Perjalanan penulis ke Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji membawa kesan dan inspirasi tersendiri mengingat desa ini terluas se kecamatan (luas 64,83 km2 atau 50,65 persen dari luas Kecamatan Bumiaji, Kecamatan Bumiaji dalam Angka 2022). Selain itu Desa Tulungrejo termasuk desa yang berada di posisi atas di wilayah Kota Batu.
Penulis terkesan dengan desa ini karena masih asri yang mengingatkan kondisi Kota Batu ketika penulis awal bermukim di Kota Malang, tahun 1999. Wana wisata Coban Talun di desa ini menunjukkan kawasan lingkungan alamiah dimana hutan, air dan udara segar menjadi ciri menonjol.
Selain itu, berbeda dengan desa-desa lain, Desa Tulungrejo memiliki artefak peninggalan kolonial masih bisa dinikmati, seperti Goa Jepang, petilasan Van Dinger, artefak perkebunan kolonial Hindia Belanda dan Taman Rekreasi Selecta.
Tidak hanya itu, di desa ini pula kita menemukan jumlah pura terbanyak di Kota Batu. Tidak heran terdapat 258 penduduk Hindu yang hidup pada penduduk muslim yang berjumlah 9.355 (Jumlah Penduduk Menurut Desa/Kelurahan dan Agama yang Dianut di Kecamatan Bumiaji, 2019). Semakin jelaslah kontribusi desa ini untuk sebagai kawasan multikultural yang menghormati keragaman agama.
Di desa ini pula, tidak lama ini penulis menemukan inspirasi tentang pohon apel sebagai ikon Kota Batu. Kenapa berkesan? Setiap penulis berdiskusi mengenai apel di warga Desa Giripurno, Desa Pandanrejo, Desa Sidomulyo, Desa Bumiaji atau Desa Bulukerto, subyek menyatakan bahwa di desa mereka apel tidak tumbuh lagi, tetapi di Desa Tulungrejo apel masih bisa bertumbuh.
Nah, perjalanan penulis ke kawasan ini juga meninggalkan kesan positif tentang kerelawanan sosial. Di Dusun Wonorejo, Desa Tulungrejo, Kelompok Tani Gunung Harta mengembangkan pariwisata berbasis komunitas yang dinamakan Batu Edu Park. Kegiatan yang disuguhkan berupa pembibitan apel dan stroberi organik, pemancingan ikan, kandang sapi komunal plus pemanfaatan biogas dari kotoran sapi.
Ternyata apresasi penulis di atas mendadak pupus karena perkembangan kota masih menyisakan sisi negatif. Desa Tulungrejo mulai dipenuhi dengan icon-icon bisnis pemodal besar. Kafe merupakan kecenderungan baru yang melengkapi hotel dan restoran. Ke depan akan menjadi trend karena pemilik lahan sudah tidak sanggup mengurusi lahan mereka. Perkembangan lingkungan “buatan” ini sejatinya menunjukkan dualisme ekonomi yaitu ekonomi rakyat yang berhadapan dengan ekonomi besar.
Ekonomi rakyat direpresentasilkan pertanian tradisional dan desa wisata, sedangkan ekonomi besar dikendalikan industri pariwisata. Begitu agresifnya industri ini mengapitalisasi alam dan pemandangan kota yang eksotik di antara pegunungan. Kafe-kafe yang merangkak naik pun melengkapi kapitalisasi lahan yang sebelumnya berbentuk hotel, homestay dan restoran. Kini kafe-kafe mulai menjamur, tidak lagi di pusat kota, kawasan desa alami pun disentuh. Bolehlah jika tahun 2001, para tokoh pokja berdirinya Kota Batu membayangkan kota tidak sepesat hari ini. Tapi sejatinya, kini kondisi semakin sulit dikendalikan.
