.
Thursday, December 12, 2024

Mengejawantahkan Mata Pelajaran

Berita Lainnya

Berita Terbaru

          Seorang guru paham apa yang harus dilakukan dalam mengarahkan dan membimbing siswanya untuk mendalami pelajaran yang diampunya. Apalagi dengan bantuan teknologi yang semakin canggih sehingga memudahkan guru menjalankan tugas pokoknya, terutama tugas yang berhubungan dengan pembelajaran.

          Mulai dari menanamkan konsep dan metode mengajar yang menyenangkan hingga dalam bentuk yang atraktif. Tinggal ketik kata kunci di mesin pencarian Google atau YouTube, semua telah tersedia. Bahkan untuk membuat penugasan atau soal ujian, semua sudah tersedia, mulai dari soal bentuk pengetahuan (C1) hingga yang analisa (C6).

          Namun ada satu tantangan mendasar yang harus dijawab oleh guru yang ini memerlukan pemikiran serius, yaitu meng ’ejawantah’ kan mata pelajaran yang diampunya itu menjadi sebuah pengalaman berharga siswa dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

          Ini urgen dilakukan karena proses pembelajaran di lembaga pendidikan (sekolah) tidak akan memberikan makna apa-apa kepada siswa jika isi mata pelajaran yang disampaikan tidak dapat dijalankan (terpisah) dari kehidupan mereka sehari-hari. Sementara yang terjadi saat ini siswa hanya disuguhi ‘pepesan kosong’ karena apa yang sudah diterima di sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupannya di rumah, di keluarga, dan di lingkungannya.

Kondisi di Lapangan

          Apa yang selama ini terjadi dalam pembelajaran, seperti untuk apa anak belajar matematika, kimia, fisika, atau agama? Guru dituntut untuk dapat menjabarkannya. Untuk apa anak harus menghapal rumus-rumus matematika yang rumit, sementara di kehidupan mereka yang dibutuhkan hanyalah rumus sederhana seputar penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian?

          Untuk apa pula anak harus ke laboratorium kimia, fisika, biologi, jika di kehidupan nyata mereka semua hasil praktikumnya itu tidak dipakai? Pengejawantahan materi ajar berat, tetapi guru harus dapat merealisasikan.

          Sejawat guru harus dapat memberikan pemahaman konkrit kepada siswa, bahwa yang sedang dipelajari di sekolah itu adalah sesuatu yang sangat berguna di kehidupan sehari-hari. Guru dituntut harus dapat mencocokkan satu materi dengan kehidupan nyata yang ada di sekitar anak didiknya tumbuh dan berkembang.

          Misalnya dalam mata pelajaran agama, tidak hanya berpotensi membuat anak menganggap belajar agama itu tidak penting. Tetapi sekaligus juga sebaliknya, berpotensi menjadikan anak-anak salah memahami ajaran agama. Contohnya, ketika siswa belajar tentang fikih jual beli, guru dituntut juga menyampaikan fenomena transaksi non tunai yang sekarang sedang terjadi di masyarakat.

          Jika yang disampaikan hanya sekadar pemahaman seperti apa yang ada dalam buku, bahwa alat tukar yang bisa dipakai adalah uang atau barang. Maka siswa akan berpikir, kok yang dipelajari di sekolah berbeda dengan kehidupan di masyarakat. Lalu untuk apa belajar fikih jual beli?

          Demikian pula ketika siswa belajar materi PJOK, guru dituntut mampu menerangkan materi ini secara nyata. Tidak saja tentang teori semata namun diharapkan siswa dapat menjaga kebugaran diri melalui pembelajaran yang disampaikan kepada siswa.

          Mengejawantahkan mata pelajaran dalam konteks di kehidupan nyata berat, bahkan sangat berat. Seorang guru yang sumber referensinya hanya terbatas pada buku ajar saja, dipastikan tidak akan dapat merealisasikan konten mata pelajaran.

Perlu Terobosan Baru

          Pengejawantahan materi ajar setidaknya membutuhkan dua hal mendasar. Yaitu penguasaan bahan bacaan yang luas, dan hati yang terbuka terhadap segala macam bentuk perubahan. Penguasaan referensi yang banyak dan terbarukan, pengalaman belajar dengan lingkungan yang komplet akan membawa guru pada kemampuan memotret persoalan secara lebih makro.

          Membandingkan teori, pola dan konteks peristiwa, serta menganalisa perkembangan zaman juga harus mendapat porsi seimbang. Sementara keterbukaan hati diharapkan membawa guru pada kemampuan berpikir untuk menerima segala perubahan, dan perkembangan teknologi yang mengiringinya.

          Tentu, pengejawantahan mata pelajaran ini tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru. Guru harus mendapat dukungan berbagai pihak. Mulai dari lingkungan belajar siswa (sekolah), keterlibatan wali murid, lembaga pengembangan kompetensi terkait, serta kebijakan pemerintah.

          Dalam konteks lebih luas, realisasi kegiatan harus ditempatkan sebagai kebutuhan bersama, kebutuhan untuk membantu anak-anak berpikir integral, bahwa antara yang dipelajarinya di sekolah sangat berkait erat dengan kehidupannya di luar sekolah, keluarga dan lingkungannya.       Guru harus disupport, dibantu kemampuan literasinya, dibantu kesenangan membacanya, dan diperluas kesempatan mengembangkan kompetensinya. Lembaga-lembaga pelatihan yang dimiliki kementerian, terutama Kemendikbudristek dan Kemenag harus menyediakan ruang untuk membantu guru meningkatkan kemampuan mengaktualisasikan konten mata pelajaran.

          Selanjutnya, guru didorong untuk memiliki kemampuan mengakses pengetahuan secara mandiri. Demikian juga dengan anak-anak dan para orang tua (wali murid), mereka harus dijauhkan dari cara berpikir instan tentang pendidikan.

          Cara berpikir bahwa segala pengetahuan itu mudah didapat karena ada Google, YouTube dan kemudahan teknologi lainnya. Sekali lagi ini harus dihilangkan, karena pendidikan itu bukan sekadar pengetahuan, bukan sekadar transfer knowledge, tapi pendidikan adalah sebuah proses dari penanaman nilai, nilai untuk membentuk karakter.

          Pada posisi inilah pengejawantahan konten mata pelajaran akan menemukan relevansinya. Guru dituntut membiasakan diri menjelaskan isi mata pelajaran dengan konteks kekinian, kondisi di mana anak-anak sekarang berkembang. Materi pelajaran tidak akan memberikan pengaruh apapun kepada anak jika mereka menganggap isi pelajaran tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-harinya.

          Konsep merdeka belajar yang digagas Kemendikbudristek telah memberikan ruang yang seluas-luasnya pada model pembelajaran yang mem’bumi.’ Yaitu membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dan mengaitkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari. Meskipun ini bukan perkara mudah, karena proses pembelajaran belum sepenuhnya bertumpu pada anak. Posisi guru sebagai pendamping dalam proses pembelajaran masih sangat kuat. Karenanya kita semua tidak ingin jika sekolah hanya akan dianggap sebagai aktivitas rutin yang harus dijalani dalam kehidupan sehari-hari mereka.

          Para pengelola lembaga pendidikan, pengambil kebijakan pendidikan di pemerintah harus terus menerus berijtihad, bahwa apa yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, saling kait mengait dengan kehidupan sehari-hari. Dan itu hanya dapat terlaksana dengan baik, melalui pengejawantahan mata pelajaran dalam kehidupan nyata, tidak yang lain. Semoga.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img