Aksi mandi lumpur berjam-jam yang ditayangkan langsung di platform media sosial (medsos) TikTok sedang menjadi tren di kalangan warganet. Ironisnya, aksi nekat ini banyak dilakukan oleh orang tua hingga lansia. Lewat aksi ini mereka mendapat sejumlah koin TikTok dari para penontonnya yang dapat ditukarkan dengan uang tunai. Dalam sekali live, para pengemis online ini bisa meraup uang hingga jutaan rupiah.
Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini akhirnya buka suara terkait maraknya orang mengemis lewat TikTok ini. Para ibu yang mengemis online ini kebanyakan atas permintaan anaknya. Menurut Risma, pelaku yang membuat orang tuanya mandi lumpur demi mendapat uang dari siaran langsung di medsos bisa dipenjara. Perbuatan tersebut masuk kategori mengeksploitasi orang tua.
Seperti diberitakan sejumlah media, serius menanggapi tren mengemis lewat medsos ini, Risma berkirim surat ke pemda terkait. Risma menyatakan bahwa perbuatan mengemis sejatinya tak diperbolehkan lewat platform apapun. Aksi mengemis di jalanan kini berpindah ke ruang maya. Aksi mengemis yang terus bermunculan dan menjadi tren di TikTok harus dihentikan karena hal ini merupakan bentuk eksploitasi pada orang tua dan kemiskinan.
Para orang tua yang mengiba dengan mandi lumpur dari pagi hingga malam itu telah menjadi tontonan warganet. Aksi menahan dingin dan kotor lumpur menjadi hiburan menarik bagi para pemirsa TikTok. Dalam kaitan ini digitalisasi telah menciptakan hiburan dengan mengeksploitasi kemiskinan. Penonton memang ada yang lantas bersimpati dengan memberi gift. Namun hadiah itu diberikan setelah mereka puas menyaksikan para pengemis online itu mengalami pesakitan.
Berburu Popularitas dan Cuan
Selama ini medsos banyak digunakan warganet untuk berburu popularitas dan uang (cuan). Tak sedikit orang membuat aneka konten dan mengunggah serta memviralkannya di medsos demi mendapat perhatian, simpati, popularitas, dan monetisasi. Menjamurnya pembuat konten (content creator) tak semuanya mampu menyajikan unggahan yang kreatif dan berkualitas. Banyak di antara pemburu cuan medsos yang hanya membuat sensasi dan kontroversi.
Penetrasi aneka platform media digital di Indonesia terbilang sangat tinggi. Menurut laporan firma riset data.ai bertajuk State of Mobile 2023, Indonesia menempati posisi pertama masyarakatnya kecanduan scrolling smartphone. Masyarakat RI menghabiskan waktu rata-rata 5,7 jam setiap harinya di jaringan seluler. Tak hanya Indonesia, Brasil, Arab Saudi, Singapura, dan Korea Selatan juga melampaui 5 jam per hari.
Dikutip dari Dataindonesia.idterbaru, Indonesia menempati urutan kedua dunia dengan jumlah pengguna aktif TikTok sebesar 99,1 juta orang. Pengguna medsos Indonesia rata-rata menghabiskan waktu bermain TikTok selama 23,1 jam per bulan. Jumlah waktu itu belum termasuk untuk mengakses Instagram, YouTube, Twitter, Facebook, WhatsApp, dan aneka laman medsos lain.
Saat ini TikTok menjadi media yang sangat populer dan menggeser platform media yang lain. Penggunanya beragam, mulai golongan remaja, tua, hingga lansia. Bahkan tak sedikit anak-anak kecil yang sudah punya akun TikTok. TikTok mewadahi banyak keperluan penggunannya. Orang mengunakan TikTok ada yang untuk urusan serius, namun tak jarang yang hanya sebagai sarana narsis dan ikut-ikutan tren.
