spot_img
Monday, April 29, 2024
spot_img

Meng “NOL” kan Kemiskinan, Mungkinkah?

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia yang dirilis pada Juli 2019 menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia pada periode Maret 2019 sebesar 9,41 persen. Hal ini memang cukup menggembirakan karena sejak kali pertama dalam perjalanan Republik ini angka kemiskinan bisa menyentuh di angka 1 digit.

Kalau kita lihat sejarah, angka kemiskinan di Indonesia memang fluktuatif. Fluktuatifnya ini bergantung pada dinamika perekonomian dan politik nasional. Bahkan kalau kita tengok sejarah, Indonesia pernah juga pada suatu masa dimana angka kemiskinannya di atas 20 persen atau hampir seperempat dari penduduk negeri ini adalah orang miskin.

Misalnya saja di tahun 1984 menurut data yang sama dari BPS, angka kemiskinan masih bertahan di angka 21,6 persen dan setelah itu angka kemiskinan terus turun sampai pada penghujung orde baru di level 11,3 persen. Namun hal ini tidak bertahan lama karena krisis moneter, krisis sosial dan krisis politik saat itu menyebabkan angka kemiskinan naik kembali di angka 17,47 persen dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 dimana angka kemiskinan menyentuh angka 24,2 persen atau setara dengan seperempat penduduk Indonesia saat itu berada di bawah garis kemiskinan.

Pasca tragedi reformasi, tepatnya 1999 Negeri ini sepertinya sudah masuk dalam tahap pemulihan. Hal ini ditunjukkan dengan tren angka kemiskinan yang semakin tahun semakin turun, sampai terakhir data yang dirilis oleh BPS pada Juli 2019 lalu yang menunjukkan angka kemiskinan di Indonesia sudah berada di level 1 digit atau 9,41 persen.

Namun fluktuatifnya kondisi bangsa ini sekali lagi memang menjadi salah satu penentu utama terhadap naik turunnya angka kemiskinan ini. Wabah Covid-19 yang melanda negeri ini di awal tahun 2020 yang hingga saat ini belum selesai ternyata cukup membawa dampak terhadap perekonomian nasional dan tentu angka kemiskinan yang terjadi.

Tercatat sebagaimana data yang disajikan BPS ada peningkatan jumlah angka kemiskinan karena wabah Covid-19 ini yakni di level 10,19 persen pada Sepetember 2020 atau setara dengan 27,55 juta orang yang berada di bawah garis kemiskinan, atau terjadi kenaikan sekitar 2,76 juta orang jika dibandingkan dengan data yang sama pada tahun sebelum (sebelum ada pandemi Covid-19).

Di Malang Raya sendiri menurut data BPS ternyata angka kemiskinan cenderung stagnan dan diperparah oleh kondisi pandemi Covid-19 yang justru mengakibatkan terjadinya  kenaikan angka kemiskinan. Di Kabupaten Malang tahun 2019 ada 246 ribu jiwa orang miskin dan datanya naik menjadi 265 ribu jiwa pada tahun 2020. Ada kenaikan sekitar 18,96 ribu jiwa orang miskin.

Di Kota Malang tahun 2019 ada 35,39 ribu jiwa penduduk miskin dan jumlahnya naik menjadi 38,77 ribu jiwa pada tahun 2020, ada sekitar 4,44 persen dari total penduduk kota Malang yang berada di bawah garis kemiskinan. Di Kota Batu tahun 2019 ada 7.890 orang miskin dan datanya naik menjadi 8.120 orang miskin di tahun 2020.

Saya jadi teringat oleh seorang ekonom berkebangsaan India yang meraih Nobel dalam bidang ekonomi Amartya Sen, 1 dari 18 elite profesor dari Harvard University ini menjadi terkenal setelah karyanya tentang kelaparan, teori perkembangan manusia, ekonomi kesejahteraan, mekanisme dasar dari kemiskinan, dan liberalisme politik. Ia juga merupakan orang yang meraih penghargaan “Lifetime Achievment Award” atau penghargaan keberhasilan seumur hidup yang diberikan oleh kamar dagang india.

Pada tahun 1981 Sen menerbitkan sebuah buku yang berjudul Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation dimana buku tersebut menjelaskan pada khalayak umum bahwa, kelaparan terjadi tidak hanya disebabkan karena kekurangan bahan pangan, akan tetapi karena adanya ketidaksetaraan dalam membangun mekanisme distribusi makanan.

Menurutnya orang-orang dilaparkan, orang-orang dimiskinkan, oleh sistem yang tidak adil, Amartya Sen kemudian menyatakan bahwa pada saat itu di India masih tersedia cukup suplai bahan makanan, tapi yang terjadi adalah adanya hambatan yang menyebabkan beberapa kelompok masyarakat dalam hal ini adalah buruh pedesaan kehilangan pekerjaannya sehingga mengakibatkan hilangnya kemampuan untuk mendapatkan bahan pangan.

Amartya Sen dengan gagasannya “Development As Freedom” menyebutkan bahwa kemiskinan secara utuh akan bisa dihilangkan sesuai dengan seberapa luas kebebasan yang diberikan di sebuah negara. Menurutnya kebebasanlah yang akan membuat seseorang dapat membuat pilihan yang memungkinkan mereka untuk membantu diri mereka sendiri ataupun orang lain. Menurutnya kebebasan dapat didefinisikan sebagai; Pertama, Kebebasan politik dan hak-hak sipil. Kedua, kebebasan ekonomi, termasuk kesempatan untuk mendapatkan kredit. Ketiga, Kebebasan sosial, perawatan kesehatan, pendidikan dan layanan sosial lainnya. Keempat, Jaminan transparansi, interaksi dengan orang lain, termasuk dengan pemerintah, tentang apa yang ditawarkan dan apa yang diharapkan. Kelima, Perlindungan keamanan, termasuk tunjangan terhadap pengangguran, kelaparan dan bantuan darurat dan keselamatan umum.

Prestasi penaggulangan kemiskinan yang ada di negeri ini patut untuk kita apresiasi bersama, hal ini ditunjukkan dengan angkanya yang cenderung turun secara signifikan dari zaman orde lama, orde baru hingga saat ini. Ada banyak program yang sudah digelontorkan oleh pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan ini. Namun yang menjadi catatan adalah angkanya yang cenderung stagnan dan cenderung belum mampu menanggulangi masalah kemiskinan secara utuh.

Hal ini, menurut saya disebabkan karena strategi penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan oleh pemerintah belum menjawab akar persoalan kemiskinan. Kebijakan yang ada hanya merespon dampak yang ditimbulkan dari persoalan kemiskinan. Hal ini diperuncing dengan cara pandang yang beranggapan bahwa penyebab kemiskinan hanya berasal dari kaum miskin itu sendiri dan masalah ekonomi.

Gagasan Amartya Sen dengan Development As Freedomnya barangkali menjadi jawaban bagi negeri ini baik pemerintah pusat, provinsi ataupun daerah untuk membuat kebijakan dengan pendekatan gagasan Kebebasannya. Bahwa kemiskinan selamanya akan menjadi masalah yang tidak teratasi apabila cara pandang kita terhadap permasalahan ini tidak diubah.

Namun sebaliknya, bukan sebuah hal yang mustahil negeri ini benar-benar bisa mencapai kemakmurannya yang sebenarnya dengan “NOL” nya angka kemiskinan, Mungkinkah? (*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img