Belakangan ini perkembangan teknologi digemparkan akan adanya kecerdasan buatan atau Artificial Intelligance (AI) yang menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. AI terus berkembang dan kian terintegrasi pada berbagai aspek kehidupan maupun sosial masyarakat termasuk pada dunia pendidikan.
Pertanyaannya adalah apakah pendidikan mampu mengendalikan navigasi diri terhadap kecerdasan buatan yang secara tidak langsung sudah mulai mengambil peran pada dunia pendidikan. Mampukah guru dan siswa dapat beradptasi pada situasi tersebut?
Kehadiran kecerdasan buatan berupa artificial intelligence merupakan sebuah terobosan yang perlu disikapi dengan bijak untuk mendukung proses pembelajaran. Penggunaan artificial intelligence dengan bijak memicu akselerasi pendidikan yang optimal dapat menanamkan sifat mandiri terhadap pelajar.
Pangkal pemanfaatan artificial intelligence adalah menekankan esensi dari mengajar yakni menata moral dan perilaku pelajar sehingga dapat membantu pelajar dalam mengontrol dan memantau pembelajaran untuk hidup dan bekerja dengan baik di masa depan.
Kelahiran artificial intelligence memiliki pengaruh besar bagi satuan pendidikan, banyak manfaat yang diperoleh dan bahkan menjadi sebuah ketergantungan bagi penggunanya. Bagaimana tidak? Bahwa seluruh data tentang pembelajaran yang mendukung ketercapaian pendidikan tidak dapat dilepaskan. Algoritma kecerdasan buatan memberikan berbagai manfaat mulai dari pengembangan kurikulum, personalisasi pembelajaran, akses informasi, hingga efisiensi administrasi pembelajaran.
Ancaman Kecerdasan Buatan
Bagai dua sisi mata uang, kecerdasan buatan dapat memberikan manfaat maupun ancaman. Pada sisi ancaman, perkembangan artificial intelligence yang tidak ada kontrol dapat mengakibatkan beberapa persoalan. Di antaranya mulai keamanan privasi data, penyalahgunaan, tranparansi, kejujuran, integritas, plagiarisme, dan lain sebagainya. Skenario ancaman tersebut sangat menghawatirkan, karena artificial intelligence bersifat terbuka dan dapat digunakan dan dikembangkan oleh siapapun.
Kekhawatiran ini sangat beralasan, seperti informasi yang dihimpun dari VOI (9/8/2023) bahwa kalangan akademisi di Cina mulai menggunakan Chat GPT sebagai alat menyelesaikan seluruh tugas sekolah guna menulis esai, sains, hingga menghasilkan kode pada komputer. Jika hal tersebut terus dibiarkan maka ancamannya adalah generasi muda akan memiliki kecenderungan tidak memiliki sikap kritis, daya juang dan cenderung malas.
Persoalan inilah yang kemudian ditakuti oleh (Aloni, 2007) bahwa artificial intelligence suatu saat akan mengambil alih pekerjaan dan keputusan manusia. Hal tersebut kemudian akan mengancam eksistensi manusia sehingga dibutuhkannya kode etik guna mengatur penggunaan dan pengembangan kecerdasan buatan artificial intelligence.
Kekhawatiran mengenai kecerdasan buatan perlu disikapi dengan baik dan bijak. Guru perlu mengutamakan esensi artificial intelligence tanpa mengesampingkan penataan moral dan karakter siswa. Dengan memaknai dan menelaah informasi dari berbagai sumber secara mendalam akan membantu para siswa mengkonstruksi dan merefleksi pengetahuan.
Hingga pada akhirnya, siswa dibentuk guna menguraikan gagasan serta dapat menggunakan teknologi secara bijak untuk kemudahan pada aktivitas pembelajaran.
Peluang Kecerdasan Buatan
Keberadaaan artificial intelligence secara manfaat tidak dapat dibantah, guru maupun siswa sangat terbantu akan keberadaannya. Berdasarkan riset yang dilakukan Kominfo (2014), mulai dari kemudahan administrasi pembelajaran, pengembangan kurikulum, personalisasi pembelajaran yang terarah dan masih banyak lagi.
Bahkan saat covid melanda, teknologi e-learning menjadi hal yang wajib digunakan oleh seluruh satuan pendidikan di Indonesia bahkan dunia. Memang tidak dapat dipungkiri, alat digital yang kemudian juga masuk ke kelas-kelas, sangat membantu pembelajaran. Seperti contoh voice assistant, mentor visual, penterjemahan, berita, cuaca, laporan, saham dan lain-lain sangat mendukung pembelajaran.
Kecerdasan buatan bagi guru sangat potensial dikembangkan sebagai penunjang dalam proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Para guru perlu memahamkan siswanya bahwa secerdas apapun artificial intelligence tidak dapat menggantikan filsafat dan etika.
Jangan sampai siswa memahami secara absolut artificial intelligence dapat menjawab segala pertanyaan dasar manusia. Para siswa perlu diarahkan dan diajak memaknai dan menelaah informasi dari berbagai sumber secara mendalam guna mendapatkan fakta. Hingga kemudian membantu para siswa untuk mengkritisi jawaban yang diciptakan artificial intelligence sebagai refleksi atas pengetahuan.
Pada akhirnya para siswa dibentuk guna menguraikan gagasan serta dapat menggunakan teknologi platform membantu menganalisis dan menyelesaikan berbagai persoalan.
Meski demikian,artificial intelligence sebagai sebuah produk kecerdasan buatan manusia masih memiliki banyak kekurangan. Khususnya keunggulan artificial intelligence berfokus bidang-bidang yang memerlukan konsistensi yang tinggi dan berulang. Namun bidang-bidang atau sisi manusiawi seperti emosi, kreativitas, empati, pengambilan keputusan, dan lain-lain masih lemah.
Oleh karenanya guna mengasah sisi kemanusiaan tersebut, para siswa diarahkan pula untuk bersaing di tengah perkembangan artificial intelligence. Terdapat banyak wadah untuk mengembangkan sisi kemanusiaan. Mulai dari organisasi, ekstrakurikuler, budaya Islami, hingga kegiatan pembelajaran di kelas dan masih banyak lagi.
Melalui hal tersebut, sebagai pendidik di sekolah perlu mengarahkan potensi anak-anak ke arah kreativitas untuk menciptakan inovasi-inovasi baru. Kemudian menumbuhkan sikap karakter manusiawi seperti kreativitas, emosi, pengambilan keputusan hingga empati yang berdampak baik terhadap kehidupan sosial dan masyarakat.
Dengan begitu, anak-anak di bangku sekolah tetap dapat memanfaatkan perkembangan artificial intelligence tanpa merasa tersaingi. Hingga pada akhirnya, sisi kemanusiaanlah yang dapat menyelamatkan dunia pendidikan di tengah perkembangan artificial intelligence yang begitu massif.(*)