Para kreator TikTok biasanya mengunggah dan memviralkan kontennya lewat YouTube, Instagram, Facebook, dan WhatsApp. Banyak penonton yang menyukai video seseorang dengan memberi Like dan menjadi penggemar yang setia menunggu munculnya video selanjutnya. Dalam situasi inilah sang “artis” TikTok memperoleh kepuasan. Mereka yang semula bukan siapa-siapa tiba-tiba terkenal, populer dan banyak penggemar.
Popularitas yang dibangun melalui TikTok terbukti mampu mendatangkan cuan yang besar. Apakah dengan mengunggah konten-konten yang kreatif dan edukatif, ataupun aneka konten yang sensasional dan kontroversial. Beragam cara telah ditempuh para kreator konten TikTok, termasuk dengan aksi mengemis, agar kontennya viral, mendapat banyak simpati dan monetisasi hingga ujung-ujungnya panen banyak cuan.
Eksploitasi Kemiskinan dan Simpati
Cara mengemis lewat laman TikTok tergolong cara baru. Kalau selama ini banyak pengemis beraksi di lampu merah atau tempat-tempat publik yang lain, kini mereka go online dengan target massa yang lebih luas. Cara ini memang terbilang terobosan baru, namun cukup disayangkan karena konten yang dimunculkan bukanlah konten-konten yang kreatif dan inovatif, namun justru hanya aksi meminta-minta.
Aksi mengemis ini termasuk eksploitasi kemiskinan. Ada yang benar-benar orang miskin dan melakukan aksi meminta-minta. Namun bisa jadi sang pengemis online itu hanya berpura-pura demi mendapat simpati dari warganet. Tak ada yang bisa memastikan aksi pengemis benar-benar orang yang tak mampu atau hanya berpura-pura. Jadi tren mengemis di TikTok ini bisa termasuk eksploitasi kemiskinan dan eksploitasi rasa simpati warganet.
Seperti diketahui bahwa warganet di Indonesia tergolong orang-orang yang dermawan. Lihat saja beragam donasi yang digelar online selama ini. Apakah penggalangan dana untuk korban bencana alam, musibah, atau permintaan dana secara personal dari orang-orang tertentu. Pencarian dana yang dimoderasi oleh sejumlah platform medsos terbukti sangat efektif. Hasil dari aksi penggalangan dana online selalu berlimpah dan terkumpul dalam waktu yang tak lama.
Aksi mengemis di TikTok sebenarnya setali tiga uang dengan para peminta-minta Like dan subscribe di laman medsos yang lain seperti YouTube atau Instagram. Di medsos sejatinya aksi mengemis sudah menjadi hal yang lumrah. Tak sedikit kreator konten yang mengemis perhatian hingga berharap dapat jempol dan kontennya viral. Para pengemis dunia maya, seperti halnya di alam nyata sesungguhnya merupakan perilaku tak mendidik.
Revolusi industri 4.0 telah melahirkan tren mengemis online. Aksi meminta-minta baik di alam nyata maupun maya sejatinya sama yakni dengan manajemen kesan atau impresi. Para pengemis biasanya melakukan pengelolaan penampilan lewat pakaian, kekurangan fisik, dan beragam cara lain agar menimbulkan rasa iba dan merangsang peduli dari orang lain.
Di dunia nyata, akan lebih gampang terlihat seorang pura-pura miskin atau memang benar-benar miskin. Sementara di ruang maya, antara kesan dan realitas tak selamanya sama.
Untuk menghentikan aksi mengemis di medsos agar tak semakin meluas maka perlu langkah tegas dengan tidak menonton maupun memberikan sumbangan. Dengan begitu diharapkan fenomena ini akan berangsur-angsur menurun karena monetisasi dari jumlah penonton dan uang saweran tak lagi mengalir. Bersimpati dengan memberi pada pengemis TikTok itu tak mendidik dan hanya menciptakan ketergantungan.(*)