spot_img
Friday, April 26, 2024
spot_img

Nalar Mendidik Guru yang Terkoyak

Berita Lainnya

Berita Terbaru

BERKEMBANGNYA peradaban tidak serta merta mengurangi tindak kekerasan di lingkungan sekolah (pendidikan). Bahkan berita tentang guru yang melakukan ‘perundungan atau pem’bully’an dalam bentuk yang semakin beragam terhadap sejumlah siswa pun mengalami peningkatan cukup signifikan. Ragam alasan yang dipaparkan atas tindakan tersebut karena melakukan pelanggaran (peraturan) sekolah.

Patut disayangkan, kebanyakan mereka bungkam saat ditanya siapa pelakunya. Siswa seolah-olah bekerja sama untuk menutupi kesalahan kawannya, sehingga (tim tatib) bahkan kepala sekolah tersulut emosinya untuk melakukan tindakan di luar nalar pendidikan.

Atas tindakan ‘terukur’ oknum tersebut, muncul beragam komentar. Ada pihak yang memberikan dukungan terhadap tindakan (tim tatib) sekolah semata menegakkan aturan dan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada siswa. Namun tidak sedikit pihak yang menghujat dan mendeskreditkan tindakan tersebut. Bahkan orang tua siswa sampai membawa ke ranah hukum terhadap tindakan ‘berlebih’ yang dilakukan sekolah tersebut.


Menumbuhkan Nalar Mendidik

Sebagai seorang pendidik (guru) yang setiap derap langkah kerjanya selalu menjadi sorotan dan bahan perbincangan banyak pihak yang kini menjadi semakin meningkat dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Perlu secepatnya akar masalah segera ditemukan. Mulai dari apa yang harus guru lakukan? Bagaimana guru harus bertindak? Inilah saat yang tepat kita me’revolusi’ diri, tidak hanya berpangku tangan tanpa ada solusi?

Tantangan bahwa menegakkan disiplin dan menumbuhkan karakter pada siswa tidak semudah membalik telapak tangan. Sebagai seorang guru tentu akan berusaha semaksimal mungkin untuk menegakkan disiplin di sekolah tanpa menyakiti siswa kita sendiri, melalui pendekatan restitusi.

Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998),menyimpulkan ada lima posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah posisi kontrol sebagai penghukum, posisi kontrol sebagai pembuat rasa bersalah, posisi kontrol sebagai teman, posisi kontrol sebagai pemantau dan posisi kontrol sebagai manajer.

Pada posisi kontrol guru sebagai penghukum. Jika guru menempatkan dirinya pada posisi kontrol ini, risikonya guru sering berhadapan dengan masalah-masalah yang diperbuat oleh siswa di sekolah. Guru sering melakukan kekerasan fisik dan juga verbal. Guru sering berkata patuhi aturan saya, awas kalau tidak menurut, kamu lagi kamu lagi yang membuat kesalahan dan berbagai kata yang membuat siswa sakit hati dan dendam.

Posisi kontrol pembuat rasa bersalah. Pada posisi ini guru sering bersuara lembut, suasana menjadi hening sehingga siswa merasa tidak nyaman dan rendah diri. Guru juga bisa berkata “Bapak sangat kecewa dengan perbuatanmu’’ atau “Kalau orang tuamu tahu perbuatan seperti ini, apa mereka tidak malu, coba kamu pikirkan Nak.’’

Lalu bagaimana perasaan siswa jika posisi kontrol guru seperti ini diterapkan, tentu siswa akan merasa tidak berharga dan merasa mengecewakan orang-orang yang disayanginya. Ini akan berdampak buruk terhadap penilaian diri siswa itu sendiri.

Posisi kontrol guru sebagai teman. Pada posisi ini bagaimana selayaknya guru bersikap. Tentunya guru tidak akan menyakiti siswa, tetapi tetap melaksanakan tugas sebagai pengontrol bagi siswanya melalui tindakan yang persuasif. Contohnya guru mengajak siswanya dengan berkata: “Ayo bantulah, demi ibu ya.”

Namun perlu juga diingat pada posisi ini bisa terjadi hubungan negatif dan juga positif antara guru dengan siswanya. Negatifnya bila suatu saat guru tidak membantunya maka siswa merasa dikecewakan dan tidak mau lagi berusaha. Positifnya hubungan baik antara guru dan murid akan terjalin sehingga guru akan mudah untuk mempengaruhi siswa agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan aturan yang ada di sekolah.

Posisi kontrol guru sebagai pemantau. Pada posisi ini dapat diartikan bahwa guru bertanggung jawab terhadap perilaku siswa yang diawasinya. Guru berpedoman pada peraturan-peraturan dan konsekuensi yang ada di sekolah. Guru akan mencatat bukti dan kejadian yang terjadi terhadap perilaku siswa.

Jika terjadi pelanggaran maka guru tidak perlu melakukan tindakan menguras emosi dengan marah-marah ataupun dengan tindakan yang tidak menyenangkan bagi siswa, tetapi guru hanya menyampaikan kesalahan siswa dan konsekuensi atau sanksi apa yang harus dijalani oleh siswa.

Posisi kontrol guru yang terakhir adalah posisi kontrol sebagai manajer. Pada posisi ini guru mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan siswanya, memotivasi siswa untuk mempertanggungjawabkan segala perilakunya serta mendukung siswa untuk menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh siswa itu sendiri. Guru menjadi seorang manajer bagi siswa. Tentu dia harus memiliki keterampilan sebagai seorang teman dan juga sebagai seorang pemantau.

Menyimak dan memahami lima posisi kontrol guru di atas maka kita sebagai seorang guru tentunya dapat memposisikan diri dengan baik pada setiap permasalahan yang dihadapi. Penegakan disiplin ataupun penumbuhan karakter terhadap siswa kita di kelas maupun di lingkungan sekolah.

Semua pihak menginginkan siswa menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab bagi dirinya sendiri. Lalu bagaimana harapan kita ini dapat terwujud tentunya dengan menjadikan siswa kita sebagai seorang manajer bagi dirinya sendiri.

Menjadikan siswa menjadi manajer bagi dirinya sendiri dapat dilakukan oleh guru dengan mengajak siswa untuk menganalisa kebutuhan dirinya sendiri dan juga siswa lain. Mengajak siswa berkolaborasi untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi untuk memperbaiki kesalahan yang mereka lakukan.

Tidak kalah penting dari apa yang ditulis Diane Gossen, yang dapat dilakukan guru adalah dengan mendoakan siswa (kita) agar mereka menjadi generasi yang beriman dan berakhlak mulia, bertanggung jawab pada diri sendiri dan juga orang lain serta berguna untuk sesama.

Sejawat guru hebat, teruslah untuk meningkatkan kompetensi diri agar dapat memberi teladan. Tuntun dan dorongan siswa kita, sehingga mereka tumbuh sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya. Dengan selalu melakukan beragam perbaikan dan kemauan untuk mawas diri atas kekurangan yang kita punya, lingkungan pendidikan (sekolah) menjadi semakin ramah.

Siswa datang ke sekolah tidak karena keterpaksaan, namun mereka datang atas kesadaran diri untuk menjadi insan yang lebih baik sekaligus berilmu. Semoga.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img