Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
MALANG POSCO MEDIA – Pada zaman Rasulullah di sela perang Khandaq. Saat itu umat Islam pernah ditantang duel Amr bin Abdul Wad al-Amiri, dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti. Nabi pun bertanya kepada para sahabat tentang siapa yang akan memenuhi tantangan ini.
Para sahabat terlihat gentar. Nyali mereka surut. Dalam situasi ini Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah maju, menyanggupi ajakan duel Amr bin Abdul Wad. Melihat Ali yang masih terlalu muda, Nabi lantas mengulangi tawarannya kepada para sahabat. Hingga tiga kali, memang hanya Ali yang menyatakan berani melawan jawara Quraisy itu.
Menyaksikan yang menghadapinya Ali yang ia anggap hanya seorang “bocah”, Amr bin Abdul Wad menanggapinya dengan tertawa mengejek. Sayyidina Ali tak terpengaruh dengan ledekan tersebut. Perkelahian berlangsung sengit, dan nasib mujur pun ternyata ada di tangan Sayyidina Ali.
Amr bin Abdul Wad tumbang ke tanah setelah mendapat sabetan pedang Sayyidina Ali. Kemenagan Ali sudah di depan mata. Hanya dengan sedikit gerakan saja, nyawa musuh dipastikan melayang.
Dalam situasi terpojok, Amr bin Abdul Wad masih menyempatkan diri memberontak. Tiba-tiba ia meludahi wajah sepupu Rasulullah itu. Menanggapi hinaan ini, Ali justru semakin pasif. Ali menyingkir dan mengurungkan niat membunuh, hingga beberapa saat. Sikapnya yang tak mau melakukan penyerangan terhadap Amr yang meludahi wajahnya menimbulkan tanda tanya.
Para sahabat yang menyaksikan penasaran: apa alasan Sayyidina Ali bersikap demikian? Ternyata jawaban Sayyidina Ali membuat kalangan terhenyak. Saat dia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah SWT.”
Panglima Perjuangan
Kisah ini mengandung pelajaran mendalam tentang hakikat jihad, yang oleh sementara kelompok kadang dimaknai secara serampangan. Meskipun Amr bin Abdul Wad akhirnya gugur di tangan Ali, tapi proses peperangan ini memberi pesan bahwa perjuangan dan pembelaan Islam mesti dibangun dalam landasan dan etika yang melebihi sekadar luapan kebencian dan kemarahan. Sayyidina Ali menjadikan Allah sebagai satu-satunya dasar sandaran dalam berbuat. Komitmen ini mudah terucap tapi sangat sukar dalam praktiknya.
Teriakan takbir atau pengakuan diri sebagai pemegang tauhid belum sepenuhnya menjamin seseorang bertindak tanpa terpengaruh oleh ego atau nafsu pribadinya; nafsu merasa benar sendiri, nafsu tak ingin tersaingi, serta nafsu membenci dan memusuhi. Karena itu memang menjadi pekerjaan hati, lebih dari aktivitas fisik dan emosi.
Rasulullah Muhammad SAW sendiri memposisikan jihad dalam pengertian fisik sebagai jihad yang kalah tingkat dari jihad mengendalikan hawa nafsu. Karena seperti diceritakan bahwa sepulang dari perang Badar, Nabi pernah bersabda: “Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar. Lalu sahabat bertanya; Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab: Jihad (memerangi) hawa nafsu.”
Di sinilah letak kedalaman Islam. Jihad tak hanya dimaknai sebagai perjuangan fisik tapi juga perjuangan batin dan ini harus dijadikan sebagai panglima. Jihad fisik yang berhasrat memenangkan pihak lain tapi secara tak sadar membuat diri pelakunya kalah dari egonya sendiri. Sungguh menghadapi nafsu diri sendiri yang tak tampak lebih berat ketimbang menghadapi musuh di depan mata yang terlihat. Jihad ini juga tak mengandaikan waktu-waktu khusus, melainkan setiap hembusan napas, sepanjang masa.
Benarlah Rasulullah mengatakan perang melawan diri sendiri sebagai pertempuran akbar karena dalam banyak hal jihad secara lelah itu tak terasa dilakukan karena sering kali ia dibalut oleh kenikmatan, atau bahkan argumentasi keagamaan.
Memerangi Hawa Nafsu
Imam Ibnu Qayyim ra., menjelaskan jihadun nafsi, berjihad memerangi hawa nafsu itu terdiri dari empat tingkatan. Pertama, berjihad memerangi hawa nafsu dengan cara mempelajari ilmu-ilmu pintu hidayah dan ilmu kebenaran di mana tidak akan dijumpai suatu kemenangan dan kebahagiaan kecuali dengan bekal ilmu itu. Jika sampai kehilangan ilmu, maka merugilah manusia di dunia dan akhirat.
Kedua, berjihad, bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu-ilmu kunci yang telah didapat. Sebab, menguasai ilmu saja itu tidaklah cukup. Ilmu bila tidak diamalkan tidak akan mengantarkan dirinya kepada kemaslahatan dan tidak akan memberikan manfaaat.
Ketiga, berjihad menaklukkan hawa nafsu dan menggerakkannya untuk mendakwahkan dan mengajarkan ilmu yang telah didapat dan telah diamalkan. Sebab orang yang menyembunyikan ilmu yang telah diturunkan Allah SWT, maka tidak akan memberi manfaat dan tidak dapat menyelamatkannya dari azab Allah SWT.
Keempat, berjihad menaklukkan hawa nafsu untuk senantiasa bersabar atas segala rintangan dan ujian yang dihadapi saat mendakwahkan ilmunya. Jika tingkatan tersebut berhasil dilalui dengan sempurna, maka manusia itu akan bahagia dan selamat dunia akherat. Sebab para ulama salaf dahulu sepakat bahwa seorang yang berilmu tidak berhak disebut rabbani sampai ia benar-benar mengetahui al-Haq, kebenaran, kemudian mengamalkan dan mengajarkannya.
Maka barangsiapa yang berilmu kemudian mengamalkan dan mengajarkannya ia akan selalu dikenang kemuliaannya di seluruh penjuru jagat bumi dan langit.(*)