Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M.Si
MALANG POSCO MEDIA – Sedikitnya ada tiga hal bermakna yang dapat dipetik dari besarnya sebuah ketulusan. Pertama, ketenangan, hati menjadi pusat kendali pada diri. Dengan ketulusan yang tak henti terpahat pada diri, hal tersebut akan senantiasa menjadi jembatan untuk selalu mengingat Sang Ilahi Rabbi.
Allah SWT berfirman; “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS., ar-Ra’d: 28).
Kedua, jaminan diterimanya amal. Capaian terbesar tak selalu tentang kedudukan yang tinggi dan banyaknya pujian. Capaian terbesar terletak pada beribu-ribu buih cinta yang disimbolkan pada setiap ketulusan dan padat, saat itu pula Allah tak segan-segan untuk memberikan cinta-Nya secara kontan.
Semua itu tersaji atas dasar kekuatan iman dan takwa yang senantiasa menjadi pelengkap perjalanan kehidupan.
Dari Abu Umamah al-Bahili ra., ia berkata bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW lalu berkata; “Bagaimana pendapat anda mengenai seseorang yang berjihad mengharapkan upah dan sanjungan, apakah yang ia peroleh? Rasulullah SAW menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa,” lalu ia mengulanginya tiga kali, Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.”
Kemudian beliau bersabda, “Allah tidak menerima amalan kecuali jika dilakukan dengan ikhlas dan mengharapkan wajah-Nya (keridhaan-Nya).” (HR. an Nasa’i).
Ketiga, pahala yang melimpah. Ketulusan menjadi pintu utama dalam menggapai limpahan pahala. Dengan ketulusan, kita akan senantiasa mendapatkan anugerah kebaikan dari-Nya. Dari Sa’ad bin Abu Waqash ra., mengabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah (tulus mengharap ridha Allah) kecuali kamu akan diberi pahala termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu” (HR Bukhari).
Ibarat lantunan melodi indah yang diperdengarkan. Ketulusan menjadi sumber ketenangan. Jalan istimewa untuk menggapai kebahagiaan. Tanpanya, kehidupan tampak tak elegan. Lewat ketulusan, keridhaan-Nya pun didapatkan.
Ketulusan karena Allah SWT yang selalu diberikan tidak akan selamanya mendapatkan tempat dari hati orang lain, karena hati semua orang berbeda. Tak ada yang sama, bisa saja sikap tulus seseorang dimaknai negatif oleh orang lain karena berbeda kepentingan, sehingga ketulusan itu dimaknai semu.
Tetapi sesungguhnya ketulusan itu dapat dilihat dan dirasakan ketika ia memahami yang tampak dan yang dirasakan, karena untuk mengetahui perasaan seseorang, takkan pernah tahu apakah ketulusan yang dia lakukan ataukah hanya kebohongan. Di sini akan terlihat sudah berapa banyak orang itu memberikan manfaat pada lingkungan sekitar, tanpa pamrih.
Di dunia ini tidak ada orang yang sempurna. Semua orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Orang yang benar-benar tulus tidak akan peduli bagaimanapun kita. Kita tidak perlu terlihat cantik, humanis atau menarik di depannya. Dia tidak akan peduli meskipun memiliki banyak kekurangan. Di matanya akan selalu terlihat cantik, istimewa dan menyenangkan.
Ketulusan tidak pernah mengharap balasan atau imbalan atas semua yang telah dilakukan. Ketika orang yang dia inginkan lebih memilih untuk mencintai orang lain mungkin dia akan sangat sakit, namun dia akan merelakannya jika melihatnya bahagia. Hebatnya dia tidak akan pergi, dia akan tetap ada, entah menunggu, entah mengawasi, dan dia akan selalu siap apabila dia dibutuhkan.
Halnya seperti pesona Rasulullah SAW, yang membuat semua sahabat Nabi berlomba ingin meniru semua apa yang dilakukannya. Mereka tidak pernah merasa puas dengan apa yang mereka lihat, mereka berusaha mencari tahu apa yang dilakukan Rasulullah SAW bila tidak berkesempatan membersamainya.
