Ibadah haji adalah salah satu bentuk ibadah yang memiliki sisi ritual dan sosial sekaligus. Sisi ritual haji berupa syarat dan rukun yang wajib dilaksanakan oleh setiap jamaah haji sebagaimana yang diatur secara jelas dalam Alquran.
Syarat dan rukun dalam ibadah haji tidak semata-mata menjaga koneksi secara vertikal dengan Allah, justru yang tak kalah penting adalah menangkap makna sosial haji sebagai pelajaran untuk membangun kepribadian atau moralitas pergaulan antara sesama manusia.
Karena itu, menemukan sisi sosial dalam ibadah haji menjadi suatu keniscayaan bagi setiap muslim umumnya dan para jamaah haji khususnya. Bagaimanapun, ibadah haji juga termasuk bentuk ibadah sosial, yaitu bagaimana para jamaah haji memiliki pengetahuan dan pemahaman mengaplikasikan pesan-pesan sosial yang ada dalam pelaksanaan ibadah haji ke dalam konteks kehidupan masyarakat.
Menurut Ali Syariati, seorang pemikir, intelektual, dan tokoh gerakan Islam dari Iran, Ibadah haji merupakan salah satu pilar doktrin Islam yang mampu memotivasi umat Islam dan menjadikan pemeluknya sadar, bebas, terhormat, dan bertanggungjawab secara sosial.
Ibadah haji tidak cukup dengan pelaksanaan syarat dan rukunnya saja. Siapa pun yang melaksanakan ibadah haji senyatanya memelihara ucapan agar tidak mudah menimbulkan fitnah yang mengakibatkan orang lain tersinggung. “Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan ini akan mengerjakan haji maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah: 197).
Siapa pun yang berhaji setidaknya memahami dan mampu mengambil hikmah dari tiga peristiwa sejarah seputar ibadah haji. Pertama, pada bulan haji ini, secara serentak umat Islam dianjurkan melaksanakan shalat sunnah Idul Adha.
Kebersamaan itu melambangkan adanya pelajaran bagi umat Islam, baik yang melaksanakan ibadah haji maupun yang belum agar selalu menjalin dan menjaga persatuan dan kesatuan di antara sesama manusia.
Kedua, pada bulan haji ini setiap muslim yang mampu melakukan penyembelihan hewan (kurban). Hal ini menandakan kesediaan setiap pelaku ibadah haji untuk berusaha membuang sifat-sifat kebinatangan yang hanya mengedepankan nafsu emosional dan serakah tanpa mengenal aturan yang berlaku baik secara sosial maupun agama.
Ketiga, pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci dihadiri oleh umat manusia dari penjuru dunia yang memiliki budaya, karakter, warna kulit, mazhab pemikiran yang berbeda. Mereka seluruhnya bisa bersatu dalam suasana keakraban tanpa mempersoalkan asal usul, warna kulit budaya maupun mazhab keberagamaan. Ibadah haji menuntut pelakunya untuk berusaha menumbuhkan mentalitas pluralistik yang otentik.
Kenyataannya, ibadah haji terkadang dipahami hanya sebatas ibadah ritual daripada ibadah sosial. Artinya, predikat haji bagi seseorang hanya dilihat dari kemampuan berangkat dan datang kembali ke Tanah Air dengan disertai cerita-cerita menkjubkan selama berada di Makkah-Madinah.
Predikat haji yang diperoleh mestinya bukan untuk sarana kebanggaan, melainkan sebagai sarana agar saling menghormati dan berempati terhadap sesama.
Tak dapat dimungkiri, ibadah haji mengandung lebih banyak sisi sosial dari pada dimensi ritualnya. Dimensi sosial haji dapat dihayati dari serangkaian kegiatan yang dilakukan selama ibadah haji berlangsung. Bahkan jika ditelisik lebih jauh, segala prosesi ritual yang berkaitan dengan ibadah haji, di sana-sini terselip nuansa sosial yang sangat kental.
Nabi Ibrahim sebagai pencetus awal ibadah haji, sejak awal begitu tulus mengorbankan anaknya, Ismail, demi pembuktian cinta kepada Tuhannya. Lantas Allah membalas ketulusan Nabi Ibrahim dengan domba yang selanjutnya menjadi tradisi bagi umat Islam hingga kini.
Pakaian ihram jamaah haji yang hadir di Tanah Suci adalah simbol kesejajaran umat manusia di hadapan Sang Khaliq. Rasa kesetaraan tersebut dapat dijadikan modal sosial yang sangat penting untuk menciptakan kepedulian atas penderitaan sesama. Pelaksana haji akan lebih memiliki sikap rela berkorban untuk saudara-saudaranya yang lebih membutuhkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada September 2021 sebesar 26,50 juta orang. Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memprediksikan tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81 persen atau setara 29,3 juta penduduk.
Hal tersebut terpicu oleh melemahnya anggaran perlindungan sosial yang membuat semakin banyak penduduk miskin yang tidak terlindungi secara ekonomi, padahal beban krisis dan pandemi belum berakhir.
Kondisi yang memprihatinkan tersebut diperparah daerah-daerah yang terkena bencana alam, Beberapa musibah belakangan menimpa sebagian warga sebangsa dan setanah air. Terhitung sejak 1 Januari hingga 14 Mei 2022, sebanyak 1.509 kejadian bencana alam terjadi di Indonesia berupa tanah longsor, kebakaran hutan, gelombang pasang, dan kekeringan.
Serangkaian bencana itu telah menyebabkan banyak korban meninggal dunia, luka-luka, menderita dan ada yang harus mengungsi. Hingga kini masih banyak dari mereka yang belum bisa keluar dari kesulitan hidup.
Fakta di atas semakin mempertegas betapa pentingnya menyelami sisi sosial ibadah haji. Ibadah apapun yang semata mengandalkan ritual-individual, pahalanya hanya akan terhenti kepada yang bersangkutan. Sementara masih banyak warga negeri ini hidup dalam kondisi keterbatasan.
Beribu panti jompo, panti anak yatim, pusat rehabilitasi, nasib anak-anak jalanan yang sedang menunggu ketulusan hati dan uluran tangan kaum dermawan. Ritualitas ibadah haji seseorang belum dikatakan paripurna jika tidak berimplikasi terhadap perbaikan kehidupan sosial sekitarnya.(*)