Pajak karbon yang lahir melalui Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menambah sederetan kebijakan fiskal yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim. Penerapan pajak karbon sebagai bagian dari carbon pricing menjadi bukti bagi masyarakat dan dunia luar bahwa pemerintah berkomitmen menggunakan berbagai instrumen fiskal untuk membiayai pengendalian perubahan iklim sebagai agenda prioritas pembangunan.
Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Latar belakang Pajak Karbon ini adalah diperlukannya pengendalian peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer yang menaikkan suhu permukaan bumi sehingga akan menurunkan risiko perubahan iklim dan bencana di Indonesia.
Pemerintah juga mempunyai komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 29 persen (dengan usaha sendiri) dan 41 persen (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030 sesuai dengan konvensi perubahan iklim yang sudah disepakati.
Faktor lain yang melatarbelakangi adanya pajak karbon adalah bahwa mitigasi perubahan iklim di Indonesia membutuhkan pembiayaan yang antara lain berasal dari pajak. Oleh sebab itu dalam UU HPP itu sendiri ditegaskan bahwa pendapatan dari pajak karbon dapat digunakan untuk pembiayaan dalam pengendalian perubahan iklim. Di samping itu dengan adanya pajak karbon dapat mengubah perilaku pelaku aktivitas ekonomi yang berpotensi menghasilkan emisi gas rumah kaca ke green industry atau industri yang rendah karbon dan lebih ramah lingkungan.
Pajak karbon sejatinya bukanlah hal yang baru. Sebelumnya beberapa negara telah menerapkan pajak karbon. Pajak karbon pertama kali diprakarsai oleh Finlandia pada tahun 1990 dan kemudian diikuti oleh 16 negara lainnya. Pemerintah Finlandia pada tahun 2011 melakukan amandemen yang memisahkan antara pajak karbon dan pajak energi sehingga basis pengenaan pajak karbon di Finlandia 100 persen didasarkan atas emisi karbon yang dihasilkan atas penggunaan bahan bakar fosil. Pada tahun 2021 Finlandia telah menerapkan tarif sebesar €62 atau setara dengan US US$73,02 per ton CO₂ ekuivalen (Kastar et.al, 2020).
Namun, pemerintah Finlandia melakukan pengecualian pada sektor strategis bagi perekonomian Finlandia, yaitu sektor industri manufaktur agar negara tetap bisa bersaing di pasar internasional (Bavbek, 2016). Sehingga pengenaan carbon tax Finlandia hanya sebesar 36 persen dari total emisinya. Dengan adanya pajak karbon ini Pemerintah Finlandia terbukti berhasil dalam menekan emisi karbon dengan penurunan sebesar 19,49 persen sejak tahun 2000 sampai 2018.
Jepang merupakan negara pertama di Asia yang menerapkan pajak karbon sebesar ¥289 per ton CO₂ ekuivalen atau setara dengan US$2,6. Pengenaan pajak karbon di Jepang diberlakukan untuk bahan bakar fosil seperti minyak bumi, produk minyak, gas alam, dan batu bara. Namun, karena kecilnya pajak karbon yang diberikan oleh pemerintah Jepang, pajak karbon hanya mewakili kurang dari 1 persen dari total pendapatan pemerintah Jepang di tahun 2016 yang dialokasikan pada proyek energi terbarukan yang menghemat pemakaian energi dan bahan bakar fosil (Gokhale, 2021). Namun, dalam 6 tahun terakhir (2013-2018) Jepang berhasil mengurangi emisi karbon sampai dengan 8,2 persen.
Dari dua contoh negara yang telah menerapkan pajak karbon tersebut dapat dibuktikan bahwa penerapan pajak karbon dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan jumlah emisi karbon yang dihasilkan oleh suatu negara. Bagaimana di Indonesia?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pajak karbon harusnya berlaku 1 April 2022. Implementasi pertama kali untuk badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Dalam tahap awal tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO₂e) atau satuan yang setara. Dengan minimal tarif Rp 30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO₂e) atau satuan yang setara.
Pengenaan pajak karbon ini dilakukan secara bertahap karena harus mempertimbangkan perkembangan pasar karbon yang nanti bisa kita lihat dari peta jalan pasar karbon yang masih disusun oleh kementerian atau lembaga terkait. Di samping itu juga mempertimbangkan target pencapaian NDC ( Nationally Determined contribution) yang ditetapkan secara nasional dalam rangka mencapai tujuan Paris Agreement to The Unite Nations Framework convention on climate change (persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah kesiapan sektor dan kondisi ekonomi, serta mengedepankan prinsip keadilan dan keterjangkauan dengan memperhatikan iklim berusaha, dan masyarakat kecil.
Dengan banyaknya faktor yang harus disiapkan dalam rangka penerapan pajak karbon ini, Pemerintah menunda pengenaan pajak karbon dari yang seharusnya berlaku tanggal 1 April 2022 menjadi Juli 2022. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, penundaaan ini disebabkan karena pemerintah masih perlu melakukan koordinasi untuk menyinkronkan roadmap agar pelaksanaan pajak karbon berjalan baik.
Implementasi pungutan atas karbon melalui penerapan pajak karbon harus dikombinasikan dengan penerapan perdagangan karbon agar dapat menciptakan pasar karbon yang berkelanjutan. Kementerian Keuangan tengah menyiapkan regulasi turunan penyelenggaraan pajak karbon melalui Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Pemerintah sebagai mandat dari UU HPP sehingga nantinya pajak karbon bisa dilaksanakan pada Juli 2022.
Namun kenyataannya, pelaksanaan pajak karbon diundur lagi karena mempertimbangkan situasi perekonomian global dan domestik. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan perdagangan karbon termasuk pajak karbon akan diterapkan pada tahun 2025. Hal ini menjadi titik terang setelah sebelumnya diundur beberapa kali tanpa kepastian. “Salah satu yang akan diterapkan di awal adalah perdagangan karbon maupun pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025,” ungkap Airlangga saat pembukaan Capital Market Summit & Expo 2022, Kamis (13/10/2022).
Mengingat pentingnya pajak karbon sebagai upaya mitigasi perubahan iklim sesuai dengan komitmen pemerintah, tentunya kita berharap pemerintah segera menyelesaikan regulasi turunan penyelenggaraan pajak karbon seperti peraturan pemerintah (PP) dan peraturan Menteri Keuangan (PMK). Sehingga penerapan pajak karbon nantinya tidak akan tertunda lagi.
Hal ini sangat penting agar penerimaan negara dari pajak karbon dapat segera digunakan untuk mitigasi perubahan iklim, Di samping itu juga dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial. (*)