Suatu hari ada tiga kelompok sahabat yang datang ke beberapa rumah dari istri-istri Rasulullah SAW. Mereka menanyakan bagaimana ibadah yang yang dilakukan oleh Rasulullah. Pada saat mengetahui apa yang dilakukan Rasul dari para istri-istrinya, para sahabat merasakan betapa sedikit yang mereka lakukan. Rasul yang sudah diampuni dosa-dosanya dan diselamatkan dari perilaku salah saja ibadahnya masih melebihi para sahabat yang bertanya itu.
Salah seorang dari kelompok yang bertanya itu kemudian memutuskan akan salat malam selamanya. Kelompok kedua menyatakan akan berpuasa selamanya dan tidak berbuka. Sementara kelompok ketiga mengatakan tidak akan menikah selamanya dan hanya akan menghabiskan waktunya untuk ibadah.
Melihat tingkah laku para sahabat ini, Rasulullah kemudian menegur mereka: “Kalian yang mengatakan ingin ini dan itu? Ketahuilah demi Allah sesungguhnya akulah yang paling takut pada Allah dan paling bertaqwa, tetapi aku tetap berpuasa dan berbuka, saya salat dan tidur, saya juga menikah. Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka ia bukan golongan dariku.”
Kisah yang diceritakan dalam hadits ini ada banyak versi. Namun secara umum dari berbagai versi itu menyiratkan semangat sahabat dalam melakukan kebaikan dan keinginan mereka menjadi dekat dengan Allah SWT. Saat mereka mengetahui bahwa hidayah itu dari Rasulullah, mereka bertanya tentang ibadah Rasulullah saat mereka tidak dapat melihatnya di dalam rumah. Tetapi saat mereka tahu ibadah Rasul, ia merasa ibadahnya selama ini sangat sedikit.
Peringatan Rasulullah bahwa ia adalah orang yang paling takut pada Allah, mengingatkan bahwa khash-yah bukanlah tuntutan bagi seorang yang berdosa saja. Rasul mengingatkan bahwa khash-yahatau takut pada Allah bukan dengan cara berlebih-lebihan dalam ibadah hingga memberatkan diri sendiri atau mengabaikan statusnya sebagai makhluk sosial. Ibadah itu bukan untuk sebab takut pada Allah saja tetapi ibadah itu juga merupakan ekspresi kesyukuran.
Kritik Rasulullah terhadap cara berpikir para sahabat yang berusaha melebih-lebihkan melampaui kesempurnaan, mengingatkan kita semua bahwa seseorang yang ingin wusul kepada Allah tidak harus berlebihan. Berlebihan dengan mengabaikan hak atas jasadnya, hak orang lain atas dirinya sebagai makhluk sosial bukanlah kesalihan dan kebaikan. Hingga untuk ini Rasulullah nyatakan man roghiba an sunnati falaisa minni,mereka yang tidak suka caraku maka bukan bagian dariku. Dengan kata lain Rasulullah menegaskan bahwa berlebihan itu tidak rasional.
Mungkin kita berkali-kali mengalami kecewa atau sakit hati, tapi dia tidak pernah dendam atau membenci. Dia hanya akan menjaga jarak, itu bukan berarti akan meninggalkannya. Dia hanya tidak ingin seseorang merasa terganggu karena kehadirannya. Meskipun begitu dia sama seperti hujan, yang akan selalu datang meskipun tahu rasanya jatuh berkali-kali.
Baginya berada di dekat adalah tempat yang paling nyaman. Dia akan bahagia meskipun hanya sekadar melihatnya. Dia tidak pernah peduli apakah perasaan seseorang sama dengannya, selama dia bisa Bersama, itu sudah cukup membuatnya bahagia.
Demikian hati yang tulus, sehingga hidupnya tidak pernah terpenjara yang ia buat sendiri, karena ketulusan yang ia tebarkan, membuatnya tetap bahagia.(*)