Akhir-akhir ini Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) begitu gencar melakukan gerakan pengembangan pariwisata, khususnya pengembangan desa wisata sebagai salah satu strategi untuk membangkitkan kembali kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk karena pandemik Covid-19. Melalui pengembangan pariwisata diharapkan berdampak terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, yang pada giliranya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan publik di bidang pariwisata dipandang dapat menguranggi kemiskinan karena industri pariwisata memiliki karakteristik yang khas. Seperti pertama, konsumennya datang ke tempat tujuan sehingga membuka peluang bagi penduduk lokal untuk memasarkan berbagai komoditi dan pelayanan.
Kedua, membuka peluang bagi upaya untuk mendiversikan ekonomi lokal yang menyentuh kawasan-kawasan marginal. Ketiga, membuka peluang bagi usaha-usaha ekonomi padat karya yang berskala kecil dan menengah yang terjangkau oleh kaum miskin. Dan keempat, tidak hanya tergantung pada modal, akan tetapi juga tergantung pada modal budaya (cultural capital) dan modal alam (natural capital) yang seringkali merupakan aset yang dimiliki kaum miskin.
Menurut pandangan Damanik, Kusworo, dan Raharjana (2005), secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan publik di bidang pariwisata haruslah mewujudkan kebijakan publik yang merupakan affirmative action, yakni kebijakan publik yang dengan sengaja melakukan diskriminasi yang menguntungkan rakyat miskin (pro poor tourism policy). Kebijakan yang demikian memberikan berbagai kemudahan dan sumber kepada masyarakat miskin untuk mengembangkan potensi ekonominya, dan tidak memberikan kemudahan kepada unit-unit ekonomi yang berskala besar yang dipandang telah mampu berkembang tanpa intevensi pemerintah.
Pro poor tourism policy melalui affirmative action ini mempunyai ciri-ciri yang spesifik. Antara lain, pertama, Menggunakan strategi pemberdayaan (empowerment strategy) dan bukan strategi karitas dalam pembangunan pariwisata. Strategi karitas yang selama ini mendominasi pendekatan pembangunan telah menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah.
Kedua, Strategi pemberdayaan ini diharapkan dapat mewujudkan pembangunan pariwisata yang bersifat mandiri (self-reliant development) dengan mencoba memanfaatkan berbagai sumber lokal secara maksimal. Ketiga, Salah satu sumber yang selama ini kurang dimanfaatkan secara optimal adalah modal sosial (social capital).
Keempat, Pembangunan pariwisata yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan akan dapat efektif apabila pada tingkat akar rumput (grass-root) dikembangkan kewirauhaan endogen (indigenous entrepreneurship). Kelima, Membangun keterkaitan (linkage) antara industri pariwisata dengan pemasok barang dan jasa. Keenam, Membina kemitraan antara stake-holders yang berskala besar dengan micro-enterprise pada tingkat lokal, antara sektor publik dan sektor swasta dalam menanggulangi kemiskinan melalui pariwisata.
Ketujuh, Melakukan mainstreaming agar penanggulangan kemiskinan melalui pariwisata dapat menjadi bagian integral dari program penanggulangan kemiskinan pada umumnya dan program pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism development).
Strategi yang perlu dilakukan agar pengembangan pariwisata fungsional bagi upaya-upaya penanggulangan kemiskinan adalah dengan cara melapangkan jalan bagi kaum miskin untuk menjadi pelaku usaha pariwisata. Banyak studi yang menunjukkan bahwa berkurangnya akses penduduk miskin pada sumberdaya pariwisata secara otomatis mengunci peran pariwisata itu sendiri untuk mengentaskan kehidupan masyarakat miskin.
Ada enam strategi penting yang perlu dipertimbangkan. Yakni: Pertama, perluasan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin. Kedua, perluasan kesempatan kerja bagi penduduk miskin. Ketiga, pengurangan dampak lingkungan bagi penduduk miskin yang lebih rentan. Keempat, pengurangan dampak sosial budaya pariwisata yang negatif bagi penduduk miskin. Kelima, pengembangan kelembagaan yang mendorong upaya pengentasan kemiskinan. Dan Keenam, penajaman kebijakan dan perencanaan pengembangan pariwisata yang lebih tepat.
Strategi lainya yang harus dikembangkan agar pariwisata dapat berperan dalam pengurangan kemiskinan adalah dengan mengembangkan strategi Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community-Based Tourism; CBT). Menurut Lapreye (2010), Community-Based Tourism (CBT) adalah suatu aktivitas yang ditandai dengan peningkatan partisipasi intensif, yang dapat menyediakan keuntungan ekonomi dan keuntungan lainnya serta meningkatkan kekuatan pengambilan keputusan bagi masyarakat.
Menurut Pitana dan Gayatri (2005:91), pariwisata adalah sebuah aktivitas yang kompleks, yang dapat dipandang sebagai suatu sistem yang besar, yang mempunyai berbagai komponen. Seperti ekonomi, ekologi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Dalam sistem pariwisata, ada banyak faktor yang berperan dalam menggerakkan sistem.
Aktor tersebut adalah insan-insan pariwisata yang ada pada berbagai sektor. Secara umum, aktor-aktor insan pariwisata dikelompokkan dalam tiga pilar utama. Yaitu: (1) aktor masyarakat; (2) aktor swasta; dan (3) aktor pemerintah.
Masyarakat adalah masyarakat umum yang ada pada wilayah destinasi wisata, sebagai pemilik sah dari berbagai sumberdaya yang merupakan modal pariwisata, seperti kebudayaan. Dimasukkan ke dalam kelompok masyarakat ini juga tokoh-tokoh masyarakat, intelektual, LSM, dan media massa.
Selanjutnya dalam kelompok swasta adalah asosiasi usaha pariwisata dan para pengusaha, sedangkan kelompok pemerintah adalah pada berbagai wilayah administrasi, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, bahkan pemerintahan Desa.
Namun demikian, meskipun pariwisata memiliki dampak yang positif, khususnya secara ekonomi, ternyata pariwisata juga bisa menimbulkan dampak negatif. Hasil penelitian penulis, misalnya ditemukan fakta bahwa pengembangan kawasan parisiwata menimbulkan dampak negatif yakni berupa munculnya praktik prostitusi terselubung.
Model kebijakan pembangunan pariwisata, idealnya mengarah kepada kesejahteraan ekonomi rakyat, memberikan manfaat secara merata dan berkelanjutan bagi pelestarian budaya dan lingkungan. Namun kenyataannya kini, manfaat ekonomi yang diperoleh dari sektor pariwisata masih kerap dibarengi oleh berbagai permasalahan sosial-budaya dan lingkungan.
Pengembangan kawasan sebagai obyek wisata dapat menimbulkan dampak biofisik, sosial-ekonomi, maupun sosial-budaya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Selanjutnya, apapun bentuk dampak tersebut akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat.
Seperti misalnya, kerusakan ekosistem sebagai akibat kebijakan pembangunan pariwisata yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan maupun karena vandalisme wisatawan dapat menurunkan daya tarik ekosistem, yang pada gilirannya dapat menurunkan jumlah kunjungan wisatawan.
Akhirnya manfaat yang diterima oleh pihak pengelola atau pelaku pariwisata dengan sendirinya akan berkurang. Begitu pula sebaliknya, dampak sosial-ekonomi yang memberikan kesuksesan secara otomatis akan memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan yang mereka harapkan.(*)