Mencegah Dualisme
Teori inti berganda yang dinyatakan C.D. Harris dan F.L Ullman, 1945 menyatakan bahwa pusat pertumbuhan kota merupakan produk perkembangan dan integrasi terus menerus sejumlah kegiatan yang terpisah sebagai spesialisasi ( Yunius, 2000). Akhirnya perkembangan kota tidak terencana, spesialisasi teritorial sebagai rencana kota kini tidak berlaku lagi.
Tidak ada wilayah pertanian atau pariwisata secara spesifik, karena wilayah yang mendatangkan profit akan dikapitalisasi. Pemerintah tidak bisa mengendalikan pergerakan ini karena alih fungsi lahan ditentukan pemilik.
Di tengah, iklim pertanian di kota Batu yang lesu dan kini diganti oleh pariwisata, menjual tanah seringkali menjadi pilihan rasional (rational choice). Maka kini, Kota Batu menghadapi kondisi sebagai dualisme ekonomi.Konsep ini dinyatakan oleh J.H. Boeke untuk menunjukkan dikotomi sektor ekonomi asli dengan sektor kapitalistik. Dalam bahasa Boeke. sistem ekonomi asli dinamakan sistem ekonomi pra kapitalistik yang didukung masyarakat pedesaan, sedangkan sistem ekonomi barat berkembang mengikuti azaz kapitalisme, dengan kebutuhan ekonomi yang tidak terbatas, rasionalitas ekonomi tinggi berdasarkan keuntungan dan pemupukan modal dan memiliki keorganisasian kompleks dalam menjalankan aktivitas ekonomi (Wirutomo, 2012).
Sekalipun gambaran masyarakat Boeke untuk menjelaskan Indonesia pada tahun 1942, tapi kita melihat perkembangan Kota Batu hari ini seperti dinyatakan Boeke. Pengelola dan perencana kota sulit mengendalikan perkembangan kota yang kian mengapitalis ini.
Sekalipun demikian, kita tidak boleh berhenti untuk mencari “prasyarat-prasyarat” fungsional yang terbaik, maka kita manfaatkan desentralisasi membuka peluang desain kota berbasis aspirasi rakyat. Dengan pembangunan berorientasi rakyat, semua bisa direncanakan. Penulis berharap agar dualisme diakhiri dan diganti dengan dualitas (Giddens, 1984).
Jika dualisme menunjuk kekuatan dikotomis atau hidup dengan dunia masing-masing atau bahkan saling berebut pengaruh, sementara itu dualitas menjelaskan peran agensi dan struktur yang saling menguatkan. Sektor pertanian dan perkebunan rakyat mampu mengimbangi sektor modern industri kapitalis.
Kreativitas dan Keberanian
Untuk itu, dibutuhkan kreativitas dan keberanian aktor-aktor pemerintahan untuk mengawal ke sana. Kemungkinan langkah berikut bisa ditempuh.
Pertama, Model pengelolaan kota.
Sekalipun sudah memiliki dokumen perencanaan sesuai standar kebijakan nasional, tetap saja kita butuh evaluasi dan refleksi, mau dibawa kemana perkembangan kota ini? Kini kita butuh pengambil kebijakan sebagai perencana dan eksekutor handal.
Kedua, Kesadaran Masyarakat.
Tata ruang sosial tidak bisa lepas dari kuasa masyarakat. Untuk memeroleh kuasa ini kita ketuk kesadaran warga. Maka peningkatan para perencana dan pengelola kota membangun kesadaran secara terus menerus. Di sinilah edukasi masyarakat untuk memikirkan kota ke depan diperlukan.
Ketiga, Komitmen Pemerintah.
Subsidi pemeliharaan diberikan kepada warga agar mereka menjaga fungsi lahan pertanian/perkebunan. Pemerintah harus memiliki komitmen untuk secara khusus mendesain wilayah sebagai area pertanian. Perencanaan ini melibatkan komunitas sebagai subyek untuk pengelola. Misalnya, kawasan Sumber Brantas dan Tulungrejo dijadikan sebagai sentra apel. Keberpihakan ini buah kerja sama pemerintah dengan komunitas.(*)