Oleh : Gus Achmad Shampton
Kepala Kemenag Kota Malang
Salah satu firman Allah yang seringkali dibaca setiap kali momen Hari Raya Idul Adha adalah surat Al-hajj ayat 34: “Wa likulli ummatin ja’alnā mansakal liyażkurusmallāhi ‘alā mā razaqahum mim bahīmatil-an’ām, fa ilāhukum ilāhuw wāḥidun fa lahū aslimụ, wa basysyiril-mukhbitīn”
Artinya; ‘’Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).’’
Kata “mansak” dalam Tafsir al-Thabari dijelaskan memiliki beberapa makna. Pertama. berarti dzabaih atau sembelihan. Allah memfirmankan ayat ini untuk menjelaskan bahwa setiap kaum mukmin pasti Allah ciptakan mansak atau sembelihan atau mengalirkan darah. Imam mujahid menjelaskan bahwa nasaka itu menjadi ungkapan bagi kata kerja menyembelih. kalimat jamak dari nask adalah nusuk. Nusuk juga bermakna taat.
Seseorang menyembelih kurban karena alasan ketaatan pada perintah Allah. Imam Al-Azhariy menterjemahkan kata mansak dalam ayat ini dengan arti tempat menyembelih. Kata mansak yang berarti tempat menyembelih disebutkan Allah untuk arti sembelihan yang dilakukan ditempat penyembelihan.
Yang kedua “mansak” atau juga bisa dibaca “mansik” berarti tempat yang biasa digunakan untuk melakukan kebaikan atau keburukan. Makna yang kedua ini memiliki makna yang lebih umum dari penjelasan yang pertama. Hal ini mengisyaratkan bahwa terkadang seseorang menyembelih kurban untuk niat yang tidak baik atau tidak tulus sebagaimana yang dilakukan oleh Qabil yang merasa berat hati ketika menyerahkan hewan kurbannya.
Yang ketiga berarti manasik haji atau tempat proses ibadah haji dilakukan karena orang-orang muslim yang menjalankan ibadah haji berlalu lalang dari Arafah untuk wukuf, ke Mina untuk lempar jumrah dan sai. Keempat, berarti madzhab atau thariqah atau cara untuk bertaat kepada Allah.
Disebutkan Nasaka naska qaumihi berarti seseorang berjalan dengan cara yang dilakukan kaumnya. Kelima, berarti ied atau hari raya sebagaimana dijelaskan oleh Imam Farra. Yang keenam berarti haji sebagaimana dinyatakan oleh Imam Qatadah.
Dari enam makna ini ulama lebih memilih arti sembelihan bagi kata mansak pada ayat 34 surat al-Hajj ini karena sesuai dengan ayat selanjutnya “liyadzkuruus-maLLahi ala maa razaqahum min bahiimatil an-aam” yaitu sembelihan dari rizki hewan yang diberikan kepada mereka.
Keenam arti bagi kata “mansak” ini memiliki keterkaitan atau kesalingan antara satu dan yang lainnya. Kurban disembelih pada saat Hari Raya Idul Adha dimana sebagian umat Islam menjalankan haji di Tanah Suci. Mereka berhaji sebagaimana cara yang diajarkan Rasulullah. “khudzu anny manasikakum”, ikutilah caraku dalam ibadah hajimu.
Di Tanah Suci, ibadah yang dilakukan karena Allah akan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah. Begitu juga sebaliknya mereka yang melakukan kemaksiatan di tanah suci akan dilipat gandakan dosanya. Karenanya mansak berarti tempat yang biasa digunakan untuk kebaikan atau keburukan.
Allah SWT memerintahkan menyembelih kurban dengan berdzikir mengingat-Nya sehingga kurban disembelih ‘untuk’ Allah sebagai pemberi rizki pada mereka yang berkurban. Allah kemudian menegaskan pada ayat selanjutnya bahwa Tuhanmu hanya satu, Ia mensyariatkan penyembelihan kurban disetiap generasi untuk menunjukkan bahwa Tuhan semua Nabi hanyalah Allah.
“falahu aslimu” Karena Allah yang menciptakan, memberi rizki dan menggerakkan hambanya untuk berkurban, maka berkurban harus berarti totalitas penyerahan diri untuk taat pada Allah, sebagaimana kepasrahan Ibrahim untuk menyembelih putranya, kepasrahan Ismail untuk disembelih dan kepasrahan Siti Hajar saat ditinggal Ibrahim di Tanah Suci Makkah hanya karena Allah.
Berbagai macam ibadah adalah media untuk mendekat pada Allah. Disetiap media yang kita jalani terkadang benar-benar bernilai “qurbah” atau mendekat pada Allah, tapi terkadang hanya nampak sebagai ibadah secara dzahir saja, hakikatnya ia tidak bernilai qurbah sama sekali dihadapan Allah. Hal ini diperingatkan Allah dalam berbagai media ibadah baik melalui hadits Nabi maupun ayat Quran.
Seperti hadits tentang puasa; betapa banyak orang yang berpuasa tetapi pahalanya hanya lapar dan haus. Nabi memperingatkan mereka yang salat; orang yang salatnya tidak menjauhkan dia dari perilaku munkar hanya akan membuatnya jauh dari Allah. Pada masalah kurban Allah juga memperingatkan melalui kisah Qabil dan Habil pada al-Maidah ayat 27.
Dari sinilah kita memahami arti penting hadits “innamal a’malu binniyat” semua amal (diterima atau tidaknya) bergantung pada niatnya. Apakah ia menyembelih untuk gengsi, atau dipaksa pimpinan, atau memburu jabatan atau memang benar-benar karena Allah. Menyembelih karena ketaatan, ketertundukan pada Allah ini akan berbuah kebahagiaan yang dijanjikan Allah pada akhir ayat 34 surat Hajj ini “wabassiril muhbitin”. Gembirakanlah orang-orang yang tawadlu’ khusyu’ tidak berbuat dzalim dari apa yang ia sembelih dengan pahala yang sangat banyak. Karenanya murnikan harta yang kau gunakan berkurban dan tatalah niatmu agar pahala besar menghampirimu. Walllahu a’lam. (*)