Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
MALANG POSCO MEDIA – Berbicara tentang fiqih siyasah dalam kajian klasik maupun modern tidak berkaitan dengan siyasah tathbiqiyah (politik praktis) namun lebih dititikberatkan pada aspek relasi antara agama dan negara. Al Juwaini (1981) yang berjuluk Imamul Haramain guru dari Al Ghazali dalam karyanya yang fenomenal al Ghiyatsi menjelaskan mendirikan negara atau membaiat pemimpin hukumnya adalah wajib.
Secara tidak langsung hal ini berarti Syariat sangat memperhatikan adanya kepemimpinan yang sah mengingat antara agama dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Satu sama lain saling membutuhkan. Syariat mengatur sedemikian rupa dikarenakan agama berperan sebagai pondasi, sementara negara adalah penjaganya.
Agama tanpa negara maka akan sia-sia. Untuk menegakkan berbagai macam aturan kehidupan manusia agar perintah dapat optimal dilaksanakan serta larangan dapat dijauhi secara total dibutuhkan keterlibatan negara.
Agama yang diperankan oleh fiqih merupakan prinsip yang menjadi landasan bagi para pemeluknya untuk melakukan amal terbaik sesuai bidang masing-masing, termasuk para penyelenggara negara dalam menentukan kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi warganya (Ghazali, 2010).
Allah SWT menciptakan alam semesta ini bukan hanya sekadar menciptakan dan meninggalkannya, namun juga memberlakukan konsep tadbiir (memanage) yakni alam semesta ini dikelola dan diatur oleh Allah SWT sebagaimana yang telah diatur di dalam Fiqih. Asy-Syathibi (1997) menyatakan dalam Al Muwafaqotnya, kepentingan agama adalah menjaga keberlangsungan kehidupan manusia dari segi agama, diri, keturunan, aqal dan harta.
Untuk melindungi kelima unsur tersebut diturunkanlah Alqur’an dan al-Sunnah yang kemudian diinterpretasikan kepada Ijma’, Qiyas, istishab, maslahah mursalah, urf, amalu ahlil Madinah dan istihsan.
Relasi Agama dan Negara
Dalam konteks relasi antara agama dan negara dibutuhkan sikap tawassuth fittadayyun(moderasi dalam beragama) agar perilaku yang timbul dari diri manusia dapat selaras tidak ekstrim ke kanan atau ke kiri. Moderasi beragama berarti memoderasi sikap dalam beragama terutama kaitannya dengan perilaku berbangsa dan bernegara agar tercipta negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Untuk mewujudkan itu semua dibutuhkan nasionalisme/ paham kebangsaan (persatuan bangsa) dan cinta tanah air.
Nasionalisme harus terpatri dalam sanubari setiap anak bangsa demi menjaga semangat mempertahankan, sikap berkorban dan berjuang demi bangsa sehingga tetap lestari kemajemukan baik di bidang agama, suku dan budaya. Apabila semua kuat maka dapat menjadi kekuatan riil yang memperkokoh kedaulatan satu negara.
Nasionalisme ini adalah termasuk kesunnahan dalam prespektif Living sunnahberdasarkan sirah Nabawiyah. Sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Hisyam (2001) dan Al Buti (2016) pada saat Rasulullah SAW diusir dari Makkah Al Mukarramah beliau berdiri di sekitar riif(pinggiran) Kota Makkah seraya bersabda: “Alangkah indahnya engkau (Makkah) dan engkau adalah bumi yang paling ku cintai, andai bukan karena kaumku mengusirku darimu aku tak akan tinggal di bumi selainmu.”
Ini merupakan bentuk kecintaan atau nasionalisme yang muncul di hati Rasulullah SAW hingga beliau menyatakan tidak akan tinggal di selain Makkah jika tidak ada insiden pengusiran beliau dari tanah kecintaan beliau. Kecintaan pada tanah air atau tanah kelahiran ini adalah hal yang fitrah.
Maka siapapun yang mencintai tanah airnya dan mengimplementasikannya melalui sikap moderat dan nasionalis. Diiringi dengan pemahaman konsep bernegara yang seusai dengan tuntunan para Ulama salaf maupun kholaf. Penting kiranya memiliki pemahaman fiqh siyasah,negara dan bangsa yang utuh.(*)