Beda Sikap Larangan Berdagang di TikTok Shop
MALANG POSCO MEDIA-Larangan berjualan di TikTok Shop dan sejenisnya disikapi beragam. Pedagang pasar konvensional langsung mendukung. Berbeda dengan pelaku UMKM yang berjualan online merasa dirugikan. (baca grafis)
Pedagang Pasar Besar Malang (PBM) boleh bernapas lega. Sebab mereka menganggap jual beli secara online salah satu penyebab sepinya pasar. Salah satunya seperti Novid Eka Putra, pedagang pakaian di PBM. Ia mengatakan selama ini penjualannya anjlok.
“Saya harap bisa sedikit membantu, walau tidak 100 persen. Sisanya tentu butuh usaha kami. Cuma di hati saya nanti TikTok dicegah dengan cara ini, nanti pasti cari akal lagi. Saya yakin mereka pintar,” ujar Novid kepada Malang Posco Media, Kamis (28/9).
Dikatakan Novid, akibat TikTok Shop beberapa tahun ini, ia sangat kesulitan menjual barang dagangannya. Sebab calon pembeli kini sudah sangat jauh berkurang hingga membuat tokonya sepi. Selama satu jam, hanya satu dua orang saja yang melintas di depan tokonya. Begitu juga tengkulak yang biasanya mengambil di tokonya. Saat ini sudah tidak ada lagi. Ia berharap makin banyak pengunjung dan tengkulak pasca keluarnya kebijakan tersebut.
Kondisi seperti ini, dipastikan Novid lebih parah dibandingkan ketika masa pandemi Covid-19. “Kalau pandemi masih dapat, walupun dikit, di kampung juga masih ada yang cari. Sekarang ini tidak ada sama sekali. Tiap hari saya ‘minus’ terus, jadi tinggal menunggu ‘bom’ meledak saja ini,” bebernya.
“Setiap hari saya makan dari kerugian, modal hutang terus. Banyak banget kerugian. Kalau tidak ada perubahan, ya tidak sampai setahun lagi mungkin sudah selesai,” sambung Novid.
Beberapa bedak di sekitar toko milik Novid, juga sudah tutup beberapa waktu lalu. Ditengarai juga karena makin beratnya kondisi penjualan saat ini di tengah gempuran penjualan online. Menurut Novid, masyarakat saat ini memang wajar memilih barang yang murah, yang notabene ada di TikTok.
Hal ini tentu sulit dilakukan olehnya. Apalagi ia punya beban sewa toko, beban transportasi untuk restock pakaian hingga biaya operasional lain. Sementara di TikTok Shop, dengan banyak beredarnya barang impor dan harganya sangat murah, tentu kalah bersaing dengan pedagang seperti dirinya.
Kendati begitu, bukan berarti dia tidak pernah mencoba beralih ke TikTok. Novid mengaku pernah menjajal platform aplikasi yang berkantor di China tersebut. Namun sayang, ketika terjun menggunakan aplikasi, bukan untung yang didapat, melainkan kerugian besar. Ia menduga ada permainan algoritma yang sangat mempengaruhi kesuksesan penjualan.
“Tiktok memang menyediakan untuk gaya baru atau kemudahan. Tapi mereka kan cari uang, otomatis mereka bermain dengan iklan. Kalau tidak iklan, ya tidak dapat, ada permainan algoritma. Kalau iklan, penonton lebih banyak, sedangkan iklan tidak sedikit harganya. Sementara kita juga gaptek tidak begitu tahu teknologi,” kilahnya.
“Tiktok itu juga butuh konten. Padahal bikin konten saja kita sudah kesulitan. Kesalahan kita memang itu. Kemudian hal lain untuk endorse juga butuh modal lebih juga. Afiliasi juga tidak gampang. Apalagi kena barang impor, pengaruh paling besar itu,” sambung Novid.
Ia menceritakan, selama 1 bulan mencoba berjualan di TikTok ia merugi sekitar Rp 10 juta. Padahal sudah mengikuti saran untuk membeli jasa marketing online, iklan dan sebagainya. Akhirnya ia pun tidak kuat dan kembali berjualan secara konvensional. Di saat itulah yang membuat kerugiannya membengkak hingga kemudian ia berhutang untuk modal usaha.
“Untuk di online Rp 100 ribu itu kecil. Paling, bisa ada 11 orang yang menonton. Walaupun misalnya mungkin katakan banyak yang menonton pun, tidak ada yang nyantol, tidak ada yang beli. Pernah live shopping juga, istri saya sakitpun tetap live,” katanya.
Novid pun berhenti. Dia merasa mungkin kontennya kurang menarik. “Saya lihat kalau hostnya cantik, wah penjualan bagus. Lalu kalau brand besar bisa panggil artis, paling tidak selebgram. Kalau kita, kalah saing,” ungkap Novid.
Berbeda dengan pelaku UMKM yang selama ini berjualan online. Seperti yang diungkapkan Sulikah Handayani, owner Lika Souvenir. Ia menjual souvenir seperti beragam boneka buatan sendiri dan juga aksesoris lainnya. Adanya Tiktok Shop menurutnya memberikan banyak keuntungan.
