Malang Posco Media – Publik dibikin heboh dengan pernyataan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarno Putri saat pidato Rakernas PDI-P di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis, (23/6/2022). Video pidato Megawati viral lewat laman YouTube dan beragam platform media sosial (medsos). Pernyataan sang politisi yang bernada guyonan itu dianggap ada yang menggorengnya hingga menjadi isu seksi yang menggelinding semakin membesar.
Dalam pidatonya, Megawati menyampaikan salah satunya tentang calon menantu tukang bakso. Guyonan yang dilontarkan Ibu Ketum partai, Ketua Dewan Pengarah BRIN, dan punya 11 gelar doktor-profesor kehormatan itu menuai gelak tawa hadirin. Di lini maya, pernyataan petinggi partai ini menuai komentar pro dan kontra dari para netizen. Aneka komentar semakin gaduh karena situasi politik jelang 2024 aromanya sudah semakin terasa saat ini.
Di era keterbukaan media saat ini, isu apapun memang bisa jadi perbincangan yang viral. Peristiwa biasa-biasa saja bisa jadi luar biasa. Termasuk urusan guyonan, bisa menjadi masalah yang serius. Semua tergantung pada siapa, kapan, di mana, dan dalam konteks apa pesan atau pernyataan itu disampaikan. Sebuah maksud guyonan bisa saja jadi bermakna lain jika dilakukan tidak dalam teks dan konteks yang tepat.
Lewat beragam platform medsos para netizen memang bisa berkomentar apa saja. Hingga ada ungkapan bahwa maha benar warganet dengan segala ucapannya. Warga +62 di medsos adalah khalayak yang sangat terbuka. Siapa saja memang sah untuk berkomentar, menyampaikan pendapat dan pandangannya. Termasuk sangat mungkin ada warganet menggoreng suatu peristiwa tertentu menjadi isu yang sensitif, membesar, dan viral.
Blunder Komunikasi Politisi
Melempar humor atau guyonan memang tak gampang. Apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang lucu belum tentu bermakna demikian di benak orang lain. Apalagi kalau orang yang menilai humor atau guyonan kita itu berseberangan secara ideologi, politik, dan beragam perbedaan latar belakang. Bisa jadi guyonan sang politisi justru mungkin dikonstruksikan oleh orang lain sebagai sebuah tragedi.
Humor memang sesuatu yang kompleks. Menafsir sebuah guyonan sungguh tak mudah. Di dalamnya memerlukan pemahanan yang utuh bagaimana sebuah peristiwa humor itu terjadi. Situasinya akan semakin rumit ketika sang pembawa guyonan adalah seorang figur publik atau politisi ternama. Bisa jadi sesuatu yang diniatkan guyonan oleh sang politisi justru menjadi blunder dan menjadi amunisi pihak lawan untuk menyerang.
Blunder adalah kesalahan bodoh atau ceroboh. Blunder didefinisikan sebagai a stupid or careless mistake. Ungkapan ini biasa diberikan kepada seseorang yang berperilaku atau mengeluarkan kata-kata tanpa berpikir panjang. Alhasil, mereka bakal menerima akibatnya dengan mendapat cap sebagai blunder. Tak hanya itu, situasinya pun bisa menjadi runyam dengan salah ungkapan tersebut. Blunder juga bisa merusak citra baik orang yang melakukannya.
Dalam politik tak bisa sebuah ungkapan dianggap hanya sebagai humor atau guyonan belaka. Karena sang penyampai pesan (komunikator) adalah orang yang punya kekuasaan, ketenaran, dan pengaruh. Artinya, kredibilitas sang penyampai pesan dalam kapasitasnya yang tepat harus memahami kapan sebuah guyonan itu disampaikan. Pesan yang dianggap sebagai guyonan bisa jadi justru bermakna sebagai hal yang serius.
Mengutip Dan Nimmo (2005) dalam komunikasi politik sangat penting memperhatikan lima unsur komunikasi politik yakni komunikator, pesan, media, komunikan, dan umpan balik (feedback). Bagi seorang politisi perlu mempertimbangkan dengan baik apa saja pesan yang disampaikan, menggunakan media apa, siapa khalayak sasaran pesan, dan umpan balik yang diharapkan. Pemahaman atas semua unsur komunikasi ini menjadi penting dalam proses komunikasi politik.
Blunder komunikasi politik tak jarang dilakukan politisi tanah air. Presiden Joko Widodo juga pernah beberapa kali mengucapkan sesuatu yang jadi blunder. Misalnya Jokowi pernah menyebut bipang Ambawang dan mengatakan Padang sebagai provinsi yang bikin heboh masyarakat. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang membandingkan suara adzan dengan gonggongan anjing juga jadi blunder.
Perang Narasi
Jangankan pesan-pesan guyonan, beragam pesan yang serius pun akan bisa digoreng menjadi sesuatu yang tak serius dan tak bermakna. Ini semua bisa terjadi karena dalam memahami pesan akan sangat tergantung pada siapa kubu yang memaknai pesan dan siapa pula yang melempar pesan. Bahkan untuk tertawa saja, kita sering terbelah. Siapa yang melontar cadaan itu. Itu bagian dari kelompok kita atau lawan politik.
Di medsos perang narasi terus terjadi. Pada narasi politik misalnya. Pesan komunikasi akan sangat mungkin menjadi senjata bagi yang menyampaikan maupun jadi amunisi untuk menyerang bagi pihak lawan. Maka, peristiwa goreng menggoreng isu saat ini menjadi hal yang biasa. Untuk itu tak perlu kaget. Justru yang penting adalah bagaimana kita mampu berpikir kritis terhadap semua peristiwa yang sedang terjadi.
Hanya nalar logika yang sehat dan waras yang akan menyelamatkan kita dari arus yang memungkinkan membawa kita pada arus yang tenang atau pada pusaran yang gaduh dan keruh. Tanpa kemampuan literasi media dan literasi politik yang cukup kita bisa terseret pada arus keliru yang debitnya cukup deras di medsos. Padahal yang viral dan deras di medsos itu belum tentu itu yang benar dan patut digugu.
Tahun politik menuju kontestasi pemilu 2024 sudah mulai terasa saat ini. Perang narasi politik akan sangat terasa. Narasi yang benar dan sehat dan narasi keliru dan ngawur akan bercampur dan tersaji dihadapan kita, terutama di medsos. Untuk itu kita perlu siapkan pisau analisis yang tajam guna membedah mana informasi yang benar dan yang keliru. Kita harus mampu memilah mana pesan yang benar dan tulus, dan mana pula pesan hasil gorengan dan rekayasa.
Di era yang disebut Alvin Tovler sebagai banjir informasi (information overload) saat ini, semua pejabat publik dan politisi perlu berhati-hati dalam berkomunikasi. Terutama bagi politisi, menjadi penting memperhatikan semua unsur komunikasi. Di tahun politik ini tak selalu pesan baik bersambut dengan respon yang baik pula. Tak mesti sebuah guyonan bisa memanen tawa. Yang sering justru komedi bisa berujung tragedi. Berhati-hatilah, ini tahun Politik. (*)