Bencana masih dirasakan oleh masyarakat sampai hari ini sebagai permasalahan aktual. Ironisnya, bencana semakin bervariasi dan sulit dikendalikan. Seperti, BNPB dan berkali-kali BMKG memberi peringatan cuaca ekstrim yang perlu waspadai di sebagian besar wilayah di Indonesia.
Kondisi ini merupakan peringatan atas krisis dan kerusakan lingkungan yang sudah terjadi di depan mata. Diguyur hujan dalam hitungan jam saja, tiba-tiba sebagian besar pemukiman dekat sungai dan perbukitan longsor dan banjir.
Kini kita tidak lagi butuh “wacana” kebencanaan, tetapi yang dibutuhkan model mitigasi baik struktural/ non struktural. Mitigasi struktural meliputi perbaikan drainase, susur sungai, naturalisasi, normalisasi, penghijauan dan lain-lain. sedangkan, mitigasi non strukural meliputi penguatan kebijakan yang mengantisipasi dan menangani dampak negatif dari bencana yang terjadi.
Dukungan langkah-langkah kontributif tersebut salah satunya kekuatan kultural yang sudah terlembaga (institutionalized), lahir dan hidup di masyarakat kita, seperti cara pandang kebencanaan dalam dunia nilai-norma dan sistem sosial masyarakat. Di sinilah arti penting kita mendiskusikan etika kebencanaan.
Arti Penting Etika
Sekalipun pengetahuan dan keunggulannya sudah berkembang pesat, peran etika tidak bisa ditinggalkan. Terlebih, industrialisasi, modernisasi dan kapitalisme pembangunan gagal melahirkan kondisi “yang lebih baik” dari implementasi nilai-nilai kearifan masyarakat tersebut.
Di Indonesia sendiri kearifan lokal merupakan modal sosial yang memberikan solusi dan mengintegrasikan. Kita ketahui setiap agama mengajarkan etika tentang kebaikan, termasuk relasi harmonis manusia dengan lingkungan dan nilai-nilai kepedulian sosial ekologis. Ia tidak menjelaskan relasi secara keduniawian, tetapi secara spiritual melalui pembacaan beyond logika-logika rasional.
Etika sendiri terdiri dari keyakinan umum, sikap, nilai, atau standar yang memandu perilaku. Dalam pengertian normatif, etika terdiri dari 1). keyakinan, 2). sikap, 3). nilai, dan 4). standar yang seharusnya memandu perilaku. Sebagai disiplin dalam filsafat, etika adalah studi sistematis tentang keyakinan, sikap, nilai, dan standar tersebut. Etika dibagi menjadi pertanyaan tentang moralitas pribadi dan tentang keadilan sosial dan publik.
Etika kebencanaan kelanjutan dari etika lingkungan. Sementara, etika lingkungan merupakan penjelasan sistematis tentang hubungan moral antara manusia dan lingkungan alamnya (Des Jardins, J. R. (2012), yang memberi perhatian pada status moral makhluk hidup (biotis) dan tidak hidup (abiotis) Suka, 2012:10), etika kebencanaan menjelaskan upaya-upaya manusia menanggapi bencana. Ia tidak hanya memberikan pengurangan risiko bencana, tetapi juga membangun tata relasi harmonis yang menjauhi risiko dan bahaya (hazard) kebencanaan.
Etika kebencanaan antitesa antroposentrisme yang melihat pola hubungan antara manusia dan lingkungan secara instrumentalis dan menganggap manusia dan kepentingannya sebagai penentu utama dalam tatanan ekosistem.
Prinsip-Prinsip Etika Kebencanaan
Dari sinilah, etika kebencanaan mengajarkan empat pokok penting, yaitu: pertama, tuntunan menghindari perilaku merusak lingkungan. Kedua, menghindari perilaku mendatangkan bahaya. Ketiga, keberpihakan dan perlindungan pada kelompok rentan dan keempat, menghindari perilaku mendatangkan bahaya.
