Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945 dengan keadaan yang gegap gempita penuh semangat optimisme akan kemerdekaan bernegara. Dalam pergolakan pemikiran akan ideologi bangsa yang dimulai pada 29 Mei 1945 di forum sidang BPUPKI, para tokoh nasional beradu argumen bertolak pada sekelumit konteks historis yang bertujuan mampu mewadahi seluruh kepentingan masyarakat Indonesia.
Hal tersebut menunjukkan bahwa, Indonesia ini dibangun atas pondasi-pondasi ideal yang kuat suatu bangsa dan berkat kerja keras, perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Dalam pembukaan UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”, menjadi pokok redaksi yang membuktikan kesadaran bangsa Indonesia akan hak kemerdekaan dengan segenap kerja keras dan perjuangan dalam menggapainya.
Gejolak peristiwa sejarah menjadi saksi perjuangan tersebut. Banyak dari pahlawan yang gugur dalam perjalanan menggapai kemerdekaan itu. Rekam jejak tersebut ada dan menjiwai langkah gerak perjalanan bangsa Indonesia hingga saat ini. Pastinya Indonesia tidak lepas dari berbagai tantangan yang akan datang. Mulai dari tantangan demokrasi, budaya, perang saudara, bahkan separatisme.
Sejak 1945 hingga saat ini di usianya yang ke 77 Indonesia bekerja keras dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan negara yang luasnya 1.905 million km2 ini. Indonesia dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang membentang dari Sabang sampai Merauke membuatnya menjadi negara yang potensial dalam meniti kemajuan baik dari aspek ekonomi, pembangunan, dan kesejahteraan.
Semua ini tentunya bertolak pada asas dan pondasi kenegaraan yang kuat dan disepakati oleh seluruh rakyatnya yaitu Pancasila. Secara historis, Founding fathers dan motherskita telah bersepakat pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari kelahiran Pancasila. Hari dimana kesenjangan menjadi keseimbangan, keterpisahan menjadi kesatuan, seluruh lapisan masyarakat menyambut dengan penuh kesadaran akan datangnya wajah baru Indonesia yang merdeka dari segala ketidakadilan, diskriminasi, kolonialisme, dan penjajahan.
Siklus Implementatif
Radjiman Widyodiningrat selaku ketua BPUPKI mengajukan pertanyaan tentang landasan filosofis dasar negara kepada seluruh peserta sidang. Hingga muncul tiga tokoh yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut yaitu, Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Muhammad Yamin dalam pidatonya mengandung intisari lima hal yaitu, Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.
Soepomo dalam pidatonya mengusung dasar negara yang berintisari Persatuan (Unitarisme), Kekeluargaan, Keseimbangan, Musyawarah, dan Keadilan Rakyat. Soekarno menyampaikan gagasannya pada 1 Juni 1945 sebagai ujung dari pergumulannya tentang dasar negara. Berisi lima kaidah dengan nilai-nilai filosofis di dalamnya. Soekarno terinspirasi dari pandangan dasar negara lain yang sederhana dan berbobot, seperti Histori-Materialisme Uni Soviet, San Min Chu dari Sun Yat Sen, dan Islam-Arab.
Lima dasar tersebut yaitu, Kebangsaan-Nasionalisme, Perikemanusiaan-Internasionalisme, Mufakat-Democratie, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kelima dasar tersebut diberi nama Pancasila. Soekarno juga mempersiapkan alternatif lain yaitu Trisila dan Ekasila.
Trisila terdiri dari Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan. Sedang Ekasila berasas Gotong Royong. Sidang BPUPKI menerima usulan Soekarno dengan nama Pancasila sebagai dasar negara yang filosofis diistilahkan sebagai Philosofiche Grondslag.
Secara lebih jelas, masing-masing butir berisi lima prinsip yang dapat dimaknai secara luas dan abstrak namun tidak melenceng terhadap kontekstualitas rakyat Indonesia. Prinsip pertama adalah prinsip kebangsaan. Indonesia berdiri tidak untuk satu orang, pun tidak untuk satu golongan. Tapi, Indonesia untuk semua, apapun warna kulitnya, apapun agamanya, apapun strata sosialnya, Indonesia adalah negara bangsa dengan atas dasar persamaan nasib.
Prinsip kedua ialah prinsip kemanusiaan-internasionalisme. Indonesia tidak mengagungkan bangsa sendiri dan memandang rendah bangsa lain atau chauvinisme. Prinsip inilah yang menjadikan Indonesia gandrung akan perdamaian dunia. Sehingga jelas, Indonesia sangat tegas menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan.
Prinsip ketiga ialah kemufakatan. Soekarno yakin bahwa syarat mutlak untuk kuatnya negara adalah permusyawaratan, perwakilan dengan dilandasi kesadaran menghargai sesama, menghargai sebagai wujud etik kemanusiaan. Prinsip keempat ialah kesejahteraan. Hal ini menjadi kekhawatiran Soekarno jika Indonesia cenderung kapitalis. Sehingga tampak jelas disparitas antara si kaya dan si miskin, meninggalkan sisi empati kemanusiaan, dan menurutnya tidak ada kemerdekaan tanpa kesejahteraan.
Prinsip kelima ialah prinsip ke-Tuhanan. Salah satu keragaman di Indonesia adalah keragaman agama dan kepercayaan. Prinsip ini meniscayakan toleransi, sepakat untuk sepakat, sepakat untuk tidak sepakat, dan tidak sepakat untuk tidak sepakat. Tentunya, kepercayaan ini merupakan ruang privat yang diberikan oleh negara seluas-luasnya agar Indonesia menjadi negara yang memiliki nuansa spiritual yang selamat sentosa.
Kesadaran Holistik
Indonesia sebenarnya telah menetapkan 1 Juni sebagai Hari Libur Nasional untuk menghayati kelahiran Pancasila. Indonesia pun mendirikan lembaga BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) yang membantu negara memformulasikan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila kepada masyarakat. Indonesia juga punya Zaskia Gotik sebagai duta Pancasila. Kemendikbud RI juga punya program Profil Pelajar Pancasila sebagai upaya membina dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sejak dini terhadap para remaja.
Negara harus merumuskan cara mentransformasikan nilai-nilai Pancasila yang terintegrasi pada seluruh aspek, baik ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan sosial-kemasyarakatan, bukan pada sebagian aspek saja. Karena Pancasila merupakan produk Top-Down bukan Bottom-Up, maka konsekuensinya adalah tanggung jawab terbesar untuk memberikan pemahaman terhadapnya terdapat di tangan elite negara yang dipercaya rakyat untuk mengurus negara Indonesia ini. Bukan justru elite negara yang mengkhianati prinsip dan risalah moral yang ada pada Pancasila. (*/mpm)