Dia mulai bergabung di TikTok Shop April lalu. Sebenarnya menurut Sulikah, hampir semua media sosial punya layanan market shopping, seperti Facebook ataupun Instagram.
“Saya mengikuti semua. Tapi tidak sebooming TikTok ini. Menurut saya banyak kelebihan yang ditawarkan TikTok, bahkan sampai sekarang orderan saya masih terus masuk, meskipun tidak seramai yang lainnya” ungkapnya.
Ia menyayangkan jika pemerintah benar-benar melarang TikTok Shop berjualan di Indonesia. Menurutnya banyak keuntungan yang diberikan sebagai pelaku usaha dengan bergabung bersama Tiktok Shop. Meskipun begitu, ia tetap mendukung apa yang akan dilakukan pemerintah.
“Tolong cari jalan tengahnya. Pasti ada kebijakan-kebijakan yang tidak merugikan kedua belah pihak. Karena selama ini, saya sudah merasakan kemudahan yang didapatkan dari berjualan di TikTok Shop. Mungkin dengan regulasi-regulasi tertentu, saya yakin pemerintah lebih tahu yang terbaik bagi kami pelaku usaha,” paparnya.
Dia menilai TikTok Shop memberikan dua dampak sekaligus, positif dan negatif. Dampak positifnya TikTok sebagai media sosial digabungkan dengan marketplace bisa menjadi ajang promosi dengan membuat konten-konten menarik. Tentu hal tersebut sedikit banyak memberikan pengaruh pada penjualan para pelaku usaha.
Disisi lain, bagi pelaku usaha yang masih belum terlalu kenal dengan media sosial tersebut tentu saja akan semakin ketinggalan. Karena saat ini masyarakat cenderung lebih banyak mengakses internet secara online untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dibandingkan datang langsung ke lokasi secara offline.
Sementara itu, Lathifah Amaturrohman yang menekuni bisnis gendongan bayi dengan brand bayiku.id berpendapat larangan Tiktok Shop memberikan dampak positif, khususnya bagi produk lokal.
“Dengan adanya TikTok Shop ini, market penjualan kita kebanjiran produk-produk dari luaran sana yang serupa dan dijual dengan harga yang jauh lebih murah. Kebanyakan memang produk-produk impor, harganya sampai under Rp 100 ribu, ini tentu merusak produk-produk lokal,” ujar Thiva, sapaan akrab Lathifah Amaturrohman.
Sebagai produsen, Thiva sampai saat ini masih memanfaatkan media sosial melalui fitur live streaming untuk membantu agen berjualan. Pembelian yang dilakukan konsumen langsung ditujukan kepada agen yang ada di bawah naungannya. Terkait untung yang didapatkan berbeda-beda setiap agen, ia tidak bisa menyebutkan secara pasti nominal yang didapatkan.
“Produk kami dipasarkan para agen dibawah kami. Kalau sekarang pemerintah sedang menyoroti terkait TikTok Shop, apapun keputusannya ya harus diikuti. Karena mungkin kembali lagi ada kelebihan dan kekurangannya, penting harus ada kebijakan yang pas terkait dengan hal ini,” pesannya.
Di Kota Batu, Vicky Lenon mengatakan kebijakan pemerintah melarang berjualan di TikTok bukan solusi.
“Seharusnya yang perlu diurus regulasi kebijakan barang masuk dari luar Indonesia. Bukan TikTok. Karena saya rasa TikTok sangat membantu kebutuhan promo dan jualan pelaku bisnis,” ujar Vicky kepada Malang Posco Media.
Selain itu, lanjut dia, saat ini pasar sudah semakin luas. Sehingga kebutuhan dunia online tidak terbendung lagi dan masyarakat harus menyesuaikan dengan keadaan.
“Saya rasa ini karena barang luar masuk ke Indonesia tidak ada mekanismenya. Dengan begitu barang murah bebas masuk ke Indonesia dan akhirnya barang lokal tergerus dan membuat persaingan tidak sehat. Melihat permasalahan ini harus jadi perhatian bersama,” kata pria yang juga Ketua Batu Creatif Hub ini.
Dengan pasar yang sangat luas dan bebas, seharusnya pelaku usaha konvensional bisa mengembangkan usaha. Misalnya mengajak keluarga dekat menggunakan platform online.
Hal senada juga disampaikan Zaenal Arifin pelaku UMKM yang memanfaatkan TikTok untuk berjualan.
Sementara itu, Johan Bambang selah satu pedagang buah konvensional di Pasar Induk Kota Batu mengaku merasa berat dengan adanya penjualan di TikTok. Pihaknya sangat mengharapkan ada kebijakan dari pemerintah untuk permasalahan ini.
“Apalagi masa sekarang perusahaan besar sudah turun ke ranah online. Sedangkan kami penjual konvensional yang notabene penyambung dari garmen kepada konsumen paling bawah pada saat sekarang hanya mendapatkan sisa konsumen online,” terangnya. (ian/adm/eri/van)