Prinsip-prinsip di atas muncul karena penghormatan atas hak mengelola risiko bencana, hak mengelola kerentanan, hak mendapat bantuan darurat, hak rehabilitasi dan rekonstruksi, hak melaksanakan sistem penanggulangan bencana dan hak tangguh.
Hak mengelola risiko bencana yaitu hak semua komunitas untuk kreatif mengelola risiko kebencanaan yang dihadapi. Hak ini mendapatkan prioritas baik sebelum, pada saat dan setelah terjadinya bencana.
Hak mengelola kerentanan menunjukkan hak semua komunitas untuk kreatif memahami kerentanan, menanggulanginya. Kerentanan sendiri menunjuk seperangkat kondisi yang mengindikasikan potensi kerugian/ kehilangan (loss)hidup, kesejahteraan material-mental, kemampuan untuk berfungsi, sistem fisik (gedung, infrastruktur, mata pencaharian) dan aset personal (kekayaan dan tabungan), keragaman dan keberlanjutan lingkungan.
Hak mendapat bantuan darurat hak yang dimiliki semua komunitas untuk memeroleh bantuan darurat, utamanya pada masyarakat rentan dimana sangat miskin bantuan, Hak rehabilitasi dan rekonstruksi hak yang dimiliki semua komunitas untuk memulihkan pada kondisi sama seperti sebelum bencana. Hak melaksanakan sistem penanggulangan bencana dimana memberikan ruang kreativitas dalam mengkreasi sistem penanggulangan bencana.
Sedangkan hak tangguh yaitu kondisi warga negara terbebas dari ancaman bahaya seperti 5 dimensi yang dinyatakan oleh Razafindrabe et al. (2009) dimana meliputi fisik (seperti listrik, pasokan air, sanitasi dan lain-lain), sosial (status kesehatan, pendidikan dan kesadaran, modal sosial), ekonomi (seperti pendapatan, pekerjaan, aset rumah tangga dan lain-lain), kelembagaan (institutionalized), seperti rencana pengembangan dan institusi internal, efektivitas dari kelembagaan internal dan natural (frekuensi dan kepadatan ancaman).
Sedangkan langkah-langkah yang bisa dilakukan meliputi: mencegah bencana, mengantisipasi/ mengurangi risiko korban, menyebarkan informasi bencana, menguatkan psikososial aktor, membangun solidaritas sosial dan pengembalian kondisi stabil. Hak-hak di atas bisa diperoleh baik secara mandiri oleh komunitas maupun inisiatif negara untuk melakukan intervensi sosial.
Langkah-Langkah Penting
Kini yang dibutuhkan pelaksanaan komprehensif dari etika kebencanaan tersebut. Isu-isu yang diangkat yakni pengelolaan sumber daya alam dan energi secara berkelanjutan dan penanggulangan bencana akibat dari perubahan iklim dan bencana hidrometereologis. Maka, etika kebencanaan melekatkan etika konservasi, kreativitas, keindahan, keberlanjutan dan kemaslahatan.
Etika kebencanaan berdialektika dengan materi (the material) seperti konsumsi, teknologi, ekonomi, pembangunan, penduduk dan kesehatan tubuh dan praktik (practice) yang menunjuk cara manusia mendamaikan konflik antara materi dan gagasan (Bell, M. M., & Ashwood, L. L. (2015).
Pengejawantahan etika ini memerlukan gerakan sosial masif dimana yang diikuti oleh semua unsur berkepentingan dengan berbagai latar belakang, maka etika ini praktis dan mudah diterjemahkan pada gerakan lingkungan. Karenanya ia tidak individual dan kasuistis, tetapi luas pada relasi alam semesta keseluruhan termasuk dampak pada makhluk hidup, termasuk di dalamnya kebijakan ekonomi dan politik (Keraf, 2002: 27).
Gerakan ini berkarakter kultural, tidak mengikat secara resmi, berbasis kerelawanan, tetapi mengaktivasi lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan mendorong keterlibatan banyak aktor lapangan. Akhirnya, tidak bisa bicara etika saja tanpa melibatkan kebijakan politik, maka objektivasi etika kebencanaan membutuhkan tekanan politik pihak yang berkuasa.(*)