Malang Posco Media – Ada sebuah catatan kelam di dunia pendidikan yang terus terjadi hingga sekarang, ialah adanya pencurian karya yang dilakukan oleh para pendidik kepada anak didiknya. Angkanya sungguh tidak main-main. Pengamat dan praktisi Pendidikan Indra Charismiadji, dalam sebuah webinar di tahun 2021 bertajuk Plagiarisme dan Wajah Masa Depan Dunia Akademik mengatakan bahwa presentase plagiasi di dunia pendidikan mencapai 94 persen.
Temuan yang ada adalah tulisan para peserta didik itu rata-rata cocok dengan tulisan siswa-siswanya. Tulisan-tulisan tersebut kebanyakan digunakan sebagai kelengkapan administrasi perolehan angka kredit untuk kenaikan jabatan, perolehan angka untuk uji sertifikasi, peningkatan profesionalisme, dan lain sebagainya.
Sebuah ironi, karena di kelas mereka mengajarkan siswa untuk menulis, namun ternyata tulisan itu dicuri dan digunakan untuk kepentingan pribadi sang pendidik. Terkait tujuan penulisan karya tulis untuk peningkatan profesionalisme, sudah jelas di sini diharap para pendidik dapat menunjukkan profesionalismenya dalam bentuk karya tulis yang ia hasilkan. Dengan panjangnya proses penulisan, mulai dari perumusan konsep, pengamatan, pengambilan data, pengolahan data, hingga penyusunan karya tulis hingga selesai sudah menjukkan betapa proses ini membutuhkan kedalaman proses berpikir dan intensitas kerja riset yang sungguh-sungguh.
Tentu seorang pendidik yang telah melalui proses ini, dengan bagaimanapun kualitas tulisannya, ia telah menunjukkan keseriusan kinerjanya sebagai seorang pendidik yang profesional dan mampu terus meningkatkan kapasitas pengetahuannya. Tentu proses ini sangat layak diganjar dengan perolehan angka kredit, kenaikan jabatan, dan lain sebagainya.
Sayang sungguh sayang, dilema yang kemudian muncul adalah kegiatan itu tidak dilakukan sungguh-sungguh. Dilakukanlah pencurian karya hingga menyuruh seorang joki mengerjakan tanpa ada proses kerja sama, yang penting ada bayaran di akhir, dan selesai.
Saat ditanyakan penyebabnya, seringkali alasan yang digunakan adalah karena tidak adanya waktu dan kemampuan menulis yang baik. Sebuah alasan yang sebenarnya bisa ditampik saat mereka betul-betul bisa menyisikan sedikit waktu di antara 24 jam rutinitas sehari-hari untuk membiasakan membaca dan menulis.
Namun alasan tetaplah menjadi alasan, dan pencurian karya menjadi pembiaran yang membudaya. Tidak ada yang resah tentang hal itu to? Murid-murid juga tidak terganggu to? Terganggu, jika saja mereka tahu. Tapi betulkah kita tidak resah?
Jika saja dengan kesadaran bahwa para siswa yang memiliki kapasitas baik dalam menulis ini diperlakukan sebagai mitra menulis, alih-alih dicuri karyanya, maka betapa kejahatan pencurian karya itu tidak akan terus membudaya.
Sebagai mitra berarti para siswa bisa dimintai tolong menjadi ghost writer atau penulis hantu. Mereka adalah orang-orang yang menulis untuk orang lain, tentunya tidak menggunakan namanya. Sebenarnya profesi ini sudah banyak dilakoni. Bahkan seorang ghost writer dapat mendapat bayaran yang cukup besar.
Terkait angkanya bisa dicek di mesin pencari otomatis di internet. Hanya saja profesi ini tampaknya seringkali disalahartikan. Sebuah ironi lain yang muncul di kalangan pelajar atau mahasiswa adalah maraknya jasa ghost writer untuk mengerjakan tugas hingga karya tulis seperti tugas akhir atau skripsi. Mereka para ghost writer ini hanya menjadi joki menyelesaikan tugas dan mendapat bayaran.
Lalu bagaimana menggunakan jasa ghost writer yang “lebih sehat?” Sebenarnya para pendidik itu bisa meminta bantuan siswanya untuk menjadi seorang ghost writer. Mereka bisa meminta siswa untuk melakukan wawancara hal-hal yang ingin dituliskan.
Dari situ, siswa bisa mengolah hasil wawancara sesuai dengan tulisan yang dikehendaki sang pendidik. Ini juga akan meminimalisasi pencurian di internet yang tentunya sudah membudaya. Dengan bantuan seperti ini ide akan lebih orisinal dari sang pendidik. Siswa yang membantu juga dapat diberi pengganti lelah sebagai bentuk penghargaan sang pendidik karena telah dibantu menulis.
Ghost writer sebenarnya tidak saja bisa dilakukan oleh siswa, namun teman sejawat para pendidik yang memiliki kemampuan menulis dan waktu yang lebih luang. Bahkan sebuah institusi pendidikan juga bisa membentuk tim penulis yang dapat membantu para pendidik yang memerlukan bantuan untuk menuliskan karya sebagai prasyarat untuk kenaikan pangkat, dan lainnya.
Tim yang dibentuk ini dapat berisi guru-guru dari berbagai latar belakang mata pelajaran, juga membentuk kolaborasi bersama siswa. Setelah dibentuk, tim bisa menentukan standar harga untuk setiap proses. Ada yang dibantu dari nol, artinya dengan melakukan wawancara awal untuk mengumpulkan bahan, hingga bantuan untuk menyunting karya-karya yang sudah ada.
Kedua proses tersebut tentunya akan dihargai dengan berbeda. Agar tim ini lebih luwes bergerak, kepala sekolah bisa memfasilitasi untuk komunikasi dan sosialisasi ke warga sekolah.
Jasa ghost writer bisa jadi buruk jika tidak ada proses penuangan ide bersama dari dua arah. Artinya si ghost writer dilepas begitu saja untuk menulis, kemudian diberi imbalan jasa.
Ini tidak ada bedanya dengan joki atau makelar tugas seperti yang sering marak di kalangan siswa atau mahasiswa. Yang berpikir hanyalah di makelar. Ini tidak sehat. Maka kembali ke wacana awal bahwa tugas seorang ghost writer untuk para pendidik yang membutuhkan bantuan adalah membantu menuangkan dalam bentuk tulisan dari ide-ide yang secara orisinal diberikan oleh si peminta bantuan. Ini yang akan membedakan dari sekadar klaim tulisan tanpa adanya proses penuangan ide bersama.
Seideal-idealnya jasa seorang ghost writer tentu masih lebih baik jika tulisan itu murni ditulis sendiri. Ada banyak jalan yang bisa ditempuh agar para pendidik yang seringkali dituntut untuk membuat karya tulis ini “bisa menulis.” Sekolah dapat membuat pelatihan dengan memanggil penulis tamu yang tujuan akhirnya adalah lahirnya tulisan hasil pelatihan.
Pelatihan ini juga dapat diberikan secara bertahap sampai proses menulis bisa membudaya. Alangkah menggembirakan jikalau angka pencurian karya ini turun karena para pendidik kita mulai terbiasa menuliskan karyanya. Bukankah mereka memang harus memiliki kapasitas tersebut sebagai prasyarat perolehan angka kredit?
Bumi terus berputar, matahari tetap bersinar, dan kita kembali pada realita yang sama: kasus pencurian karya. Realita ini ada di sekitar kita, mungkin saja menjangkiti kita. Ah, masak kita harus ikut berkubang di dalamnya? (*)