spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

Menggadai Asa Tapera

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh:
Diego W. Anggara
Pengajar Sosiologi SMAK St. Albertus Malang


          Sejak 27 Mei 2024 lalu, masyarakat seolah dibuat tidak tenang. Di sela-sela konferensi pers setelah pelantikan pengurus Gerakan Pemuda Ansor di Istora Senayan Jakarta Pusat, Presiden Joko Widodo mengumumkan telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan PP Nomor 25 Tahun 2020 mengenai Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).           Peraturan ini mewajibkan masyarakat terutama pekerja, baik ASN maupun swasta, untuk ‘menabung’ sebesar 3 persen setiap bulannya. Secara lebih rinci, peraturan ini mewajibkan pekerja untuk membayarkan iuran perumahan rakyat sebesar 2,5 persen dari upah dan 0,5 persen dibayarkan oleh pemberi kerja. Aturan ini telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Mei lalu.

          Tak pelak pengumuman tersebut langsung menimbulkan polemik. Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menerangkan bahwa BP Tapera dibentuk berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.

          Tujuannya menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau bagi peserta, serta memiliki fungsi untuk melindungi kepentingan peserta.

          Penolakan muncul dari berbagai pihak, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat mengatakan, kebijakan yang mewajibkan pekerja membayar iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) 2,5 persen per bulan lebih banyak merugikan dari manfaatnya.

          Sejalan dengan KSPSI, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) juga menyampaikan penolakan. Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani dalam keterangan resmi di Jakarta menilai Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja/ buruh.

          Kegaduhan ini jelas menimbulkan kegelisahan bagi masyarakat. Di tengah sulitnya situasi ekonomi saat ini, sempitnya lowongan pekerjaan dan rendahnya daya beli kebutuhan pokok, kabar tentang pemotongan gaji jelas menjadi kabar yang tidak mengenakkan. Lepas dari peruntukan ideal tentang apa yang hendak dicapai melalui Tapera, penyelenggaraan Tapera memunculkan beberapa pertanyaan yang sulit dimengerti masyarakat.

          Jumhur Hidayat mengingatkan tentang Asabri dan Jiwasraya yang merugi hingga puluhan triliun. Meskipun Tapera diyakini akan meningkatkan akuntabilitas badan pengelolanya, tidak ada jaminan bahwa dana yang terkumpul dalam Tapera tidak akan disalahgunakan. Tingkat kepercayaan masyarakat untuk pengelolaan dana yang dihimpun dari masyarakat menurun drastis sejak kasus Asabri dan Jiwasraya.

          Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono memastikan bahwa peserta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), tidak akan kehilangan uang yang telah dipotong dari gaji itu. Terhadap hal ini sejumlah ahli ekonomi dan investasi juga menyampaikan keraguan mereka.

          Ekonom Segara Research Institute Piter Abdullah menilai program Tapera memiliki manfaat yang minim sehingga yang menonjol di masyarakat seolah-olah hanya bebannya yang berupa potongan gaji untuk iuran. Artinya jumlah tabungan yang terkumpul tidak menjamin daya beli masyarakat karena peningkatan nilai properti dan inflasi. Di saat yang sama, pekerja tidak melihat manfaat dari iuran Tapera ini karena nilai tabungan yang dihasilkan terlampau kecil meskipun dalam jangka yang panjang.

          Menyamakan Tapera dengan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan juga tidak terasa tepat. BPJS Kesehatan menjadi jaminan kesehatan nasional yang memberikan akses layanan kesehatan yang komprehensif kepada seluruh penduduk Indonesia. BPJS Ketenagakerjaan adalah program yang memberikan perlindungan sosial kepada pekerja melalui jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.           Konsultan Properti Anton Sitorus menyatakan upaya pembiayaan rumah rakyat ini memiliki indikasi tumpang tindih dengan manfaat BPJS Ketenagakerjaan melalui Jaminan Hari Tua (JHT) karena manfaat dari BPJS bisa untuk subsidi kredit pemilikan rumah (KPR).

          Senada dengan pernyataan ketua Apindo, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno mengusulkan skema lain agar pekerja tetap dapat memiliki rumah. Salah satunya dengan memaksimalkan fasilitas BPJS Ketenagakerjaan. Mereka menganggap upaya mewajibkan masyarakat untuk menabung 3 persen per bulan dianggap terlalu memberatkan.

          Polemik ini tampaknya tak diindahkan oleh pihak istana. Sehingga sejumlah tokoh di DPR telah menyampaikan pendapat dan rencana mereka. Ketua Komisi V DPR menilai dikeluarkannya PP itu masih belum mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar menyatakan DPR berencana memanggil sejumlah pihak terkait polemik iuran tapera. Semoga pernyataan dan rencana tersebut tidak sekadar menjadi gimmick politik mengingat aturan tersebut sebenarnya telah disepakati bersama oleh Pemerintah dan DPR menjadi RUU pada 2015.

          Tapera dinilai terlalu terburu-buru. Beban ganda yang harus ditanggung pekerja dan pemberi kerja seolah tidak diperhatikan. Belum lepas dari ingatan tentang Omnibus Law, suatu kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan para pemangku kepentingannya, bahkan terkesan menutup telinga atas suara penolakan dari rakyat, kebijakan Tapera seolah memberi nuansa yang sama. Semoga suara penolakan ini tak memelan dan menjadi lirih karena suara-suara pemengaruh di media sosial.

          Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk membatalkan PP Tapera sebelum wajib diberlakukan pada 2027 nanti. Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan Pemerintah Presiden Joko Widodo masih bisa membatalkan kewajiban itu dengan menerbitkan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Langkah lain adalah dengan melakukan Judicial Review. Apindo sudah memastikan akan melakukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pembatalan ini akan menghindarkan citra seolah pemerintah akan melakukan perampokan secara legal terhadap masyarakatnya.

          Apalagi karena peraturan ini terbit di akhir masa kekuasaan Pemerintah Presiden Joko Widodo, kesan bagi-bagi kekuasaan dan bancakan iuran masyarakat semakin menghantui. Seperti uang parker Rp 2.000 memang tak akan membuat kita menjadi miskin. Tapi hati juga akan lebih ikhlas memberi jika terdapat transparansi dan diiringi pelayanan yang mumpuni.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img