Reformasi yang bergulir pada Mei 1998 kini genap berusia 26 tahun. Demokrasi yang lahir sebagai produk gejolak rakyat atas otoritarianisme Orde Baru di masa itu seharusnya telah tumbuh dan berkembang menjadi the way of life kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun hingga lebih dari seperempat abad, faktanya tidaklah demikian. Yang terjadi seolah menunjukkan prospek kemunduran.
Dimulai dari rangkaian Pemilihan Umum 2024, khususnya pemilihan presiden (pilpres), demokrasi di Indonesia disebut mengalami kemunduran. Hal itu terutama ketika Presiden Joko Widodo mengizinkan putranya Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Sebagaimana diketahui, partisipasi Gibran dalam kontestasi Pilpres melalui proses problematik penuh polemik pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat itu diketuai oleh Anwar Usman, adik ipar Jokowi yang sekaligus paman Gibran.
Lebih dari itu, dalam masa menjelang Pilpres, Jokowi menjadi sorotan karena menunjukkan sinyal keberpihakan pada salah satu pasangan capres-cawapres, meskipun kemudian putusan MK pada sengketa hasil Pilpres memutuskan bahwa presiden tidak terbukti melakukan cawe-cawe atau intervensi kekuasaan.
Namun berbagai tindakan dan kebijakan pemerintah di sepanjang rangkaian Pemilu lalu telah dan terus menjadi sorotan publik dan dipandang mencoreng masa depan demokrasi Indonesia.
Setelah gelaran pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada Februari lalu, saat ini perhatian publik tertuju pada agenda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak pada November mendatang. Berbagai akrobatik politik yang terjadi banyak disorot sebagai kemunduran praktik demokratisasi Indonesia.
Misalnya, eksistensi politik dinasti di sejumlah daerah, kembalinya mantan narapidana korupsi yang mencalonkan diri, mahar politik partai politik, kongkalikong partai politik untuk mengamankan kekuasaan, dan lainnya.
Seirama dengan itu, perhatian publik juga tertuju pada upaya pemerintah dan DPR yang diam-diam membahas revisi Undang-Undang MK serta komposisi panitia seleksi (pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai sarat dengan kekuasaan.
Dua hal itu dalam hari-hari terakhir ini menjadi sorotan sejumlah pihak karena ditengarai sebagai upaya melemahkan MK dan KPK, sebagai dua institusi yang merupakan anak kandung Reformasi.
Anak Kandung Reformasi
Disebut sebagai anak kandung Reformasi karena dua lembaga tersebut, selain berbagai lembaga lain, dibentuk sebagai penopang tegaknya implementasi nilai-nilai dan terjaganya prinsip-prinsip demokrasi. Pembentukannya merupakan bagian dari tahapan instalasi (installation) dalam demokratisasi.
Secara konseptual, demokratisasi melibatkan sejumlah tahapan, di mana setelah tumbangnya pemerintahan otoriter dan terjadinya transisi pemerintahan, tahapan selanjutnya adalah instalasi (pemasangan, pembentukan, pendirian) lembaga-lembaga penopang demokrasi. Di fase inilah, MK dan KPK lahir.
MK merupakan lembaga peradilan konstitusi dan karena itu disebut sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitusion). MK dibentuk melalui UU Nomor 24 Tahun 2003. Saat ini, pemerintah dan DPR tengah membahas pengesahan revisi keempat UU tersebut. Jika benar-benar disahkan, artinya dalam 21 tahun, UU MK tersebut telah mengalami revisi sebanyak empat kali.
Salah satu yang disorot dalam poin revisi adalah soal masa jabatan hakim konstitusi. Semula maksimal 15 tahun atau hingga berumur 70 tahun diubah menjadi 5 tahun dan perpanjangan masa jabatannya dikembalikan ke lembaga pengusul, yaitu pemerintah, DPR, atau Mahkamah Agung.
Sejumlah pihak menilai bahwa revisi tersebut salah satunya bertujuan untuk menyingkirkan hakim tertentu, terutama mereka yang seringkali berposisi dissenting opinion pada sejumlah perkara yang berkaitan dengan kekuasaan.
Hal ini dipandang sebagai upaya melemahkan MK, apalagi revisi tersebut dibahas secara senyap di masa reses dan bukan merupakan agenda prioritas. Apakah revisi UU MK adalah sesuatu yang mendesak? Mengingat saat ini, MK tengah menyidangkan ratusan gugatan sengketa hasil pemilu legislatif.
Sementara itu, KPK sebagai lembaga yang diberi mandat dalam agenda pemberantasan korupsi dibentuk pada tahun 2002 melalui UU Nomor 30 Tahun 2002. UU ini juga telah mengalami perubahan sebanyak empat kali. Namun yang kini disorot adalah pembentukan pansel calon pimpinan KPK yang terdiri dari 9 orang, dengan 4 dari unsur masyarakat dan 5 dari unsur pemerintah.
Komposisi unsur pemerintah yang lebih banyak menjadi sorotan karena ditengarai untuk mewadahi kepentingan kekuasaan. Karena itu, alih-alih menjadi momentum untuk menyelamatkan citra KPK yang saat ini kian terpuruk, yang dikhawatirkan justru akan menjadikan KPK sebagai lembaga yang seharusnya independen menjadi kepanjangan tangan kekuasaan.
Civil Society
Dua lembaga yang saat ini menjadi sorotan tersebut pada akhirnya membutuhkan dukungan masyarakat sipil (civil society), baik dalam bentuk organisasi/ lembaga maupun dalam bentuk gerakan. Kehadiran masyarakat sipil harus menjadi elemen kritis yang terus mengawal dan mengawasi proses politik revisi UU MK dan pansel KPK.
Untuk memastikan bahwa MK dan KPK sebagai anak kandung reformasi terus terjaga marwahnya, menjadi kuat, independen dari kekuasaan, dan menopang tegaknya demokrasi.
Jangan sampai kita lengah hingga MK dan KPK secara perlahan terus dilemahkan oleh koalisi kepentingan politik pemerintah (eksekutif) dan legislatif. Kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga anak kandung Reformasi demi tegaknya nilai-nilai esensial demokrasi yang telah dipilih sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara 26 tahun lalu. Semoga.(*)