spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

Pancasila sebagai Way of Life

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh:
Hutri Agustino
Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai sebuah bangsa yang majemuk secara sosio-kultural, konsensus tentang simbol perekat tentu menjadi sebuah keniscayaan. Ratusan etnik suku bangsa dengan berbagai perbedaan identitas budaya bahkan agama yang hidup menyebar pada ribuan pulau dari nol kilometer di ujung barat Sabang sampai Merauke di ujung timur, nyatanya masih memiliki kesadaran dan komitmen untuk terus menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di tengah berbagai tantangan yang semakin tidak mudah.

Ragam persoalan klasik residual seperti kemiskinan ekstrim, kesenjangan kelas sosial-ekonomi, keterbelakangan kualitas sumber daya manusia, indeks literasi masyarakat, persoalan kesehatan dan ancaman stunting,  sampai yang berkaitan dengan ketimpangan pembangunan infrastruktur publik masih tampak di berbagai wilayah periferial.

Sedangkan pada sisi lain, kita sudah dihadapkan pada tantangan persoalan kontemporer yang menuntut respon cepat. Mulai dari persoalan efek dari fenomena perubahan iklim (climate change) akibat pemanasan global (global warming) yang berdampak sporadis terhadap ketersediaan bahan pangan yang memberikan ancaman serius terhadap keberlanjutan ras manusia, persoalan tapal batas wilayah dan keamanan kawasan dalam  dilema konspirasi politik global termasuk yang paling dekat adalah konflik Laut China Selatan.

Sampai pada tantangan era disrupsi dan digitaliasi yang telah mendekonstruksi kemapanan tatatan sosial dengan begitu massif. Kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian tersebut, turut dijustifikasi oleh hilangnya berbagai jenis pekerjaan lama dalam sekejap dan digantikan dengan munculnya banyak pilihan pekerjaan baru berbasis aplikasi yang memangkas jutaan tenaga manual manusia. Sebagaimana pernah terjadi pada masa Revolusi Industri di Eropa Barat pada awal abad ke-18.

Kesehatan fisik, mental dan psikis menjadi pertaruhan, kasus bunuh diri bahkan dilakukan secara massal oleh seluruh anggota keluarga menjadi marak dalam beberapa tahun terakhir. Tentu, fenomena ini menjadi keprihatinan semua pihak.

          Eksistensi Pancasila sebagai simbol perekat keberagaman bangsa, tentu masih cukup relevan dan strategis. Mengingat tidak semua bangsa mampu merawat heterogenitas menjadi sebuah modal sosial (social capital) di tengah kompetisi global.

          Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam lima sila Pancasila dirumuskan oleh para tokoh pendiri bangsa (founding fathers) berdasarkan hasil kontemplasi sosial-spiritual dan menjadi bagian dari ikhtiar politik untuk mewujudkan sebuah bangsa majemuk, yang berdaulat, berkebudayaan, berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial.

          Pancasila lahir dari perdebatan intelektual para pejuang kemerdekaan yang rela mempertaruhkan segenap harta dan nyawa untuk meraih status Merdeka dari periode imperialisme khususnya yang dilakukan oleh bangsa Eropa. Banyak yang meyakini bahwa Pancasila merupakan intisari atau saripati dari nilai-nilai luhur bangsa Nusantara yang telah berperadaban adiluhung (high civilization) khususnya pada periode Majapahit masih berjaya.

          Selain menjadi simbol perekat dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity) dan sumber hukum tertinggi, Pancasila juga sekaligus menjadi semacam way of life dalam aktivitas kehidupan sosial. Praktik relasi sosial yang sifatnya mutualisme dan saling bertoleransi terhadap realitas keragaman menjadi eksemplar otentik yang terabstraksikan dalam ragam aktivitas masyarakat.

          Walaupun dalam setiap periode kekuasaan politik, berbagai upaya reduksi dan distorsi terhadap nilai-nilai Pancasila hampir selalu dilakukan—tetapi eksistensinya masih juga belum tergantikan. Tentu periode Orde Lama yang sempat mengusung ajaran Nasakom menjadi tantangan paling serius terhadap kemurnian ajaran Pancasila. Meskipun tidak sedikit juga yang berpendapat bahwa manuver politik Orde Baru yang menjadikan Pancasila sebagai alat untuk melakukan monopoli dan hegemoni politik juga tidak bisa dianggap sebelah mata.          Pemberangusan kelompok yang berbeda haluan dengan rezim Cendana kemudian dinggap sebagai penentang ajaran Pancasila. Sehingga muncul istilah yang begitu populer di era itu yakni, Pancasila adalah Orba dan Orba adalah Pancasila.

          Tentu menjadikan Pancasila sebagai bagian dari alat kuasa politik tidaklah benar.  Karena hanya akan membuat kedudukan Pancasila yang begitu sakral menjadi tidak ubahnya logo partai politik yang dengan mudah diganti tanpa alasan filosofis.

Tinggi tetapi Membumi

          Selanjutnya, tidak hanya tantangan klasik residual dan kontemporer—eksistensi Pancasila juga dituntut untuk mampu beradaptasi dengan kehidupan generasi milenial bahkan generasi Z yang terbiasa hidup berdampingan dengan berbagai sikap subordinat hedonisme. Seperti pragmatisme, konsumerisme dan invidudualisme.

          Tentu yang dimaksud bukan merubah lima sila Pancasila, tetapi melakukan penafsiran (ijtihad) secara kritis dan kontekstual dengan tetap obyektif dan proporsional. Hal tersebut penting dilakukan untuk menjawab kegamangan bahwa Pancasila tidak lagi relevan, tidak kekinian karena identik dengan generasi di era kolonial.

          Berbagai upaya untuk membumikan nilai-nilai Pancasila di generasi muda harus diarusutamakan untuk mencegah terjadinya berbagai konflik karena perbedaan identitas. Semua pihak memiliki tanggungjawab untuk memastikan generasi bangsa ini tidak ahistoris dengan realitas perjalanan panjang generasi di masa perjuangan kemerdekaan.

          Pancasila harus tetap mengangkasa sebagai sumber hukum tertinggi—tetapi harus membumi sebagai way of life. Bahkan, Pancasila diharapkan tidak hanya mampu melampaui era globalisasi—tetapi juga menjadi solusi atas silang sengkarut tatanan kehidupan global yang belum berkeadilan.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img