“Leiden is lijden!.” Memimpin adalah menderita hal ini telah digambarkan secara nyata oleh teladan bangsa kita yang memberikan nilai-nilai kepemimpinan sejati, pengorbanan, dan keluar dari zona kenyamanan pribadi untuk kepentingan yang lebih besar, dengan menggunakan contoh-contoh tokoh sejarah Indonesia seperti Agus Salim, Bung Hatta, dan Habibie.
Haji Agus Salim memang dikenal sebagai sosok yang sederhana, bahkan dalam gaya berpakaian dan gaya hidupnya. Pemanggilan “The Grand Old Man” oleh Sukarno menunjukkan penghormatan terhadap peran dan kontribusinya dalam politik Indonesia. Pemimpin yang mempertahankan kesederhanaan dalam hidupnya sering kali dihormati karena menunjukkan fokus pada pelayanan kepada rakyat daripada kepentingan pribadi.
Rumah ngontrak dan pemakaian jas yang penuh bekas jahitan mungkin mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan dan keterhubungannya dengan rakyat. Pendekatan seperti itu memperkuat kesan bahwa kekuasaan politik seharusnya tidak menjauhkan pemimpin dari rakyat, melainkan membuat mereka lebih dekat dan peduli terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat.
Pepatah mengatakan “memimpin itu menderita” dan konsep terbentur, terbentuk dari Tan Malaka mencerminkan realitas bahwa perjalanan menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah. Proses kepemimpinan penuh dengan tantangan dan rintangan, tetapi melalui perjuangan itulah karakter seorang pemimpin terbentuk.
Penting untuk memahami bahwa kekuasaan politik seharusnya digunakan untuk melayani rakyat, seperti yang diinginkan oleh Mohammad Hatta dengan konsep “negara pengurus.” Pemimpin dan aparatur negara seharusnya memiliki mentalitas pelayan yang berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Mohammad Hatta di beberapa surat kabar di Belanda selama studinya menambah dimensi lain pada gambaran karakternya. Menunjukkan bahwa kegiatannya tersebut tidak hanya sebagai sarana untuk menyampaikan pemikiran, tetapi juga sebagai upaya untuk memperoleh tambahan uang saku menyoroti keterampilan multitasking dan kreativitasnya.
Keputusan Habibie untuk meninggalkan zona kenyamanannya, terutama dalam konteks meninggalkan keluarganya, merupakan salah satu contoh pengorbanan yang dilakukan oleh pemimpin besar. Dalam konteks Habibie, hubungan yang kuat dengan ibunya setelah kehilangan ayahnya tentu menjadi faktor emosional yang signifikan.
Kesediaan mengambil risiko dan keluar dari zona kenyamanan sering kali menjadi ciri khas pemimpin yang sukses. Meskipun pengorbanan ini tidak selalu mudah, namun itulah yang seringkali membedakan antara pemimpin biasa dan pemimpin besar. Kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian, mengambil risiko, dan berkomitmen pada tujuan yang lebih besar adalah sifat-sifat yang membangun kepemimpinan yang efektif.
Indonesia akan melaksanakan perhelatan nasional yakni Pemilu serentak pada 14 Februari 2024. Pada saat ini tahapan yang berlangsung adalah tahapan Masa Kampanye yang berlangsung efektif selama 75 hari diawali pada tanggal 28 November 2023 sampai dengan 10 Februari 2024.
Sungguh luar biasa animo masyarakat yang berniat untuk mendaftarkan diri menjadi Calon Anggota legislatif, dan peraturan membolehkan masing-masing partai mencalonkan 100 persen dengan memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan dari kursi yang tersedia di setiap dapilnya.
Ada banyak motivasi dan niatan masyarakat untuk mencalonkan diri, di samping memang ini adalah hak. Hak dipilih dan memilih adalah hak berdemokrasi dan berserikat dan dilindungi oleh Undang-Undang. Bagaimanapun juga seorang calon anggota legislatif sebelum menyatakan dirinya maju, paling tidak memiliki modal sosial yaitu dikenal oleh keluarga, masyarakat, elektabilitasnya tinggi. Dan modal biaya politik untuk membiayai ongkos politik, akomodasi sosialisasi kepada masyarakat ataupun kepada saksi yang nanti akan di tempatkan di masing-masing Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Dengan ditetapkannya para kandidat menjadi Daftar Calon Tetap (DCT) berarti sah baginya untuk melakukan sosialisasi dan kampanye di masyarakat, bisa berjuang meraih simpati, menyampaikan visi dan misinya saat menjadi calon dan kelak jika jadi anggota legislatif maupun kerjasama dengan caleg lainnya yang satu dapil untuk mewujudkan visi dan misi Partai Politiknya secara umum kepada masyarakat pemilih.
Dengan marak dan banyaknya calon, bukanlah ajang mencari pekerjaan dan juga bukan peluang usaha. Karena predikat anggota dewan yang terhormat akan ada di pundak mereka yang terpilih dan dilantik. Dan ini membuktikan bahwa ini adalah bagian dari panggilan jiwa dan raga untuk mengabdi kepada negeri.
Karena seperti yang dicontohkan oleh Agus Salim, Moh Hatta dan Habibie jika sudah mendapat jabatan publik harus amanah. Seluruh waktunya dicurahkan untuk memikirkan kesejahteraan masyarakatnya secara umum meskipun keterpilihannya dari dapilnya masing-masing.
Dan kelak jika sudah menjadi anggota dewan tidak segan-segan melayani masyarakat yang langsung (sambat) menyampaikan uneg-unegnya tentang persoalan pribadi maupun kelompoknya. Bahkan layanan harus memenuhi 24×7 siap siaga untuk rakyatnya. Karena masyarakat akan selalu menagih janji-janji politiknya yang disampaikan saat kampanye. Maka memang benar bahwa memimpin itu menderita.(*)