Dalam dinamika perubahan politik, transisi kekuasaan membawa implikasi yang signifikan terhadap arah pembangunan suatu negara, terutama terhadap kebijakan yang telah lahir dari rezim sebelumnya. Kita tahu dalam dua kali masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pembangunan desa seolah menjadi “anak emas” dari setiap kebijakannya.
Gempita keberhasilan kebijakan yang “pro desa” tersebut sulit terbantahkan. Maka salah satu dag dig dug dari seorang pemimpin baru apakah kebijakan pembangunan desa juga diberi panggung pada masa kepemimpinannya.
Dalam buku “The 360° Leadership” karya John C. Maxwell, disebutkan pemimpin yang mumpuni adalah mereka yang dapat memimpin orang di bawahnya, orang yang sederajatnya atau selevelnya juga mempunyai kemampuan memimpin insan-insan yang berada di atas dirinya.
Maka dengan melanjutkan kebaikan yang diwarisi oleh pemimpin sebelumnya dimana terbukti dapat diterima rakyat tanpa takut mendapat predikat pemimpin yang hanya punya kebijakan “copy paste” tentulah pemimpin yang seperti itu yang sangat dibutuhkan.
Era reformasi membawa angin segar demokrasi baru yang berdampak langsung pada pembangunan desa. Konsep demokrasi yang baru diperkenalkan membawa perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi, yang melibatkan tata kelola pembangunan desa.
Desentralisasi adalah hasil dari demokratisasi yang mengurai pemerintahan yang terpusat, di mana pemerintahan pusat memberikan tanggung jawab, wewenang, atau fungsi kepada unit pemerintah yang lebih rendah yang dianggap memiliki kewenangan tertentu. Perbedaan mendasar antara desentralisasi dan sentralisasi adalah dalam pembagian kewenangan serta adanya ruang yang memadai untuk menafsirkan kewenangan yang diberikan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah.
Pergeseran menuju desentralisasi ini jika dikaji lebih dalam juga tidak kalah menarik. Karena memiliki dampak yang signifikan pada pembangunan desa. Perubahan dalam struktur pemerintahan membawa implikasi besar dalam penyelenggaraan pembangunan di tingkat desa, memungkinkan partisipasi masyarakat setempat dan pengambilan keputusan yang lebih akomodatif terhadap kebutuhan serta aspirasi lokal.
Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang dinamika desentralisasi menjadi krusial dalam upaya memajukan pembangunan desa di Indonesia. Setelah satu dekade berlalu sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Indonesia mengalami perubahan signifikan melalui pengesahan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Meskipun kemungkinan besar undang-undang ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh partai-partai politik yang terlibat, keberadaannya memberikan kepastian hukum bagi masyarakat desa dan desa adat serta memberikan harapan akan kesejahteraan dan perbaikan pemerintahan.
UU No. 6 Tahun 2014 terutama menitikberatkan pada aspek pendanaan dan alokasi anggaran untuk setiap desa, meskipun terdapat indikator kesejahteraan substansial lainnya yang disebutkan. Selain mengembalikan kedudukan hukum desa sebagai entitas masyarakat yang sah, undang-undang ini juga memberikan kewenangan kepada desa untuk menjalankan pemerintahan demokratisnya sendiri, dengan prinsip-prinsip pengakuan dan subsidiaritas sebagai landasan, yang menekankan pada otonomi dan hak asal usul.
Meskipun lahirnya UU Desa memberikan harapan bagi masyarakat desa setelah periode panjang menunggu otonomi desa dan masa depannya, namun implementasinya belum sepenuhnya sesuai dengan ekspektasi.
Dengan jumlah desa mencapai 74.961, pengelolaan desa saat ini tidak selaras dengan kondisi aktual, terutama dalam hal kedudukan masyarakat adat, demokratisasi, partisipasi masyarakat, dan pemerataan pembangunan, yang menyebabkan ketidaksetaraan regional, kemiskinan, dan tantangan lainnya.
Ketika terjadi pergantian kepemimpinan, baik di tingkat negara maju maupun negara berkembang, seringkali terjadi perubahan kebijakan yang signifikan. Misalnya, di Amerika Serikat, setiap kali terjadi pemilihan presiden baru, kemungkinan besar akan ada perubahan kebijakan yang mencolok.
Presiden baru sering kali memiliki pandangan politik yang berbeda atau janji kampanye yang berbeda dari pendahulunya. Sebagai kasus nyata, ketika Presiden Donald Trump menggantikan Presiden Barack Obama, terjadi perubahan signifikan dalam banyak aspek kebijakan. Trump menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Perubahan Iklim Paris yang telah diratifikasi oleh Obama, menyoroti perbedaan dalam pendekatan terhadap masalah lingkungan antara kedua presiden tersebut.
Begitu juga dalam kebijakan imigrasi, Trump menghadirkan kebijakan yang lebih ketat dan kontroversial, termasuk larangan perjalanan dari beberapa negara mayoritas Muslim, sementara Obama dikenal karena kebijakan imigrasi yang lebih inklusif.
Di negara-negara berkembang, perubahan kebijakan juga sering terjadi ketika terjadi pergantian kepemimpinan. Pemimpin baru sering ingin menunjukkan bahwa mereka membawa perubahan dan inovasi, bahkan jika itu berarti menolak kebijakan yang telah terbukti berhasil di masa lalu.
Misalnya, pemimpin baru mungkin ingin memberikan prioritas yang lebih tinggi pada program-program pembangunan baru atau mengubah arah kebijakan ekonomi. Sebagai contoh, ketika pemimpin baru terpilih di sebuah negara berkembang, seperti Indonesia, sering kali terjadi perubahan kebijakan yang mencolok.
Misalnya, ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil alih kekuasaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ada penekanan yang lebih besar pada pembangunan infrastruktur dan program-program ekonomi inklusif, sementara SBY lebih fokus pada stabilitas makroekonomi dan reformasi struktural.
Dalam setiap kasus, perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemimpin baru dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pandangan politik, janji kampanye, dan perubahan dalam kondisi politik, ekonomi, atau sosial yang terjadi setelah pemilihan.(*)