Di kota A, seorang mahasiswi dikabarkan tewas. Ia bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari lantai sebuah bangunan tinggi, dan meninggal seketika di tempat kejadian. Beberapa bulan sebelumnya, kejadian serupa juga terjadi di kota B. Meskipun beda tempat, kedua peristiwa itu disatukan oleh sebab yang sama: depresi. Mahasiswa yang mengalami depresi pastilah disebabkan oleh banyak faktor. Di antara banyak faktor itu, beban tugas sebagai mahasiswa juga sangat mungkin menjadi pemicu.
Terlepas apapun yang menjadi pemicu depresi itu, sebuah pertanyaan patut dimunculkan: mengapa kalangan pelajar belakangan ini rawan mengalami aneka persoalan sosial? Di samping depresi yang berujung pada penghilangan nyawa, banyak pula ditemukan peristiwa-peristiwa tak etis dengan aktor insan pendidikan.
Ini mengejutkan dan sekaligus menimbulkan kesan tentang paradoks dunia pendidikan. Mengapa ini bisa terjadi? Di antara banyak sebab, saya ingin mengajukan sebuah dugaan: jangan-jangan aktivitas pendidikan yang selama ini dijalankan terpisah dari realitas atau bahkan menjauhkan insan pendidikan dari realitas.
Hal seperti ini bisa terjadi oleh karena pendidikan lebih banyak ditekankan pada aspek-aspek penguasaan teori yang kadang-kadang tidak bisa dijelaskan keterkaitannya dengan kenyataan hidup. Terlebih jika penguasaan teori itu dilakukan semata-mata dengan menghafal, maka penguasaan pengetahuan itu akan menjauhkan seseorang dari realitas kehidupannya.
Ini tidak bermakna bahwa menghafal itu tidak baik. Bukan. Bukan itu maksudnya. Menghafal adalah sebuah metode belajar paling mendasar yang sangat penting. Tetapi jika penghafalan itu tidak dibarengi dengan upaya penghubungan “hafalan” itu dengan realitas, maka penguasaan pengetahuan akan perlahan-lahan memisahkan sang empunya dari realitas.
Pendidikan yang sejalan, terlibat–meskipun tidak sepenuhnya menyatu—dengan realitas adalah salah satu hal yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi aneka anomali dalam dunia pendidikan yang belakangan ini kerap terjadi. Model atau orientasi pendidikan yang seperti ini sering disebut dengan living education.
Walau sebenarnya kurang suka menggunakan istilah-istilah asing untuk menggambarkan konsep atau situasi yang ada di Indonesia, saya ingin menyebut saja orientasi pendidikan ini dalam istilah aslinya yaitu living education.
Saya melakukannya jika istilah dalam bahasa asing itu tidak ada padanannya dalam Bahasa Indonesia, atau terjemahannya dalam Bahasa Indonesia kurang mewakili istilah asalnya, termasuk dalam hal ini adalah istilah living education.
Jika diterjemahkan, istilah ini berarti pendidikan yang hidup. Terjemahan secara linguistik ini sama sekali tidak salah. Namun, dalam istilah living education terdapat makna yang jauh lebih dalam dan kompleks daripada sekadar “pendidikan yang hidup.”
Teori living education adalah konsep yang berasal dari karya teoris dan praktisi pendidikan Jack Whitehead. Teori ini menekankan pengembangan dan perbaikan pendidikan melalui refleksi dan tindakan berkelanjutan dari para praktisi. Ide utamanya adalah bahwa guru dan pendidik dapat menghasilkan teori pendidikan mereka sendiri berdasarkan pengalaman, wawasan, dan nilai-nilai yang pernah mereka alami dan jalani.
Dengan demikian, maka pendidikan tidak menganut prinsip one size fits all (satu ukuran untuk semua orang), tetapi bersifat unik dan student-centered, sehingga peserta didik bisa tumbuh dalam kedirian mereka, dan tidak merasa “terpaksa” untuk mengikuti cetakan-cetakan formal yang dikehendaki oleh sebuah lembaga pendidikan sebagai penyeragaman.
Saya pernah mendengar bahwa sebuah sekolah di Lamongan melakukan inovasi sangat menarik. Menamakan diri sekolah alam, sekolah ini benar-benar mengusahakan penyatuan dengan alam. Bukan hanya alam dalam arti lingkungan hidup, tetapi desain sekolah itu telah mampu memberi ruang kepada peserta didik untuk tumbuh sebagaimana naluri alamiahnya.
Maka jangan heran jika menemukan kandang sapi, kuda, kambing atau ayam di sekolah itu. Tak jarang peserta didik juga menjalani aktivitas-aktivitas di luar kelas, misalnya di lahan-lahan cocok tanam yang memang ada di sekolah tersebut.
Bagi para pelaku pendidikan formalistik, pola pendidikan seperti ini tentulah dianggap kurang pantas. Akan tetapi, jika merujuk kepada hakikat pendidikan adalah nurturing, yakni upaya menumbuhkembangkan kedirian peserta didik melalui proses yang alamiah, maka pendidikan semacam ini akan mengajak mereka menyatu dengan realitas.
Pendidikan yang menyatu dengan realitas ini, salah satunya, akan mampu membantu peserta didik untuk tidak terjebak dalam perasaan-perasaan alienasi, merasa terpisah dari lingkungan, merasa sepi di tengah keramaian, dan sejenisnya. Pendidikan dengan model-model seperti inilah yang akan memberikan dua daya sekaligus, yakni pendidikan yang hidup, menyatu dengan realitas; dan sekaligus menjadi pendidikan yang menghidupkan.(*)