.
Sunday, December 15, 2024

Mencintai Indonesia dengan Darah Juang

Berita Lainnya

Berita Terbaru

  “Bila cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang…”  (Iwan Fals)

Mari rehat sejenak dari hingar bingar informasi yang begitu cepat mencuat, politik, ekonomi, atau apapun itu. Tanggal 28 Oktober memang sudah lewat beberapa hari. Namun tak mengapa bila kita mempertanyakan kembali ingatan kita pada sejarah yang menggetarkan bangsa ini.

Ya Sumpah Pemuda yang dengan kehadirannya waktu itu telah membawa persatuan dan kesatuan. Yang dengan keindahannya memecah segala orientasi pribadi. Yang dengan kelahirannya menambah kekuatan bagi yang lemah, ya 95 tahun yang lalu, 28 Oktober 1928.

Sedikit melawan lupa, pada saat itu berkumpul orang-orang hebat dengan narasinya, pandai dengan aplikasinya, dan mumpuni dalam bidangnya. Mereka mencoba membuat sebuah kristalisasi cita-cita Negara Indonesia dalam sebuah kata-kata yang indah di atas secarik kertas mulia.

“Kami, putra dan putri Indonesia mengaku, bertumpah darah yang satu, tanah air indonesia”

“Kami, putra dan putri Indonesia mengaku, berbangsa yang satu, bangsa indonesia”

“Kami, putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”

Sumpah Pemuda. Sebuah deklarasi kelahiran persatuan Indonesia oleh mereka yang masih kuat mengangkat senjata, oleh mereka yang masih sanggup mendaki gerilya, oleh mereka yang masih meletup-letup gejolak indah semangatnya, dan oleh mereka yang masih teguh pendiriannya kepada Indonesia tercinta. Ya, mereka adalah para pemuda.

Pemuda atas dasar cinta tanah air yang menyerukan untuk membuat sebuah gerakan perlawanan dalam memajukan Indonesia, menyatukan segala bentuk perlawanan atas tanah pribadi, atas dasar intimidasi individu, atas dasar keresahan daerah menjadi sebuah dinamisasi bersama untuk menyatakan bahwa Indonesia sudah selayaknya disebut sebagai Negara Merdeka.

Seiring berjalannya waktu, esensi murni dari Sumpah Pemuda sudah mulai korosi di tengah lautan sejarah. Seolah sumpah itu hanya rembesan yang bisa dengan mudah hilang diterpa teriknya apatisme pemuda masa kini, atau bahkan sebuah sumpah yang hanya dijadikan senja sejarah yang indah pada masanya dengan warna hitam di atas kertas kumal berjudul Sumpah Pemuda. Senja menawan yang hanya bisa dinikmati pada waktu tertentu dengan durasi yang begitu singkat, yang akan segera tertelan oleh gelap malam seiring hilangnya sebuah idealisme seorang pemuda.

“Berikan aku 10 pemuda, maka aku akan goncangkan dunia” (Soekarno)

Masih terngiang sebuah ucapan dari seorang orator ulung Indonesia yang sempat membuai para pemuda pada masanya. Tidak butuh orang tua yang berkumpul dalam jumlah luar biasa, tidak pula pemuda yang berbaris gagah dengan jumlah yang istimewa.

Cukup dengan 10 (hanya sepuluh) untuk mampu mengangkat harkat dan martabat negara ini di mata dunia. Bukankah Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, Amir Sjariffudin dan lainnya masih dikatakan pemuda pada saat itu?

Timbul pertanyaan besar akan ucapan beliau kini, apakah masih relevan ketika sepuluh pemuda sanggup menggetarkan dunia? Atau mengguncang negara? Atau memajukan kota? Atau bahkan sekadar membersihkan desa saja sekarang dipertanyakan.

Ya, terlalu banyak pemuda yang tertidur dalam nyenyaknya gemerlap usia sebelum tua. Terlalu banyak pemuda yang bersantai di usia produktif mereka, yang seakan berkata pada diri sendiri. “Biarlah, toh masih banyak pemuda yang mau memperjuangkan bangsa ini, Aku cukup menikmati saja.”

          “Jangan tanya yang diberikan tanah air kepadamu, tapi tanyakan pada dirimu apa yang sudah kamu berikan untuk tanah airmu.” (John F Kennedy)

Hai pemuda, cukupkah kalian berkomentar tentang apa yang terjadi pada negeri ini? Scroll media sosial sembari adu tajam berkomentar? Rehatlah dari kesibukan kalian yang hanya sekadar mengoreksi sebuah jalannya kepemimpinan. Tengoklah ke belakang, selamilah lautan sejarah itu, dan konstruksikan kembali semangat juang pemuda-pemudi yang melantangkan ikrar bersama sebagai pemantik semangat nasionalisme.

Tanyakan pada diri kita, sejauh mana persiapan untuk membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Sejauh mana kontribusi kita untuk tanah surga yang menjadi bumi pertiwi tempat kita menangis pertama kali.

Ketahuilah, renyah di telinga kita bahwa ramalan tahun 2030 negara Indonesia akan mendapatkan bonus demografi. Bonus yang diberikan pencipta untuk kepingan surga ini, bonus berupa meledaknya usia pemuda dibandingkan dengan para orang tua.

Kondisi strategis yang bisa dimanfaatkan oleh para pemuda untuk mengembalikan ‘masa-masa jaya’ Indonesia. Masa dimana kita teriak lantang bersama, masa dimana kita bermandi peluh bersama, dan masa dimana kita secara bersama-sama bergerak untuk satu tujuan yang sama, Indonesia Merdeka!

Masih banyak rakyat yang harus hidup di bawah garis kemiskinan, kesulitan memperoleh layanan kesehatan yang layak dan sangat jauh berjarak terhadap layanan pendidikan berkualitas.  Mengapa cita-cita yang melandasi perjuangan untuk menghadirkan ketiga tolak ukur dasar perubahan tersebut tak kunjung tercapai?

Jawabnya hanya satu, Idealisme.  Sebuah warisan cita-cita yang tak boleh hilang setiap diri yang mengaku pemuda. Warisan yang menentukan nasib bangsa ini berpuluh-puluh tahun ke depan, dan warisan yang bisa membuktikan ucapan Proklamator Soekarno, bahwa masih relevan ketika hanya dibutuhkan sepuluh pemuda untuk mengguncang dunia.

Momentum istimewa ini marilah jadikan diri kita tidak hanya sekadar bisa berbicara. Tidak hanya sekadar pandai menulis, tapi juga menjadi sebuah pribadi yang mampu mengimplementasikan apa yang telah dipahami sebagai sebuah teori indah yang nantinya bisa dinikmati dengan visualisasi berupa gerakan bersama yang memajukan Indonesia.

Sederhana saja! Jadikan Sumpah Pemuda sebuah sejarah yang pantas untuk dikenang dan layak untuk dimunculkan kembali darah juangnya. Sebelum hilang semangatnya, sebelum hilang jati dirinya, sebelum luntur cinta pada tanah air ini, cinta terhadap bangsa ini dan cinta terhadap bahasa ini.

Karena masing-masing hanya bisa menyerahkan satu badan saja, satu roh saja, satu jiwa saja, satu cinta saja. Dan ketika cinta itu merekah sebagaimana mestinya, cita-cita bangsa barulah bisa tercapai dengan menawan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img