Kehidupan politik tanah air selalu menampilkan dua panggung. Panggung depan dan belakang. Saat jelang pemilu, panggung depan politik selalu menarik dicermati. Pertemuan antara sejumlah pimpinan partai terlihat adem dan damai. Itulah yang terlihat di panggung depan. Kondisi itu tentu tak selalu serupa di panggung belakang. Inilah hari-hari para aktor dan aktris politik bermain sandiwara di panggung depan politik jelang pilpres 2024 mendatang.
Panggung depan politik sering menampilkan kesan damai, bersahabat, dan bersatu. Lewat panggung depan seperti tak tersirat ada seteru. Di panggung depan politik itu para politisi seperti tak sedang berkompetisi. Padahal sejatinya panggung depan itu tak lebih hanya sebagai ruang tebar pesona belaka. Ruang untuk memoles citra dan membangun simpati masyarakat.
Foto-foto penuh dengan senyuman dan saling bergandengan tangan di antara para politisi pemimpin partai sering menghiasi media massa. Kata sastrawan India, Ashwin Sanghi, dunia politik itu persis panggung hiburan. Di panggung depan, para politisi memainkan peran sesuai arahan yang sudah dibuat sang sutradara. Sementara di belakang panggung, antara sang pahlawan dan penjahat bisa saja makan bersama.
Inilah era politik pertunjukan, dimana para aktor politik dituntut mampu berakting menawan. Sang politisi harus memainkan peran yang memukau bagi semua kalangan. Panggung politik telah menjadi layaknya pertunjukan drama atau sandiwara. Permainan politik pertunjukan ini semakin menemukan wujudnya karena dukungan media massa dan media sosial (medsos). Hiruk pikuk dan hingar bingar politik difasilitasi media dengan leluasa.
Dramaturgi Politik
Dalam kehidupan politik pertunjukan saat ini, semua aktor politik dituntut pandai bermain peran. Sementara itu, masyarakat sebagai penikmat sandiwara politik hanya bisa tertawa terbahak-bahak ketika melihat sebuah peran yang kocak, bersedih, mabuk kapayang, atau beragam ekspresi seperti umumnya menikmati sebuah hiburan di panggung sandiwara. Dalam sebuah drama, semua aktor dituntut tampil memukau dan memikat semua penonton.
Menurut Irving Goffman, dalam teori dramaturgi, terdapat dua panggung yakni panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Dalam posisi ini, setiap individu dituntut menampilkan karakter tertentu di panggung depan dimana peran yang dimainkan tersebut bisa jadi berlawanan dengan karakter asli dirinya. Di sinilah muncul sebuah kebohongan karena sebuah laku yang sedang dimainkan seseorang sejatinya bukan citra diri orang itu yang asli.
Ketika dalam panggung pertunjukan asli drama, memang tak masalah para pemainnya menampilkan diri bukan sebagai aslinya. Dalam pertunjukan drama memang tujuan utamanya menghibur penonton, hingga dalam mencapai tujuan itu sah-sah saja dibuat rekayasa. Namun dalam kehidupan politik, tentu peran para aktor politik bukan berfungsi untuk menghibur masyarakat.
Sang politisi, para pemimpin partai politik, dan sosok yang sedang ikut berkontestasi dalam pilkada, pileg, dan pilpres hendaknya menampilkan permainan politik yang jujur dan santun. Permainan politik yang lebih mengedepankan pencitraan demi tujuan tampil memukau di front stage bukanlah cara berpolitik yang baik. Panggung politik bukan layaknya panggung sandiwara yang bisa saja mengusung tema fantasi dan rekaan (fiksi) semata.
Dunia politik idealnya mengedepankan sebuah fakta yang jujur. Politik bukan ajang pembohongan dengan menyulap citra yang memesona. Kalau ternyata fakta sang politisi sosok yang buruk, maka harus diakui dengan legawa. Sang politisi bermasalah harus berkaca diri, dan bukan ketika buruk muka lantas cermin yang dibelah. Karena sehebat apapun keburukan itu ditutupi, akhirnya pasti akan terbongkar pula.
Untuk itu masyarakat harus berdaya. Rakyat harus melek politik. Semua warga negara tak bolek acuh tak acuh pada politik (apolitik). Semua harus cerdas dalam menyaksikan sepak terjang para politisi yang sedang berlaga dalam era politik yang layaknya panggung sandiwara ini. Tanpa kepedulian masyarakat, dunia politik akan semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi yang ideal. Kalau sudah demikian yang terjadi, tentu masyarakat juga yang rugi.
Panggung Pasar Malam
Suasana umumnya di sebuah pasar malam bisa serupa dengan kehidupan politik di negeri ini. Di pasar malam orang bisa lalu lalang keluar masuk arena. Demikian halnya dalam kehidupan politik. Orang bisa keluar masuk dari satu partai ke partai yang lain. Kader partai tertentu dalam sekejap bisa lompat berpindah ke partai lain. Para artis dan figur publik, tiba-tiba masuk menjadi anggota partai. Orang berbondong-bondong datang menjadi kader partai, dan pada saatnya nanti tak jarang di antara mereka meninggalkan partai yang semula mengusungnya.
Karena seperti halnya pasar malam, hal yang utama adalah menyajikan apa saja dan menghibur bagi siapa saja. Yang penting partai politik punya orang-orang yang populer dan punya tingkat elektabilitas tinggi. Serupa dengan di pasar malam. Siapa yang mampu menampilkan pertunjukan yang memikat, maka dialah yang bakal menyedot banyak pengunjung. Situasi ini yang menjadikan mirip antara politik dengan pasar malam.
Beberapa partai politik telah lama meninggalkan cara berpikir dan bertindak yang substantif. Semua pemain politik tak punya pijakan ideologi bernegara yang kuat. Alhasil, mereka hanya berpikir sesaat, mengejar capaian kemenangan dalam kontestasi pilkada, pileg, dan pilpres. Dan ketika kemenangan itu sudah diraih, maka jadilah mereka lupa diri dan mengkhianati janji-janji politiknya seperti yang pernah dikumandangkan saat kampanye.
Semua penjual makanan dan panggung hiburan di pasar malam menilai barang dagangan dan atraksinya yang nomor satu. Persis bakul kecap. Tak ada pabrik kecap yang mau menyebut produknya sebagai kecap nomor dua atau tiga. Di pasar malam semua pemilik lapak menyatakan barangya yang terbaik, yang paling enak, murah, dan menghibur. Kalau toh kemudian para pembeli kecewa, itu bukan urusan.
Semua politisi dan partai politik menyatakan diri pro rakyat, peduli orang miskin, dan masyarakat tertindas. Dan konyolnya, kita pun terhibur dengan janji manis itu. Kita turut menikmati segala ulah badut-badut politik dan kita pun terbahak-bahak, nonton ulah para badut dalam atraksi yang ada di pasar malam. Harold D Laswell menyebutkan bahwa panggung politik hanya menjadi sekadar urusan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Sadarlah! (*)