampang dan bentuk fisiknya juga serupa, layaknya manusia keturunan Adam dan Hawa. Mereka juga hidup bermasyarakat, bahkan tak jarang mengaku sangat dekat dengan rakyat. Mereka sering tampil seakan membela orang lemah tak berdaya. Mereka sering muncul di saat kondisi genting, bak pahlawan penumpas kejahatan.
Namun, golongan makhluk politik ini kalau dicermati tingkah polah dan gerak geriknya memang berbeda dari manusia kebanyakan. Manusia kelompok ini sukanya main politik. Apapun yang dilakukannya selalu berorientasi politik. Tak jarang mereka main kasar, bahkan sukanya menghalalkan segara cara demi mencapai tujuan yang diharapkan. Mereka kadang tak hanya mengenal cara halal. Cara-cara haram pun sering ditempuhnya.
Bila punya kepentingan, mereka mau berteman dengan siapapun. Namun sayang, makhluk tipe ini tak segan menjadikan teman sendiri sebagai lawan. Bagi manusia yang termasuk kelompok ini berpegang anggapan bahwa tak ada teman yang abadi. Teman bisa jadi kawan, namun pada saat yang lain, sang teman bisa saja jadi lawan. Mereka berprinsip yang penting tujuan tercapai, yang utama ambisi tergapai.
Makhluk Kejam?
Makhluk politik itu sejatinya manusia istimewa. Mereka bisa ketua atau pengurus partai. Mereka bisa para wakil rakyat, para anggota dewan di pusat dan daerah. Makhluk politik itu bisa presiden, wakilnya, para menteri, staf khusus, tim ahli. Mereka juga bisa gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, ketua RW, juga ketua RT. Para pemimpin ormas, pimpinan LSM, dan pemimpin sejumlah organisasi lain juga bisa jadi makhluk politik.
Aristoteles mengganggap politik sebagai pengorganisasian warga untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sedangkan Plato menilai politik sebagai cara hidup bermasyarakat untuk mewujudkan kebajikan (virtue). Menurut filsuf kontemporer Prancis, Alan Badiou, mengartikan politik sebagai ruang di mana tujuan-tujuan untuk kebaikan bersama dipertaruhkan. Pendapat Badiou ini menolak pandangan yang menganggap politik sebagai ruang kotor, licik, dan culas.
Dalam definisi bebas, politik ada yang mengartikan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan. Ada juga yang menyampaikan bahwa politik itu kejam. Lantas, kalau politik didefinisikan demikian, bagaimana dengan orang-orang yang terlibat dalam politik itu. Apakah dia selalu menghalalkan segala cara? Apakah makhluk politik itu manusia yang kejam, dan suka menempuh cara haram? Apakah makhluk politik itu sukanya menjadikan kawan sebagai lawan?
Tak jarang politik dikonotasikan sebagai sesuatu yang buruk. Politik sering diidentikkan dengan cara mendapatkan kekuasaan dengan cara yang kotor. Citra (image) buruk politik dan makhluk politik itu apa hanya kesan jelek belaka atau sesungguhnya fakta? Semua orang tentu bisa menilai dengan melihat dan mengamati apa yang selama ini dilakukan oleh para makhluk politik itu.
Makhluk Pengabdi
Menilik dari definisi ideal politik maka makhluk politik itu sejatinya adalah manusia yang mau mengabdi. Manusia yang rela mendarmabaktikan hidupnya untuk keperluan masyarakat luas dan untuk kepentingan publik, bukan privat. Makhluk politik bukan orang yang mencari keuntungan pribadi, berupa kekayaan, status sosial, melancarkan proyek bisnis dan sejenisnya. Makhluk politik tak boleh melakukan pengingkaran terhadap nilai-nilai kebajikan politik.
Makhluk politik harus punya gagasan, cita-cita, dan tujuan untuk mengatur kehidupan bersama demi kebaikan bersama. Makhluk politik juga harus selalu mengedepankan kepentingan publik. Makhluk politik harus bisa memilah mana kepentingan pribadi dan mana pula kepentingan untuk orang banyak. Mereka harus bisa mendahulukan kepentingan yang lebih luas. Makhluk politik itu bekerja untuk kemuliaan, karena mereka mengabdikan hidupnya guna kebaikan bersama.
Makhluk politik itu bukanlah orang yang hanya suka membagi-bagi kekuasaan. Memberikan wewenang kekuasaan pada mereka yang disuka dan dari kelompoknya saja. Akhirnya pelimpahan kekuasaan itu dijalankan bukan atas dasar pertimbangan kemampuan, namun lebih pada untuk mengakomodasi kepentingan golongannya semata. Mereka merasa bahwa negeri ini pemiliknya adalah dia dan kelompoknya, hingga yang lain harus minggir.
Tak jarang makhluk politik ini mengemis jabatan pada sang penguasa. Mereka meminta-minta posisi tanpa mengukur kemampuannya. Mereka berebut kursi kekuasaan sebanyak mungkin untuk kelompoknya. Mereka berebut jabatan agar bisa jadi gubernur, walikota, bupati, dan posisi jabatan publik lainnya. Para makhluk politik tak bakal lelah memperebutkan kursi jabatan walau nanti ketika dapat juga belum tentu amanah dalam menjalankan jabatan itu, bahkan cenderung disalahgunakan.
Bagi makhluk politik yang sejati, jabatan itu tak perlu dicari. Jabatan itu akan datang dengan sendirinya karena kemampuan dan kapasitas yang dimiliki. Sebagai makhluk politik yang baik tak perlu menyogok demi mendapatkan jabatan. Tak ada barter apapun ketika sebelum menjabat dan setelah menjabat. Tak perlu uang besar hingga saat menjabat harus mencari uang sebanyak mungkin untuk mengembalikan modal awal saat proses mencari jabatan.
Tujuan para makhluk politik menjabat idealnya adalah untuk mewakafkan dirinya pada umat. Memberi kemanfaatan yang seluas mungkin pada orang lain. Makhluk politik itu orang yang punya posisi lebih dibanding manusia kebanyakan. Mereka adalah wakil rakyat yang dipercaya untuk melakukan pengaturan kehidupan rakyat. Posisi para makhluk politik ini sejatinya mulia, mereka adalah manusia-manusia pengabdi masyarakat.
Wahai para makhluk politik, sejatinya politik itu hadir untuk mengorganisasikan kehidupan rakyat agar mencapai kebaikan bersama. Karena itu, politik itu bicara kepentingan rakyat atau kepentingan umum, bukan kepentingan golongan, kelompok, parpol, bahkan kepentingan pribadi. Masyarakat menitipkan amanah mereka pada para makhluk politik itu untuk dijaga sebagai amanah, bukan diselewengkan seenaknya. (*)