MALANG POSCO MEDIA – Ikon itu utama dan penting. Dalam hal apapun dan bidang apapun, ikon itu menjadi magnet yang mendorong orang untuk suka, bahkan sampai pada level setia mati. Valentino Rossi adalah ikon fenomenal di MotoGP. Legenda hidup yang mengoleksi sembilan gelar juara dunia itu juga seorang entertainer sejati.
Pasca The Doctor, julukan Valentino Rossi pensiun, MotoGP memang masih menarik. Tapi gaungnya dan pamornya sudah beda. Jutaan penggemar dan fans fanatik Rossi seolah menghilang karena sang pujaan tak lagi menggeber kuda besi darat. Mereka masih menonton dengan harapan muncul aksi heroik dan menghibur seperti yang dipertontonkan oleh Rossi.
Tapi MotoGP 2022 tak menghadirkan hiburan menarik itu sama sekali. Sudah hampir sepuluh kali gelaran MotoGP, tapi sang ikon belum muncul. Para murid jebolan VR46 juga masih belum tampil konsisten dan bersaing ketat dengan sang pemimpin klasemen Fabio Quartararo. Fransisco ‘Pecco’ Bagnaia yang mulai menunjukkan aksi Rossi pun belum mampu meyakinkan penggemar MotoGP di dunia.
Setiap gelaran, penonton hanya disuguhi ketegangan dan hiburan di detik detik awal selepas start di lap pertama. Setelah itu bila Fabio Quartararo yang di depan, tak ada lagi yang mampu mengejar. Begitu sebaliknya kalau Pecco Bagnaia yang berhasil lolos dari start, tak ada lagi yang mengejar.
Balapan jadi sangat menjemukan karena hanya melihat orang beradu di lintasan tanpa aksi saling salip, saling senggol dan saling menikung yang membangkitkan adrenalin penggemar motoGP.
Kebosanan itu pun mengalir ke sepak bola. Coba Anda amati bersama, dari liga ke liga yang berjalan. Setiap pertandingan, hampir mayoritas tim ngegass poll di menit-menit awal pertandingan. Adu cepat bikin gol sebanyak-banyaknya. Setelah membuat gol, baru menerapkan strategi bertahan. Beragam sebutannya, parkir bus, parkir pesawat, parkir kereta, parkir kapal pesiar dan parkir tank.
Sepak bola menjadi pertandingan yang tidak menarik. Sepak bola seperti kehilangan ruhnya. Padahal esensi permainan sepak bola, selain kemenangan adalah permainan cantik yang menghibur penonton. Penonton sudah membayar mahal dan menuntut haknya untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Pertandingan Borneo FC v Arema FC di Stadion Segiri Samarinda, Minggu (24/7) lalu pun seperti kehilangan pesonanya. Betapa tidak, siapa pun pasti kaget dengan gol cepat yang diceploskan Nur Hadianto ke gawang Adilson Maringa pada menit ke 2. Apalagi mantan pemain Arema itu kemudian menjebol gawang Maringa untuk kedua kalinya pada menit ke 5.
Eduardo Almeida pelatih Arema FC pun mengaku tak tahu ada apa dengan pemain Arema. Ia mengatakan pemain seperti belum hadir di awal pertandingan. Saat mereka berusaha membalikkan keadaan, kondisi sudah sulit. Sampai akhirnya Arema FC harus mengakui keunggulan Pesut Etam 3-0.
Kini siapa pun, khususnya Aremania dan publik sepak bola di tanah air merindukan ikon-ikon baru di tim sepak bola. Ikon ikon yang membuat fanatisme yang menggelorakan atmosfer sepak bola tanah air. Aremania merindukan sosok yang bisa menjadi idola.
Di jajaran pemain ada Franco Hita, Along, Ridwan, Firman Utina, Roman Chmelo, Cristian Gonzales dan terakhir Carlos Fortes. Sedangkan di jajaran pelatih ada Gusnul Yakin, Benny Dollo dan Robert Rene Albert. Meski mereka sudah tidak di Arema, tapi nama-nama mereka pasti masih terkenang di Arema dan Aremania. Mereka memberikan hiburan sekaligus prestasi untuk Arema.
Pertanyaannya sekarang, mampukah Abel Camara yang digadang gadang menjadi ikon baru Arema menggantikan Carlos Fortes mampu memberikan hiburan menarik dan prestasi bagi Arema FC? Ini yang ditunggu dan dituntut Aremania dan pecinta bola yang sangat menginginkan Arema FC menjadi juara.
Jiwa Jawara yang diusung Arema FC di Liga 1 2022/2023 ini menjadi semangat baru. Janji Presiden Arema FC Gilang Widya Pramana membawa juara untuk Liga 1 layak dinantikan. Semua pasti merindukan prestasi juara Liga 1 diusung Arema FC. Semua merindukan kebangaan itu kembali diboyong Alfarizi dkk ke bumi Arema seperti Piala Presiden 2022 lalu untuk kali ketiganya.
Sepak bola tidak seperti MotoGP. Tapi permainan bola belakangan ini mirip seperti gelaran MotoGP yang mulai menjemukan. Hanya ngegass di awal, selanjutnya datar. Tak ada aksi heroik, tak ada adu salip yang mendebarkan, tak ada ketegangan lap demi lap hingga lap terakhir. Yang ada adalah kebosanan.
Begitu juga di pertandingan sepak bola. Adu cepat bikin gol selanjutnya bertahan sampai akhir. Yang penting menang. Tak peduli penonton bosan, tak peduli penonton tidur di stadion. Padahal kalau ini dibiarkan terus, jangan salahkan, pelan tapi pasti penonton akan meninggalkan stadion.
Mereka tak mau lagi menonton. Karena yang mereka inginkan tontonan pertandingan yang menghibur, bukan tontonan yang membosankan. Merindukan hiburan dan prestasi seperti merindukan Valentino Rossi hadir kembali di lintasan MotoGP.
Karena itu, Eduardo Almeida butuh memberikan sentuhan entertainment pada pemain Arema FC. Begitu juga Dendi Santoso dkk butuh menyuguhkan entertainment di lapangan hijau yang membuat penonton jadi betah. Eduardo Almeida akan bisa menjadi ikon. Alfarizi dkk juga bisa menjadi ikon. Abel Camara, apalagi.
Saatnya membuktikan semangat Jiwa Jawara di lapangan hijau. Saatnya mengobati kerinduan Aremania dengan prestasi yang membanggakan. Aksi ‘Valentino Rossi’ layak ditiru. Boleh kalah atau tampil buruk di garis start, tapi ngotot dan fight di tengah-tengah lap dan memungkasi lap dengan juara.
Rossi tak hanya mampu menyuguhkan juara, tapi menyuguhkan aksi menarik sepanjang lintasan. Rossi rajanya menyalip di tikungan. Siapa pun lawannya, dihadapi dengan tenang dan Rossi harus jadi pemenangnya.
Begitu juga Arema FC. Start buruk tidak terlalu buruk. Asal ngotot sepanjang Liga dan memungkasi liga dengan juara. Sabarlah Almedia, Sabar lah Abel Camara! Jiwa Jawara memang lahir dari banyak tekanan.(*)